Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
PKS Kritik SE Speaker Masjid: Negara Tak Perlu Intervensi Teknis Peribadatan
23 Februari 2022 1:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKS Bukhori Yusuf mengkritik Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 dari Kementerian Agama yang mengatur penggunaan pengeras suara (speaker) masjid dan musala.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, aturan itu mengabaikan kondisi sosiologis dan kultural masyarakat. Sebab, penggunaan pengeras suara sudah menjadi tradisi umat Islam baik di perkotaan maupun pedesaan.
“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid,” jelas Bukhori dalam keterangan, Selasa (22/2).
“Selain alasan bahwa di dalam budaya komunal setiap laku individu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum, tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” lanjutnya.
Ia khawatir berkurangnya volume masjid akan berdampak pada suasana kebatinan penduduk yang biasa mendengar suara masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras.
ADVERTISEMENT
“Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ungkapnya.
Politikus PKS itu menilai, pengaturan volume tidak perlu diatur secara khusus oleh negara, dalam hal ini Kemenag. Kesadaran pengurus masjid dan masyarakat seharusnya diutamakan sehingga tidak terkesan ada unsur pemaksaan.
“Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan,” sebut Bukhori.
“Meski demikian, mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu dilakukan secara eksesif, misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” sambung dia.
Dengan menjelaskan kerukunan umat Islam dan Hindu di Bali, Bukhori menyampaikan bahwa inisiasi masyarakat akan lebih mewujudkan harmoni sosial, dibanding aturan yang bersifat legalistis.
ADVERTISEMENT
“Umat Islam di Bali tidak menggunakan pengeras suara ketika umat Hindu memperingati hari raya Nyepi dalam rangka penghormatan dan toleransi,” ujar dia.
“Begitupun sebaliknya dengan umat Hindu yang memaklumi penggunaan pengeras suara yang bersahutan oleh sejumlah masjid di Bali ketika menyambut peringatan hari raya Idul Fitri/Adha meskipun jumlah penganut muslim minoritas di sana,” tandas Bukhori.
Sebelumnya, Surat Edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022 mengatur bahwa volume pengeras suara masjid/musala diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 desibel.
Dalam SE itu juga diatur durasi takbiran menjelang Idul Fitri 1 Syawal dan Idul Adha 10 Zulhijah. Maksimal penggunaan speaker luar hanya sampai pukul 22.00 waktu setempat.
Begitu pula dengan upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian dapat menggunakan pengeras suara bagian dalam. Pengecualian berlaku jika jemaah membeludak hingga luar lokasi acara.
ADVERTISEMENT