Polarisasi Pemilu 2024 Dipicu Politik Dinasti hingga Fufufafa

7 Desember 2024 16:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berbusana seragam sekolah mempersiapkan TPS 005, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berbusana seragam sekolah mempersiapkan TPS 005, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Associate Professor, Public Policy and Management Monash University, Ika Idris, menyampaikan pandangannya terkait gelaran Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, polarisasi masih terjadi bahkan cenderung lebih tinggi dibanding Pemilu 2019.
"Pemilu kita di 2024 itu jauh lebih polarized dibanding 2019," kata Ika dalam diskusi Digital Demokrasi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (7/12).
Ika menjelaskan, kesimpulan ini didapat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh pihaknya. Dari penelitian itu, diketahui ada 4 kategori polarisasi.
Ika Idris (kedua kiri) dan Titi Anggraini dalam diskusi peluncuran organisasi nonprofit, Demokrasi Digital, di Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (7/12/2024). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Pertama adalah polarisasi politik. Menurut Ika, polarisasi ini membagi masyarakat yang pro dan kontra terhadap politik dinasti. Ada pula kelompok pro dan kontra terhadap koalisi besar.
"Kedua adalah polarisasi ekonomi, apakah kita anti-asing, anti-aseng, atau pro-asing, pro-aseng. Aseng itu chinese investment," beber Ika.
Ketiga, adalah polarisasi agama. Ini membagi masyarakat dengan agama Islam dengan agama lainnya.
ADVERTISEMENT
"Yang terakhir adalah polarisasi etnis. Misalnya kalau di pilkada, harus putra daerah. Putra daerah harga mati. Itu kan dia polarisasi etnis," tambahnya.
Hasil rekapitulasi verifikasi faktual dari 34 provinsi di rapat pleno KPU penetapan peserta pemilu, Rabu (14/12/2022). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Menurutnya, polarisasi yang terjadi di Pemilu 2019 cenderung lebih tinggi karena agama. Sedangkan 2024, polarisasi hanya menyangkut urusan politik.
"Polarisasi agama itu tinggal ngafir-ngafirin. 'Eh kafir lo', panas. Agama itu dogma, kamu gimana kalau enggak mau membela agama kamu," ujar Ika.
"Tapi 2024, polarisasi nya itu polarisasi politik. Pro-politik dinasti, kontra-politik dinasti, itu jauh lebih susah untuk dicerna. Sehingga pesan-pesannya itu sangat settle. Itu enggak segampang kayak 'kafir lo'," sambung dia.
Hal ini juga dibuktikan dengan berbagai macam gejolak yang terjadi selama proses Pemilu 2024. Mulai dari isu Fufufafa hingga munculnya peringatan darurat imbas rencana revisi UU Pilkada yang akhirnya dibatalkan DPR.
ADVERTISEMENT
"Karena memang kita sudah ter-polarized, highly polarized, cuma susah dilihat kalau kita cuma baca sekilas, susah dirasakan dengan polarisasi agama," ujar Ika.
Pemilih sedang mencoblos surat suara untuk pemungutan suara ulang. Foto: Helmi Afandi/kumparan