Polemik Penghapusan Indikator Kematian dalam Penanganan COVID-19 di RI

11 Agustus 2021 6:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga berziarah di dekat pusara keluarganya di area pemakaman khusus COVID-19 di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/7). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga berziarah di dekat pusara keluarganya di area pemakaman khusus COVID-19 di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/7). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
ADVERTISEMENT
Pemerintah memutuskan menghapus indikator kematian dalam penanganan COVID-19. Keputusan itu disampaikan Koordinator PPKM Jawa dan Bali Luhut Binsar Pandjaitan.
ADVERTISEMENT
Luhut menuturkan, keputusan ini diambil karena ada kesalahan pada saat memasukkan data kematian. Sehingga keputusan selanjutnya yakni dengan meniadakan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19.
"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," kata Luhut yang juga menjabat Menko Maritim dan Investasi.
Sejak dihantam varian delta, Indonesia kerap melaporkan kasus kematian harian tertinggi di dunia. Pada Senin (9/8), terdapat 1.475 kasus kematian yang dilaporkan. Sementara pada Selasa (10/8) ada 2.048 kasus kematian akibat COVID-19.
Meski begitu, Luhut mengatakan Indonesia telah berhasil turun hingga lebih dari setengah dari puncak kasus pada 15 Juli lalu.
ADVERTISEMENT
"Dari data yang didapat penurunan sudah dapat hingga 59,6% dari puncak kasus di tanggal 15 Juli 2021 lalu. Momentum yang sudah cukup baik ini harus terus dijaga," ucap Luhut.
Warga berziarah di dekat pusara keluarganya di area pemakaman khusus COVID-19 di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (27/7). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Dikritik Pakar Kesehatan

Ahli Wabah UI Pandu Riono mengkritik keputusan ini. Menurutnya, apabila indikator tak menunjukkan hasil yang diinginkan, perbaiki data yang ada, bukan indikatornya yang dihilangkan.
"Kita tuh bikin indikator tapi enggak konsisten menerapkan indikator. Kalau enggak bisa merealisasikan kejadian yang diindikasikan jangan dihapus indikatornya. Datanya yang diperbaiki. Kan kita mau mengendalikan pandemi. Kalau ada indikator kematian ya dipakai. Semua di dunia pakai indikator kematian,” kata Pandu.
Pandu menekankan pemerintah harusnya tak menghapus indikator apabila data yang ada tak sesuai. Tak jadi masalah apabila penanganan pandemi belum menunjukkan hasil yang diharapkan, tetapi indikator justru harus konsisten diterapkan hingga berhasil.
ADVERTISEMENT
"Ya mereka [pemerintah] mau jaga fitrah aja bahwa mereka sudah berhasil. Padahal enggak papa [kalau belum berhasil], memang susah. Yang penting konsisten agar bisa berhasil,” ucap dia.
“Jadi PPKM juga harusnya bukan diperpanjang, ‘PPKM Level 4 sampai Agustus, tapi tiap minggu akan kita evaluasi, kalau memungkinkan ada pelonggaran akan kita tetapkan,’, itu aja harusnya,” tutup Pandu.
Prof Wiku Adisasmito. Foto: BNPB

Penjelasan Satgas COVID-19

Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Prof. Wiku Adisasmito, menjelaskan dikeluarkannya indikator kematian adalah untuk memperoleh hasil perhitungan yang tepat.
"Pada prinsipnya demi mencapai perhitungan yang tepat dari data yang valid," kata Wiku.
Wiku membenarkan juga pemerintah sedang memperbaiki sistem pencatatan COVID-19. Sebab, berdasarkan pernyataan Luhut, terjadi ketidakselarasan antara data asli di pusat dengan yang dilaporkan oleh daerah.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pemerintah tengah berupaya mencocokan data kematian yang dimiliki setiap daerah dengan pemerintah pusat. Dengan begitu, maka pengambilan keputusan terkait penentuan level PPKM dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.
"Iya. Interoperabilitas data pusat daerah terus ditingkatkan," tutup Wiku.

Angka Kematian Sering Terlambat tapi Jangan Hapus dari Indikator

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Iwan Ariawan, mengerti mengapa angka kematian dihapus dari indikator penanganan COVID-19. Menurutnya, hal ini seharusnya tidak dilakukan.
“Sebetulnya enggak boleh dihapus, harus tetap ada. Tapi saya juga ngerti konsepnya Pak Luhut karena angka kematian itu sering terlambat infonya. Jumlahnya enggak bener. Tapi menurut saya jangan dihapus,” kata Iwan.
Iwan mengatakan, angka kematian harusnya tetap dimasukkan ke dalam indikator, tetapi dicek ulang dan didiskusikan datanya menurut kabupaten/kota. Jika datanya tidak bisa dipercaya, maka boleh tak digunakan.
ADVERTISEMENT
“Tetep masuk, kasus per kasus, misalnya per kabupaten. Nah, di antara yang bahas PPKM, dilihat saat ada indikator kematian bisa kita percaya atau enggak, tapi jangan semua dihapus. Saya ngerti juga karena untuk memperbaiki data perlu waktu, lho,” terang dia.
"Misalnya kita mulai [penentuan level] sekarang mungkin datanya baru bisa bagus 1-2 bulan lagi. Nah, itu, kan, enggak tepat. Tapi jangan dihapus, kita coba koreksi menurut ahli,” tutur dia.

WHO Wajibkan Indikator Kematian Harus Disertakan

Berdasarkan buku pedoman WHO berjudul Considerations for implementing and adjusting public health and social measures in the context of COVID-19, penanganan COVID-19 di seluruh dunia pada dasarnya bertujuan untuk menekan angka kematian.
WHO menulis seperti ini:
ADVERTISEMENT
Public health and social measures telah terbukti penting untuk membatasi penularan COVID-19 dan mengurangi angka pasien meninggal
Buku pedoman tersebut dipublikasikan pada 14 Juni lalu. Buku itu menjadi petunjuk praktis bagaimana sebuah negara dapat mengatasi pandemi. Sejumlah variabel untuk mengukur bagaimana keberhasilan suatu negara pun disediakan.
Menurut WHO, paling tidak ada empat indikator wajib (primary) untuk mengatasi pandemi. Yakni, tingkat rawat inap, kematian, kasus baru, dan testing. Empat hal mendasar tersebut dijabarkan oleh WHO seperti dalam tabel di bawah ini:
1 Tingkat Rawat Inap
Semua kasus yang memerlukan rawat inap yang ditandai dengan kasus rawat inap COVID-19 baru per 100.000 penduduk per minggu
2 Kematian
Kasus COVID-19 yang berujung pada kematian yang ditandai dengan jumlah kematian akibat COVID19 per 100.000 penduduk per minggu
ADVERTISEMENT
3 Kasus Baru
Kasus baru COVID-19 yang terkonfirmasi per 100.000 populasi per minggu
4 Testing
Jumlah tes yang ditandai dengan positivity rate per minggu
Pelaksanaan screening testing Swab Antigen di Posko Checkpoint Exit Tol Cibatu arah Jakarta, Minggu (16/5). Foto: Instagram/@dishubdkijakarta
WHO menyebut empat indikator itu ditentukan dari data dikumpulkan secara rutin selama pandemi. Selain itu, empat indikator tersebut juga telah diuji di berbagai penyakit menular lainnya.
Menurut WHO, empat indikator tersebut dapat menjadi asesmen atau penilaian terhadap suatu wilayah. Harapannya, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat pada wilayah tersebut.
Sejak 3 Juli lalu, empat indikator itu pun digunakan pemerintah Indonesia untuk menentukan level-level PPKM di sebuah kota/kabupaten. Namun, pemerintah Indonesia kini memutuskan untuk menghapus salah satunya.
Selain empat indikator di atas, ada juga indikator tambahan yang bisa digunakan sebagai pertimbangan. Seperti beberapa di antaranya adalah Keterisian ICU, Vaksinasi Kumulatif (Dosis 1 atau lengkap), dan tingkat pertumbuhan harian kasus.
ADVERTISEMENT