Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
PM Mahathir Tinjau Kembali Undang-undang Berita Palsu Najib
14 Mei 2018 4:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri baru Malaysia Mahathir Mohamad berjanji akan meninjau kembali undang-undang kontroversial yang melarang berita palsu. Undang-undang yang baru disahkan pada April lalu dianggap alat untuk menangkal para pengkritik pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari AFP, Senin (14/5), undang-undang tersebut berisikan aturan terhadap saksi penyebar informasi palsu yang disengaja akan mendapatkan hukuman penjarang selama 6 tahun dan denda 500 ribu ringgit atau sekitar Rp 1,7 miliar.
Namun banyak pihak yang mengecam pengesahan aturan tersebut. Ada pandangan regulasi tersebut sebagai alat mengekang kebebasan berpendapat.
Mahathir mengatakan undang-undang itu akan diubah definisinya."Kita akan mempunyai defiinisi yang jelas berita palsu supaya masyarakat dan perusahaan media akan memahami perbedaan antara berita yang benar dan palsu," ujar Mahathir.
Mahathir yang sempat memegang andil pemerintah Malaysia selama 22 tahun sebelum mengundurkan diri pada 2003 pernah mengkritik aturan soal fake news. Dia mengganggap Najib Razak membuatnya karena mencoba untuk mengawasi media.
ADVERTISEMENT
Namun Mahathir menjanjikan pemerintahannya tidak akan membatasi pers, bahkan bila media memberitakan fakta yang membuat pemerintah tidak nyaman.
"Kami mendukung konsep kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Tapi semuanya tetap memiliki batasan," kata Mahathir.
"Kalau siapapun dengan sengaja berusaha menimbulkan kekacauan, mereka harus menghadapi undang-undang yang jelas dan mengekang tindakan mereka." tambahnya.
Sejauh ini, undang-undang tersebut telah digunakan untuk menghukum satu orang yang berasal dari Denmark. Pria tesebut dipenjara selama seminggu karena menuduh layanan darurat merespons anggota Hamas Palestina ditembak di Kuala Lumpur.
Malaysia menempati urutan ke 145 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2018, dengan nomor satu adalah yang paling bebas.