PM Tuvalu Perjuangkan Identitas Negara Seiring Pulau Tenggelam Air Laut

22 September 2022 5:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pantai indah dengan laut jernih membiru di Tuvalu Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Pantai indah dengan laut jernih membiru di Tuvalu Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Tuvalu mengibarkan bendera dengan sembilan bintang berwarna kuning yang merepresentasikan empat pulau karang dan lima atolnya. Dua atol negara kepulauan tersebut kini nyaris lenyap ditelan air laut.
ADVERTISEMENT
Mengantarkan kerusakan permanen, krisis iklim mengancam rumah bagi 11.000 orang di Tuvalu. Negara itu mungkin tidak akan bisa dihuni lagi dalam beberapa dekade mendatang. Ketika sebuah negara tenggelam ombak dan penghuninya terusir, apa yang akan tersisa?
Pesan-pesan simpati dari komunitas internasional tidak banyak membantu negara-negara Pasifik. Perdana Menteri Tuvalu, Kausea Natano, lantas mengusulkan inisiatif pada Sidang Majelis Umum PBB (UNGA). Mengantisipasi skenario terburuk, dia mendorong proses hukum formal untuk mempertahankan status kenegaraannya.
Rencana Natano akan turut membangun gudang warisan budaya dan menetapkannya sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Natano juga mengincar dukungan keuangan untuk langkah-langkah adaptasi.
"Itulah persisnya ide di balik Rising Nations Initiative—untuk meyakinkan anggota PBB untuk mengakui bangsa kami, bahkan bila kami tenggelam di bawah air, karena itulah identitas kami," tegas Natano, dikutip dari AFP, Kamis (22/9).
Ilustrasi pulau Tuvalu Foto: Shutter Stock
Sebagai pulau mengambang yang tidak secara langsung terhubung dengan tanah di bawahnya, atol berada di atas lapisan air tawar. Dengan demikian, atol meresap air asin saat permukaan lautan naik.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Tuvalu menjadi bergantung erat pada air hujan untuk memenuhi kebutuhan air minum dan pertanian. Negara itu tengah mengarungi kekeringan selama enam bulan terakhir pula.
"Kami harus membangun pabrik desalinasi, tetapi harganya sangat mahal, mengkonsumsi listrik dalam jumlah yang sangat tinggi," jelas Natano.
Pulau-pulau Tuvalu bahkan hampir tidak melebihi permukaan laut. Titik tertingginya pun hanya sekitar lima meter di atas permukaan laut. Akibatnya, Tuvalu rentan menghadapi pasang surut 'King Tide'.
Pasang surut tinggi itu menghanyutkan tanaman umbi-umbian, termasuk talas dan singkong yang sempat menjadi bahan pokok di Tuvalu. Kepulauan Pasifik hanya menyumbang 0,03 persen emisi global, tetapi harus menanggung dampak tidak adil semacam itu.
Salju di Antartika yang meleleh akibat pemanasan global. Foto: Johan Ordonez
Negara-negara yang paling bertanggung jawab atas pemanasan global mungkin dapat memenuhi tuntutan untuk membatasinya hingga 1,5 derajat Celsius. Namun, penyelamatan negara-negara rentan—seperti Kepulauan Marshall dan Tuvalu—sudah terlambat nantinya.
ADVERTISEMENT
Natano menyaksikan semakin banyak warganya yang berpindah ke Selandia Baru, Australia, maupun Amerika Serikat (AS) setelah Topan Pam menerjang pada 2015. Walau begitu, peluang migrasi tengah mengadang hambatan akibat kebijakan perbatasan ketat.
"Di Tuvalu kami hidup sebagai sebuah komunitas," tutur Natano.
"Bahkan orang-orang yang pergi tidak ingin pergi. Mereka melihat anak dan cucu dan tahu harus menjamin masa depan untuk mereka," sambung dia.
Menyusul negara lainnya, Tuvalu menyerukan kompensasi atas krisis iklim kepada negara-negara kaya. Namun, permasalahan tersebut masih menjadi perdebatan. Natano berharap, dia akan mendapatkan bantuan agar rakyatnya bisa tetap tinggal di tanah mereka.
"Ketika Anda berada di Australia, Anda akan menjadi orang Australia, begitu pula dengan Selandia Baru," ujar Natano.
ADVERTISEMENT
"Kami ingin tinggal di negara kami, mempraktikkan budaya dan tradisi kami, serta mempertahankan warisan kami," lanjut dia.