Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pilkada Jakarta Tanpa Anies, ke Mana Suara Anak Abah Berlabuh?
2 September 2024 19:41 WIB
·
waktu baca 13 menit***
Jeje Wiradinata baru saja menggelar doa bersama di Pangandaran, Jawa Barat, ketika tiba-tiba ponselnya berdering jelang tengah malam, Kamis (29/8). Di sambungan telepon, Ketua DPD PDIP Jabar Ono Surono memintanya bersiap untuk didaftarkan sebagai calon Gubernur Jabar.
Lima belas menit setelah Ono, giliran staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menelepon dan menyampaikan perintah serupa. Jeje kaget. Ia sama sekali tak pernah mempersiapkan diri maju Pilgub Jabar. Namun karena perintah partai, Jeje menerima tugas itu.
Jeje akhirnya maju di Pilgub Jabar pada menit-menit terakhir jelang penutupan pendaftaran pukul 23.59 WIB. Bupati Pangandaran dua periode itu dipasangkan dengan kader PDIP yang juga artis, Ronal Surapradja, sebagai cawagub. Duet dadakan Jeje-Ronal membuat keduanya hanya hadir virtual via Zoom saat pendaftaran ke KPU Jabar.
“Sebagai kader, sudah tidak lagi menghitung menang-kalah, tidak lagi menghitung pasangannya siapa. Sebagai kader, kita lakukan tugas dengan sebaik-baiknya,” kata Jeje usai menjalani tes kesehatan di RS Hasan Sadikin, Bandung, Minggu (1/9).
Drama injury time di Pilgub Jabar terjadi usai Anies Baswedan memutuskan tak menerima tawaran PDIP maju di Bumi Pasundan. Sedianya, PDIP akan memasangkan eks Gubernur Jakarta itu dengan Ono Surono di Pilgub Jabar. Tawaran ke Anies itu muncul usai PDIP mengusung Pramono Anung dan Rano Karno di Pilgub Jakarta.
Pasangan dadakan Jeje-Ronal di Pilgub Jabar merupakan satu dari ribuan pasangan calon kepala daerah yang telah mendaftar ke KPU daerah masing-masing pada 27–29 Agustus 2024.
Dalam catatan KPU per 30 Agustus, ada total 1.518 bakal paslon kepala daerah yang mendaftar, terdiri dari 101 paslon gubernur-wakil gubernur, 1.133 paslon bupati-wakil bupati, serta 284 paslon wali kota-wakil wali kota. Sayangnya, terdapat 48 daerah yang hanya diikuti calon tunggal, yakni 1 provinsi (Papua Barat), 42 kabupaten, dan 5 kota.
Setelah pendaftaran rampung, peta koalisi pun tergambarkan, khususnya di tingkat pilgub. Bongkar pasang koalisi untuk mengusung cagub-cawagub di 37 provinsi menjadi perhatian karena masih kental dengan Pilpres 2024.
Pilgub 2024 dianggap sebagai representasi atau kelanjutan siasat parpol pada Pilpres. Partai besar adu strategi untuk menguasai daerah. Muncullah kemudian Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, perkumpulan partai pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming ditambah partai pengusung Anies-Muhaimin.
KIM Plus berambisi melibas pilgub untuk memuluskan pemerintahan Prabowo, dan ini dikaitkan dengan strategi menuju Pilpres 2029. KIM Plus membuat koalisi gemuk sebagai siasat memperbesar peluang kemenangan, sekaligus memperkecil penantang. Siasat itu pada akhirnya buyar oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang diketok 20 Agustus.
Ambisi paling mencolok KIM Plus adalah strategi memboyong 14 partai di Jakarta. KIM Plus mengusung Ridwan Kamil (RK) dan Suswono, kader PKS yang juga Menteri Pertanian era Susilo Bambang Yudhoyono.
RK-Suswono dengan koalisi gemuknya hampir saja melawan kotak kosong atau calon independen, tapi terhambat putusan MK Nomor 60. Putusan itu mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dan membuat PDIP bisa mengusung penantang RK-Suswono meskipun hanya sendirian. PDIP adalah satu-satunya partai di parlemen yang tidak bergabung dengan KIM Plus.
Putusan MK mengubah konstelasi pilkada, termasuk Jakarta. Anies yang punya elektabilitas tertinggi kembali “hidup” kartunya dengan kans diusung PDIP. Namun peluang tak berpihak kepada Anies. Setelah melalui drama di hari-hari terakhir pendaftaran, kartu Anies untuk berlayar di Pilkada Jakarta dipastikan mati usai PDIP memutuskan mengusung Pramono Anung dan Rano Karno.
Anies gagal maju lagi sebagai Gubernur Jakarta meski memiliki elektabilitas tertinggi yakni 29 persen, jauh di atas Ridwan Kamil yang hanya 8,5 persen. Ini berdasarkan data survei Litbang Kompas pada Juni lalu.
Pilgub Jakarta Minus Anies
Pilgub Jakarta tanpa Anies Baswedan menjadi sulit dipetakan. Kans memenangi pertarungan dianggap masih terbuka lebar untuk semua paslon.
RK-Suswono memiliki elektabilitas lebih tinggi dibanding Pramono-Rano yang bahkan sebelumnya tak masuk radar survei. RK juga didukung 14 partai, sementara Pram-Rano hanya berlayar lewat kekuatan PDIP dan dukungan dari Hanura.
Secara survei, RK start lebih di depan. Dari segi dukungan parpol pun menang jumlah. Tapi kejomplangan dukungan parpol ini dianggap tak menjamin kemenangan.
Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, jumlah dukungan parpol di pilkada bukan jaminan kemenangan. Yang terpenting dalam pilkada, kata Adi, adalah sosok pasangan calonnya.
“Seberapa kuat figur itu bisa meyakinkan para pemilih partai,” kata Adi, Sabtu (31/8).
Ia menjelaskan, sering kali pencalonan pilkada adalah menyangkut elite parpol. Padahal, di sisi lain, petinggi parpol kerap tak sejalan dengan konstituennya. Pemilih parpol berbeda dengan pemilih figur.
Dari faktor tersebut, Adi berkesimpulan peluang memenangkan Pilgub Jakarta masih terbuka untuk semua calon, termasuk bagi calon perseorangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
Kendati secara data survei RK lebih unggul dengan elektabilitas 8,5 persen, tapi menurut Adi keunggulan tersebut belum signifikan dan belum bisa mengunci kemenangan RK-Suswono.
“Karena di Jakarta tidak ada calon petahana, lapangannya jauh lebih terbuka. Jadi kompetitif untuk bersaing satu sama yang lain,” kata Adi.
Ia menambahkan, “Masih terbuka waktu bagi penantang Ridwan Kamil untuk melakukan kerja-kerja politik selama tiga bulan [masa kampanye]. Karena elektabilitas RK belum mengunci kemenangan.”
Adi menganalisis, meski RK punya modal dukungan parpol yang gemuk dan popularitas yang lebih unggul, Pramono Anung juga punya kelebihan: hubungan baik dengan Presiden Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Kedekatan Pramono dengan Jokowi dan Prabowo dianggap sebagai bekal penting yang tidak sederhana dan tidak dimiliki semua kandidat. Yang terpenting, ujar Adi, “Pramono Anung tidak mengundang resistensi apa pun di Jakarta.”
Adi menekankan, kunci memperebutkan suara pemilih Jakarta ialah dengan meminimalisasi resistensi, protes, dan sentimen negatif. Ini akan diuji dalam tiga bulan masa kampanye.
“Kalau RK sepertinya mulai ada resistensi dari pendukung The Jak (suporter klub bola Persija Jakarta),” kata pengajar politik di UIN Syarif Hidayatullah itu.
Minggu (1/9), saat RK berziarah ke makam Mbah Priok di Jakarta Utara dan berniat memperkenalkan diri kepada warga dalam Haul Mbah Priok, sejumlah jemaah pun menunjukkan resistensi dengan meneriakinya dan memintanya turun dari panggung sambil menyerukan nama Anies.
“Anies… Anies… Anies… Priok bukan rumah ente. Pulang woi!” seru mereka. Tak lama kemudian, RK turun dari podium.
Bicara soal seruan “Anies” saat RK naik ke podium di Priok, Adi mengingatkan, faktor lain yang juga tak bisa luput dalam hitung-hitungan peluang di Pilgub Jakarta adalah suara pendukung Anies Baswedan, yang belakangan dikenal dengan sebutan “Anak Abah”.
Walau Anies Baswedan gagal berlayar, tapi sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022 dan eks capres yang meraup 41,07% atau 2,6 juta suara warga Jakarta, hal ini tak bisa dianggap sepele. “Anak Abah” akan sangat menentukan perolehan suara kursi Jakarta-1.
Jadi, kepada siapa pendukung Anies Baswedan berlabuh?
Per hari ini, kata Adi, arah dukungan “Anak Abah” masih gamang. Mereka menunggu sikap dan lirikan dukungan Anies Baswedan.
Secara psikologi politik, lanjut Adi, pemilih Anies masih kesal dengan sikap politik PKS yang dinilai meninggalkan Anies. Kata Adi, kondisi ini kontra produktif dan tidak bisa disinergikan oleh kubu Ridwan Kamil-Suswono
“Bahkan per hari ini, pendukung Anies ini kan masih membuli PKS karena dianggap sebagai biang kerok kegagalan Anies tidak maju. Mereka juga membuli NasDem, mereka juga membuli PKB … mereka masih marah kondisinya,” jelas Adi.
Meski begitu, kondisi politik pemilih Anies yang marah kepada PKS dkk tidak lantas bisa diartikan bahwa mereka akan langsung memilih Pram-Rano.
“Pemilih Anies sedang menunggu ke mana kira-kira lirikan mata politik Anies: apakah ke RK atau Pramono Anung? Kalau pada akhirnya Anies juga tidak menentukan pilihan politiknya, tentu pemilihnya akan tercerai-berai,” imbuhnya.
Adi menilai peluang memenangkan Pilgub Jakarta sama-sama terbuka lebar bagi ketiga kandidat, tinggal menunggu bagaimana kekuatan KIM Plus menyapu bersih kemenangan dengan koalisi gemuknya atau justru PDIP yang bisa melakukan perlawanan.
KIM Plus Ambyar di Pilkada
Sekitar dua bulan sebelum pembukaan pendaftaran bakal calon kepala daerah, konstelasi Pilkada serentak diiringi dengan siasat memborong partai dalam satu barisan, muncul KIM plus. Ambisinya adalah memenangkan kompetensi kepala daerah untuk menyempurnakan kemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres. Misinya, agar program Prabowo kelak dapat terlaksana secara efektif dari pusat hingga level daerah.
kumparan telah memotret fenomena borong partai di Pilkada ini dalam dua edisi liputan sebelumnya dengan topik “Seteru dalam Sekutu” dan “Anies Dijegal, Airlangga Terjungkal”.
Upaya borong partai lalu buyar lewat putusan MK nomor 60. Putusan yang sempat ingin dianulir DPR lewat revisi UU Pilkada dianggap memberi nafas demokrasi karena memberi kesempatan parpol mengajukan calon dengan syarat ambang batas kursi DPRD yang lebih kecil, kurang dari 20 persen threshold.
Putusan MK disambut baik publik dan beberapa parpol, termasuk PDIP, karena mereka bisa mengusung calon kepala daerah kendati tak tergabung dalam koalisi KIM. Kompetisi pun hidup. Jagoan yang punya elektabilitas tinggi kembali bisa mencalonkan setelah sebelumnya terancam tak berlayar karena partainya sendiri memutuskan ikut kepala calon yang diajukan KIM.
Kondisi tersebut salah satunya dialami Airin Rachmi Diany di Pilgub Banten. Ia adalah kader terbaik Golkar dan punya elektoral di atas 50 persen tapi tak mendapat dukungan dari partainya sendiri. Golkar justru mendukung kader Gerindra Andra Soni yang ditentukan KIM.
Setelah putusan MK, harapan Airin maju kontestasi tumbuh lagi. Ia kemudian maju Pilgub Banten berpasangan Ade Sumardi yang diusung PDIP. Belakangan, Golkar berbalik badan mendukung Airin.
Tak hanya Banten, KIM Plus juga ternyata buyar di Jawa Barat. Dedi Mulyadi yang diajukan Gerindra ternyata tak mendapat dukungan dari semua anggota KIM. NasDem dan PKS ditambah PPP bahkan membuat poros baru dengan mengusung Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie. PKB juga mendaftarkan calon sendiri: Acep Adang Ruchiat-Gitalis Dwi Natarina.
PDIP sebagai penantang pun tak ketinggalan menunjukkan dan menjaga muruahnya di Jabar dengan mendaftarkan Jeje-Ronal di detik-detik akhir penutupan pendaftaran.
Jabar dan Banten sebagai contoh KIM Plus tidak selalu solid dan satu barisan. Di daerah lain bahkan mereka tetap berhadap-hadapan satu sama lain.
Data yang diolah kumparan, dari 37 Pilgub di pilkada serentak 2024, praktis KIM Plus hanya solid di 4 provinsi melawan calon yang diusung PDIP yakni: Lampung, Jakarta, Jawa Tengah, dan Papua.
Di Lampung, PDIP menjagokan Arinal Djunaidi yang notabene kader Golkar dan petahana berpasangan dengan Sekretaris DPD PDIP Lampung, Sutono. Arinal-Sutono akan berhadapan dengan pasangan Rahmat Mirzani Djausal-Jihan Nurlela yang diusung 10 partai politik. Di Jakarta jelas, KIM plus dengan RK-Suswono-nya ditantang paslon dari PDIP, Pram-Rano Karno.
Di Jawa Tengah, Gerindra dan sembilan parpol lainnya memasang Ahmad Luthfi berpasangan dengan mantan Wakil Gubernur Jateng, Taj Yasin Maimoen. Sementara PDIP menantang dengan jagoannya: Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi.
Adapun di Papua, partai yang tergabung dalam KIM plus ramai-ramai mengusung Kapolda Papua 2021-2024, Mathius Derek Fakhiri, berpasangan Aryoko Alberto Ferdinand. Sementara PDIP yang lagi-lagi jadi penantang menjagokan Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano dan Yeremias Bisai.
Dari data di atas, tampak bahwa PDIP adalah partai yang selalu menghadirkan calon sendiri untuk melawan KIM Plus. PKB juga terlihat mengajukan calon seorang diri, tapi hanya di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Analis politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio alias Hensat, menilai putusan MK memang membuka lahirnya calon kepala daerah lain. Meski, kata dia, kesannya adalah PDI Perjuangan versus semua partai
“PDI Perjuangan bisa maju [dengan putusan MK], ini kesannya adalah PDI Perjuangan versus every party,” kata Hensat saat dihubungi, Jumat (30/8).
Ihwal KIM Plus, Hensat menilai tak cocok dalam peta Pilkada. Pergerakannya pun tak signifikan, karena hanya solid di sedikit provinsi.
Hensat mengatakan, KIM Plus hanya pas dengan urusan pilpres untuk mendukung jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran.
Adi juga menyampaikan hal sama, bahwa ambisi KIM plus menyeragamkan koalisi hingga pilkada adalah hal mustahil. Alasannya, karena semua partai memiliki figur kuat di daerah masing-masing. Partai juga memiliki kepentingan untuk daerahnya masing-masing.
“Tidak bisa mau diseragamkan dalam barisan KIM Plus menang di semua Pilkada, itu tidak mungkin. Itu menyalahi khitah kompetisi, dan Pilkada yang ada persaingan di dalamnya,” ungkap Adi.
“Terlalu ambisius KIM Plus itu. Karena memang tidak mungkin semua partai itu satu dalam barisan koalisi di 545 kabupaten, kota, dan provinsi, itu sangat mustahil,” tambah Adi.
Tarung 3 Srikandi di Jatim, 2 Jenderal di Jateng
Selain head to head KIM plus dan PDI Perjuangan di beberapa daerah, pertarungan di Pilgub yang menarik adalah tarung tiga srikandi di Jawa Timur dan dua jenderal dari dua satuan berbeda di Jawa Tengah.
Tiga srikandi yang berebut kursi 01 Jatim itu adalah Khofifah Indar Parawansa berpasangan dengan Emil Dardak. Pasangan Gubernur Jatim 2019-2024 ini maju dengan percaya diri tinggi sebagai petahana dan diusung 17 partai, bagian dari barisan KIM plus, yakni: Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PSI, PKS, NasDem, dan partai non parlemen lainnya.
Lalu ada Menteri Sosial Tri Rismaharini yang dipasang PDI Perjuangan untuk menantang koalisi gemuk Khofifah-Emil. Risma maju didampingi Wakil Rektor Unipdu Zahrul Azhar Asumta.
Penantang lain, juga perempuan, adalah Luluk Nur Hamidah yang diusung PKB. Wakilnya adalah Lukmanul Khakim yang juga kader PKB.
Pertarungan tiga srikandi di provinsi besar tersebut sangat dinanti. Ketiganya dinilai memiliki bekal dan basis kekuatan masing-masing untuk memenangkan Jatim 01. Meski secara statistik elektabilitas, berdasarkan litbang kompas Juni lalu, Khofifah menduduki posisi tertinggi dengan 26,8 persen, sementara Risma posisi kedua dengan angka 13,6 persen.
Luluk tak masuk radar survei, tapi bukan berarti dia tak punya kekuatan. Hensat mengatakan, Luluk dengan basis ke-NU-annya serta suara PKB di Jatim adalah sesuatu yang tak boleh dianggap sepele. Sebagai gambaran, PKB jadi pemenang Pileg di Jawa Timur tahun ini, meraih suara terbanyak dengan 18 kursi DPR RI.
Modal NU dan suara PKB tersebut dianggap bisa menggerogoti pundi-pundi dukungan Khofifah yang juga orang NU.
“Jawa Timur menariknya tiga-tiganya Srikandi, Khofifah NU, kuat. Tapi Luluk Hamidah juga orang NU. Jadi dengan konstelasi yang begini, antara Khofifah dan Luluk, kalau Khofifah tidak hati-hati, dia bisa kalah dari Ibu Risma, karena suara Khofifah itu akan diimbangi oleh gerakan-gerakan yang dimunculkan oleh Luluk Hamidah yang memang kuat partainya di NU,” kata Hensat.
Di Jawa Tengah, dianggap sebagai pertarungan mendebarkan. Ibarat Liga Champions Eropa, Jateng adalah ‘grup neraka’. Selain karena tempat head to head KIM plus dan PDI Perjuangan yang ingin mempertahankan kandang banteng, juga karena menyajikan pertarungan purnawirawan jenderal TNI dan Polri.
KIM Plus mendaftarkan mantan Kapolda Jateng Komjen Ahmad Luthfi, sementara PDI Perjuangan menyodorkan Panglima TNI 2021-2022, Andika Perkasa.
Hal menarik lain, tambah Hensat, adalah kesan PDIP berhadapan dengan Presiden Jokowi. “Ini, kan, semua pertarungannya seperti PDI Perjuangan vs Jokowi, di Jawa Tengah itu kesannya. Karena Pak Luthfi orangnya Pak Jokowi, sementara Andika adalah orangnya PDI Perjuangan,” ujar Hensat.
“Jateng itu faktor deg-degannya gede, karena ini adalah pertarungan antara jenderal bintang 4-nya TNI dan jenderal bintang tiganya kepolisian,” imbuh Hensat.
Hensat hanya berharap, satuan atau junior kedua bintang ini tidak ikut campur dalam pilkada. TNI dan Polri cukup melihat persaingan keduanya, tanpa masuk dalam pertarungan.
Pengajar politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, juga berharap TNI dan Polri tetap menjunjung netralitas. Pertarungan memperebutkan kursi tertinggi Jateng harus dilakukan secara adil.
“Jadi dalam konteks pertarungan itu [pertarungan bintang], ya pertarungannya harus berjalan dengan fair, harus berjalan dengan adil, harus terjadi netralitas di kalangan TNI maupun Polri,” tutup Ujang.