PKS: Semua Ingin Relasi Turki-RI Kuat, Bukan Kemal Ataturk Jadi Nama Jalan

19 Oktober 2021 14:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hidayat Nur Wahid. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hidayat Nur Wahid. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mendukung penguatan hubungan RI dan Turki. Namun, ia menolak jika nama tokoh sekuler Turki Mustafa Kemal Ataturk jadi nama jalan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut HNW, selain tidak cocok dengan karakteristik Jakarta dan Indonesia yang religius dan demokratis, ini juga tidak sesuai dengan ketokohan Sukarno yang tidak anti- Islam, tidak anti-Arab, religius, dan tidak sekuler serta demokratis.
Bagi HNW, apabila wacana tersebut dihadirkan sebagai tata krama diplomatik karena Turki telah menyematkan nama proklamator Indonesia, Ahmet Soekarno, sebagai jalan di depan kantor KBRI Ankara, maka Pemerintah Indonesia bisa mengusulkan nama-nama yang lain selain Ataturk.
“[Gunakan] Nama-nama tokoh Turki yang tidak kontroversial dan yang bisa menghadirkan penguatan hubungan, karena nama-nama itu begitu harum diterima masyarakat luas di Indonesia. Seperti Sultan Muhammad al-Fatih atau tokoh Sufi Jalaludin ar-Rumi,” kata HNW kepada wartawan, Selasa (19/10).
HNW menambahkan, polemik wacana penyematan nama Mustafa Kemal Ataturk sebagai nama jalan di Jakarta telah menjadi perhatian masyarakat luas. Mayoritas masyarakat menolak dengan alasan yang menurutnya rasional.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian bercerita, saat berdiskusi dengan konstituennya di Jaksel dan Jakpus, ada 3 komunitas warga yaitu pimpinan RT/RW, pimpinan pengajian subuh dan jawara betawi yang memberi aspirasi menolak penyematan Mustafa Kemal Ataturk menjadi nama jalan.
“Semua pihak di Indonesia mendukung penguatan hubungan RI dengan Turki. Tetapi masih banyak nama-nama tokoh Turki yang terhormat dan tidak kontroversial, dan diterima Umat Islam di Indonesia, seperti Sulaiman Al Qanuny, Muhammad Al Fatih, ataupun penyair Islam dan tokoh Sufi yang lama menetap di Turki Jalaludin Rumi, yang bisa menjadi simpul penguat hubungan kedua belah pihak,” kata dia.
Kemal Ataturk, atau Mustafa Kemal. Foto: AFP PHOTO
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini menekankan pemberian nama jalan hendaknya memang dalam rangka saling menghormati, tetapi tidak harus beraroma resiprokal, timbal balik.
ADVERTISEMENT
Dicontohkan HNW, seperti Maroko sudah memberikan nama Sukarno untuk jalan di Rabat. Ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan mereka atas jasa Sukarno terhadap bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, dan Gerakan Non Blok. Tapi ini dilakukan tanpa meminta nama Raja Maroko dijadikan sebagai nama jalan di Jakarta.
Selain itu, lanjut HNW, meski sama-sama bergelar Bapak Bangsa, ada perbedaan yang mendalam antara Sukarno dan Ataturk. Bung Karno tidak memotong akar sejarah Bangsa Indonesia dengan memaksakan ideologi impor. Pun, ia tidak mensekulerkan Indonesia.
Sukarno juga menghadirkan Pancasila sebagai ideologi negara yang digali dari budaya dan sejarah Indonesia. Karenanya, dalam Pancasila ada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pun, ia tidak anti-Islam/Arab, apalagi melarang bacaan salat dan azan bahasa Arab dan mengubahnya pakai bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Karenanya kalau nama Sukarno akan dipakai di Ankara, Turki, sebagaimana sudah dipakai di Rabat, Maroko, wajar saja, karena jasa-jasa Bung Karno seperti dengan adanya Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok," jelas HNW.
"Kalaupun Kemal Ataturk, dengan Kemalismenya yang sekuler liberal dan antidemokrasi itu dinilai banyak jasanya pada sejarah Turki modern, ya itu adalah untuk Turki, tapi tidak untuk Indonesia,” imbuh HNW.

HNW Tidak Yakin Usulan dari Turki

Lebih lanjut, HNW menilai hubungan baik antara Indonesia dan Turki harusnya lebih ditingkatkan melalui berbagai terobosan positif. Jangan sampai relasi ini dicederai dengan wacana penamaan jalan yang justru memantik polemik.
"Karena saya juga tidak yakin bahwa pihak Pemerintah Turkilah yang mengusulkan nama Kemal Pasya Ataturk untuk nama jalan di Jakarta ibu kota Indonesia," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Apalagi, Presiden Turki Rajab Tayyib Erdogan justru adalah tokoh Bangsa Turki yang di berbagai acara internasional selalu menyerukan penolakan terhadap Islamophobia, suatu perilaku yang nampak jelas dalam jejak sejarahnya Kemal Pasya Ataturk.
“Pemberian nama jalan hendaknya menjadi salah satu cara untuk dapat meningkatkan hubungan dan menguatkan kerja sama yang saling menguntungkan. Maka, akan jadi kontraproduktif bila yang diajukan adalah nama yang kontroversial, seperti Kemal Pasya Ataturk," ujar HNW.