Polemik Koruptor Bebas Lebih Cepat, JPU Bisa Tuntut Hak Remisi dan PB Dicabut

7 September 2022 18:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar turut bicara mengenai ramainya koruptor bebas bersyarat usai mendapatkan remisi dan menjalani 2/3 masa hukumannya. Berkat remisi itu, sejumlah koruptor menjadi bisa bebas lebih awal karena memenuhi syarat Pembebasan Bersyarat.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari hal tersebut, dia meminta agar ke depan Jaksa Penuntut Umum (JPU) lebih progresif menuntut terdakwa kasus korupsi.
Dia menilai peran JPU sangat penting untuk memastikan koruptor bisa dihukum maksimal. Dalam persidangan, kata dia, selain perlu untuk menuntut pidana penjara, penyitaan aset, dan pencabutan hak politik, JPU juga dinilai semestinya memasukkan pencabutan hak pengurangan hukuman atau remisi sebagai tuntutan.
Tuntutan pencabutan hak mendapatkan remisi ini dinilai dapat menjadi salah satu alternatif agar para terpidana kasus korupsi nantinya mudah keluar penjara usai perkaranya inkrah. Sehingga, hukuman yang diberikan pun membawa efek jera.
Sebab, kata Akbar, saat ini di UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memang menjamin hak remisi bagi seluruh narapidana. Hak remisi harus diberikan kepada semua narapidana tanpa terkecuali. Namun demikian, tetap saja ada peluang koruptor tak mendapatkan hak itu, jika dicabut dalam putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, langkah konkretnya, ke depan Jaksa harus menuntut pencabutan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana koruptor. Sehingga Hakim juga dapat memutuskan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat dalam putusan," kata Akbar saat dihubungi Rabu (7/9).
"Sehingga Kemenkumham dapat tidak memberikan hak tersebut," tambahnya.
Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar. Foto: law.ugm.ac.id
Akbar menyinggung sedikit soal tahapan dalam sistem aturan peradilan. Mulai dari formulasi yang membuat aturan, aplikasi yang menegakan hukum, dan eksekusi yang menerapkan pidana.
"Nah, remisi itu ada di tahap eksekusi, dilakukan oleh Jaksa dan Kemenkumham. Mereka tinggal menerapkan aturan saja. Ribuan napi tidak bisa dipilih-pilih. Jadi itu hak otomatis," ungkapnya.
Jadi, kata dia, persoalan terkait mudahnya narapidana kasus korupsi bebas dengan mendapat remisi itu bukan pada tahap eksekusi, tapi bermasalah sejak formulasi atau perumusan aturan tentang remisi koruptor.
ADVERTISEMENT
"Makanya salahnya sejak di formulasi [UU Nomor 22 Tahun 2022], di mana aturan koruptor, kok, enggak dibedakan dengan napi lain. Kenapa sama? sehingga alhasil jadi tidak adil," tambahnya.
Pada tahap penerapannya juga dinilai bermasalah, termasuk dalam tuntutan jaksa dan putusan hakim. Ia mencontohkan putusan banding mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Putusan banding, hakim bilang tuntutan PU [Penuntut Umum] menuntut Pinangki mencerminkan rasa keadilan. Rasa keadilan siapa ini enggak jelas," kata dia.
"Tapi ini semua adalah salah sistem secara bersamaan," ungkap dia.
Pinangki merupakan mantan jaksa yang terjerat kasus karena menerima suap dari buronan Djoko Tjandra. Di pengadilan tingkat pertama, dia divonis 10 tahun penjara. Vonis itu lebih tinggi dari tuntutan jaksa yakni 4 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Namun di tingkat banding, majelis hakim memutus memotong hukuman Pinangki menjadi 4 tahun. Sesuai dengan tuntutan jaksa.
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari bersiap mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/11). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Kata Akbar, harapan alternatif di tengah sistem perundang-undangan yang memberi hak remisi narapidana koruptor adalah sikap progresif jaksa sebagai penuntut. Tidak hanya menuntut pencabutan hak politik atau hak tertentu. Tapi juga peniadaan hak remisi dan pengurangan hukuman.
Akbar mengungkapkan bahwa pencabutan hak remisi atau pembebasan bersyarat sudah lumrah diterapkan di negara maju.
"Salah satu pidana tambahan adalah pencabutan hak tertentu. Selama ini banyak hak dicabut termasuk hak politik sebagaimana ada rujukan dalam KUHP. Hak tertentu ini bisa juga menjerat hak remisi dan hak pembebasan bersyarat," kata Akbar.
"Di negara-negara maju, pemberian pidana without parole (pembebasan bersyarat) itu hal yang sudah baik diterapkan," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Kemarin, sejumlah koruptor bebas ramai-ramai. Totalnya ada 23 orang koruptor. Mereka mendapat remisi dan pembebasan bersyarat. Mereka mereka di antaranya: eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Ratu Atut Chosiyah, Suryadharma Ali, hingga Zumi Zola.
Pada bulan September 2022, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memberikan hak bersyarat kepada 1.368 narapidana di seluruh Indonesia. Baik itu Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), maupun Cuti Menjelang Bebas (CMB).
"Di antaranya adalah 23 narapidana Tipikor yang sudah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari 2 Lapas, yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang," kata Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/9).
Menurut Rika, pemberian hak bersyarat itu sudah sesuai dengan ketentuan. Yakni merujuk Pasal 10 Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah napi korupsi tercatat mendapat remisi atau pengurangan hukuman. Dengan pengurangan itu, mereka bisa mendapat hak Pembebasan Bersyarat lebih awal lantaran sudah menjalani 2/3 masa penahanan.
"Semua narapidana yang telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif seperti yang disebutkan di atas, dapat diberikan hak Bersyarat seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Hak ini diberikan tanpa terkecuali dan non diskriminatif kepada semua narapidana yang telah memenuhi persyaratan, seperti yang tercantum pada pasal 20 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan," papar Rika.