Polda Aceh Panggil Eks Petinggi GAM Terkait Bendera Bulan Bintang

18 Desember 2021 13:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah orang memegang bendera Bulan-Bintang saat Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Jumat (4/12). Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah orang memegang bendera Bulan-Bintang saat Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Jumat (4/12). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kepolisian Daerah (Polda) Aceh memanggil eks petinggi atau Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pase, Zulkarnaini Hamzah alias Teungku NI terkait pengibaran bendera bulan-bintang di Kota Lhokseumawe pada 4 Desember 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Winardy mengatakan, pemanggilan itu sebagai upaya klarifikasi Polda Aceh terhadap yang bersangkutan terkait pengibaran bendera bulan-bintang saat peringatan milad GAM ke-45.
Pemanggilan ini, kata Winardy, bertujuan untuk mengetahui motif dari pengibaran bendera bulan bintang yang sudah terjadi sebelumnya, dan diduga melanggar peraturan Perundang-undangan berlaku.
"Benar, Ditreskrimum Polda Aceh sedang melakukan penyelidikan terkait pengibaran bendera bulan bintang yang sama pada pokoknya dengan bendera GAM dulu, yang berlangsung di Lhokseumawe pada saat milad 4 Desember yang lalu. Di mana aparat keamanan sudah berusaha menghentikan, akan tetapi tetap dilakukan," kata Winardy dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/12).
Winardy menegaskan, secara hukum bendera bulan bintang yang dikibarkan baik saat hari damai Aceh atau pada Milad GAM setiap tanggal 4 Desember adalah ilegal. Hal itu sudah dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri Muhammad Hudori, diketahui ada beberapa ketentuan yang dicabut dalam Permendagri berkenaan dengan pembatalan beberapa ketentuan dalam Qanun nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Sejumlah orang memegang bendera Bulan-Bintang saat Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Jumat (4/12). Foto: Dok. Istimewa
Kemendagri beralasan, sebut Winardy, pembatalan itu dilakukan karena Qanun nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh bertentangan dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
ADVERTISEMENT
Dalam PP tahun 2007 dalam pasal 6 ayat (4) yang menyebutkan;
a. Desain logo dari bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/ perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera Bulan Sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung Mambruk dan Bintang Kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera Benang Raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.
“Kemudian dalam pasal 6 ayat (3) juga disebutkan, bendera daerah tidak dikibarkan pada upacara memperingati hari-hari besar kenegaraan di daerah, upacara hari ulang tahun daerah, dan/atau upacara/apel bendera lainnya,” tutur Winardy.
ADVERTISEMENT
Karena itu ke depannya, kata Winardy, setiap aktivitas pengibaran bendera bulan bintang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang apabila tujuan atau niat pengibarannya adalah untuk memisahkan diri dari NKRI, maka dapat dikenakan pasal-pasal terkait makar.
Namun demikian, apabila keputusan tersebut dirasa kurang tepat, Pemda Aceh masih dapat melakukan upaya hukum lain, seperti PTUN terhadap Keputusan Mendagri Nomor 188.34-4791 Tahun 2016.
"Kalau tidak setuju Pemerintah Aceh masih dapat melakukan upaya hukum lain, dan masyarakat Aceh melalui perwakilannya di dewan serta Pemda Aceh dapat membentuk tim khusus yang membahas masalah ini melalui jalur musyawarah, mufakat dengan Pemerintah Pusat serta menyiapkan opsi-opsi terbaik dalam bingkai NKRI. Intinya, lakukan sesuai dengan mekanisme hukum," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Winardy mengimbau, masyarakat agar secara bersama-sama menciptakan potret Aceh yang sejuk dan damai, baik di mata nasional maupun internasional demi terbukanya investasi bagi Aceh. Bukan malah melakukan upaya kontraproduktif yang justru membuat iklim investasi menjadi redup dengan potret masa lalu yang masih menjadi stigma negatif di luar sana.
"Kita semua harus berkolaborasi untuk menciptakan investasi di Aceh yang bertujuan memperbanyak lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Mari kita jaga kondusifitas, sehingga menjadikan Aceh daerah yang Baldatun Thayyibatun wa rabbun ghafur," pungkasnya.