PNS hingga Polisi Jadi Profesi dengan Prevalensi Obesitas Tertinggi di Indonesia

11 Juli 2024 16:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi PNS obesitas. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PNS obesitas. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merilis Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Dalam survei tersebut, ada satu laporan mengenai kondisi prevalensi obesitas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Nah, prevalensi obesitas tertinggi di Tanah Air rupanya terjadi pada mereka yang berprofesi sebagai PNS, TNI, Polri hingga bekerja di BUMN. Angka prevalensi obesitas profesi tersebut mencapai 32 persen.
Sementara itu, mereka yang tidak bekerja alias pengangguran menempati posisi kedua mencapai 29,9 persen. Lalu ada wiraswasta yang prevalensinya mencapai 24,9 persen.
Seorang PNS di sebuah kementerian, Hendri (bukan nama sebenarnya), angkat bicara soal banyaknya penderita obesitas di instansinya. Menurut pengakuannya, orang-orang di kementerian tempatnya bekerja memang ada yang obesitas.
"Menurut pendapat pribadi saya, para penderita obesitas yang kena gula itu penderitaannya luar biasa loh. Selain banyak menghadapi masalah kesehatan, biaya pengobatan juga mengganggu kinerja yang bersangkutan, kalau penderita adalah pekerja tetap (PNS)." kata Hendri kepada kumparan, Selasa (10/7).
ADVERTISEMENT
Menurut Hendri, banyak rekannya yang merasa Fear of Missing Out (FOMO) saat mengonsumsi minuman manis, seperti mengkonsumsi kopi yang ada di kafe-kafe.
"Banyak dari mereka yang kurang aware akan bahaya mengonsumsi gula secara berlebih," ungkapnya.
Ilustrasi Obesitas. Foto: Shutterstock
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Kemenkes menargetkan prevalensi obesitas nasional tetap di angka 21,8 persen. Artinya, angka prevalensi obesitas profesi PNS hingga Polisi ada di atas target rata-rata nasional.
Sementara itu, kumparan sudah berupaya menghubungi Kepala Biro Data, Komunikasi dan Informasi Publik Kemenpan RB, Muhammad Averrous melalui WhatsApp. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, Averrrous belum memberikan komentarnya.
Di sisi lain, kumparan juga sudah menanyakan hal ini kepada Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudi Wisnu Andiko. Saat ditemui di sela-sela acara lomba menembak Kapolri Cup 2024 di Lapangan Tembak Senayan, Truno belum mau berkomentar.
ADVERTISEMENT
"Tadi saya bilang [pertanyaan media] konteksnya lomba menembak ya," kata Truno di Lapangan Tembak Senayan, Kamis (11/7).
Kepala Biro Penerangan (Karopenmas) DivHumas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko di Tribrata Darmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (29/2/2024). Foto: Hedi/kumparan
Berdasarkan catatan kumparan, isu soal polisi yang mengalami obesitas bukanlah barang baru. Dalam wawancara yang kumparan lakukan terhadap Asisten SDM Kapolri Irjen Arief Sulistyanto pada 2018 lalu, misalnya, terungkap bahwa Polri tengah berbenah mengenai masalah kesehatan anggotanya.
"Nanti saatnya dari status kesehatan (masuk sistem informasi). Overweight enggak cocok jadi kapolres, cocoknya jadi dalang," ujar Arief sambil berkelakar, saat ditemui di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Menilik Data SKI 2023

Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Wahyu Kurnia, obesitas terjadi lantaran asupan yang masuk lebih banyak dari yang dibutuhkan tubuh. Ia juga menampik mitos faktor tunggal karbo sebagai penyebab obesitas, menurutnya asupan lain pun akan tetap bisa menyebabkan obesitas.
ADVERTISEMENT
"Nah, ketika energi yang masuk lebih dari energi yang dikeluarkan atau dibutuhkan dan itu terus berkepanjangan pasti ujungnya adalah penumpukan lemak dan kelebihan berat badan," jelas Wahyu kepada kumparan saat dihubungi, Rabu 10/7.
Wahyu Kurnia, Dosen FKM UI. Foto: Dok. Pribadi/Wahyu Kurnia
Masih berdasarkan SKI 2023, obesitas di Indonesia banyak dialami oleh mereka yang berasal dari ekonomi kelas atas. Jika dilihat dari usia, obesitas tertinggi terjadi pada mereka yang berumur 40-44 tahun.
DKI Jakarta menjadi wilayah dengan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 31,8 persen. Artinya, Jakarta menjadi daerah dengan penderita obesitas terbanyak.
Kemudian, disusul dengan wilayah Papua dengan prevalensi obesitas mencapai 31,3 persen. Sulawesi Utara berada di urutan ketiga dengan prevalensi obesitas sebesar 30,6 persen.
Sementara itu, dilihat berdasarkan usia, mereka yang berumur 40-44 tahun memiliki prevalensi obesitas paling tinggi dengan angka 30,4 persen. Kemudian, disusul dengan mereka yang berumur 45-49 tahun dengan prevalensi obesitas sebesar 30,2 persen.
ADVERTISEMENT
Rentang usia 35-39 dan 50-54 memiliki prevalensi obesitas di angka 27,9 persen. Di urutan ke-4 usia dengan rentang 30-34 dengan prevalensi mencapai 26,4 persen.
Dilihat berdasarkan jenis kelamin, prevalensi obesitas pada perempuan menyentuh angka 31,2 persen. Sementara, pada laki-laki besarannya 15,7 persen. Adapun prevalensi obesitas orang dewasa berusia >18 tahun secara nasional ada di angka 23,4 persen.

Obesitas dan Penyakit yang Mengintainya

Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kemenkes RI, dr. Ngabila Salama, membeberkan peningkatan risiko penyakit pada seseorang yang mengalami obesitas.
"Obesitas bisa meningkatkan risiko penyakit serius, seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), diabetes, dan lain sebagainya. Maka dari itu, obesitas perlu ditangani sesegera mungkin," kata dr. Ngabila saat dihubungi, Selasa (10/7).
Kepala Seksi Surveillance, Epidemologi dan Imunisasi Dinkes DKI Jakarta dr Ngabila Salama, MKM. Foto: Instagram/@ngabilasalama
Ia juga menyebutkan beberapa faktor penyebab yang bisa membuat seseorang menderita obesitas, di antaranya ⁠riwayat keluarga kandung dengan obesitas, lifestyle hingga konsumsi gula dan lemak berlebih.
ADVERTISEMENT
"Efek samping obat-obatan tertentu, seperti antidepresan, steroid, dan obat diabetes juga bisa jadi penyebab obesitas pada seseorang. Kebiasaan begadang juga, karena saat begadang ada produksi hormon pengatur rasa lapar, yaitu ghrelin dan leptin menjadi tidak seimbang. Kondisi ini yang membuat tubuh merasa lapar hingga konsumsi makanan menjadi tidak terkontrol," jelasnya.