Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Polemik Rumah Ber-SHM Digusur: Kini Clusternya Sunyi Sepi, Air-Listrik Mati
4 Februari 2025 15:15 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Tak ada bocah berlari-lari, tak ada ibu-ibu menjemur baju, tak ada mobil terparkir, tak ada interaksi. Begitu lah kira-kira kondisi perumahan Cluster Setia Mekar 2 di Setiamekar, Tambun Selatan, Bekasi, pada Selasa (4/2).
ADVERTISEMENT
Rumah-rumah itu tampak kosong tak berpenghuni. Warga sudah meninggalkan rumahnya imbas eksekusi pengosongan yang dilakukan PN Cikarang kelas II yang dimulai pada 30 Januari lalu.
Rumah-rumah itu belum digusur. Para warga terdampak masih ingin melakukan perlawanan karena mereka memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang resmi.
Sayangnya, di tengah perlawanan mereka, listrik dan air dimatikan. Tempat berlindung mereka kini tak layak dihuni.
“Kalau dengan padamnya listrik atau dicabutnya arus listrik, kemudian PDAM juga dicabut, otomatiskan itu kan menghentikan kehidupan. Bagaimana warga bisa hidup di dalam, di rumah yang tanpa listrik, tanpa air?” ujar pendiri sekaligus warga cluster, Abdul Bari, Selasa (4/2).
Bari merasa heran dengan keputusan PLN dan PDAM yang memutus listrik serta air di cluster-nya. Menurut Bari, para warga masih berhak mendapatkan sumber penghidupan itu karena secara legal masih menjadi pemilik tanah dan rumah.
ADVERTISEMENT
“Kita menempuh permohonan untuk penyambungan listrik ke atas perumahan satu kawasan. Dasarnya kan itu. Dasarnya kita melakukan penyambungan listrik kan dasarnya itu adalah legalitas tanah dan legalitas bangunan.Nah sementara legalitas tanah dan legalitas bangunan tidak pernah dibatalkan,” jelasnya.
“Tapi pada faktanya, kenyataannya, perintah pengadilan negeri Cikarang memaksa untuk memutus jaringan listrik dan air. Kemarin kita sudah melakukan upaya untuk memohon kepada PLN dan PDAM untuk menyambung kembali,” sambung dia.
Sayangnya, upaya warga untuk menyambung kembali listrik dan air ditolak oleh PLN dan PDAM.
Berbeda dengan warga cluster, beberapa rumah terdampak yang berada di luar harus rela digusur. Beberapa sudah rata dengan tamah.
Bangunan-bangunan itu ditutupi dengan pagar yang dibentuk dari seng. Di depannya, tertancap tulisan "tanah ini milik Mimi Jamilah".
ADVERTISEMENT
Tak hanya rumah, ada bangunan bekas mini market yang juga sudah diratakan. Padahal, selama 16 tahun dia sudah melayani warga sekitar.
“Kemudian ada Alfamart juga di situ terkena dampak juga dirubuhin juga. Yang mereka-mereka itu juga sama statusnya memiliki sertifikat hak milik,” jelas Bari.
“Bahkan Alfa itu sudah menggunakan tempat itu menurut keterangan pemilik tanahnya sudah 16 tahun,” sambungnya.
Kasus ini bermula dari Mimi Jamilah menggugat tanah-tanah warga di PN Bekasi pada tahun 1996 lalu. Ia memenangkan gugatannya dan putusannya sudah inkrah di level Mahkamah Konstitusi pada tahun 1999.
Mimi merupakan ahli waris dari Abdul Hamid. Ia membeli tanah seluas 3,6 hektare dari Djuju Saribanon Dolly pada tahun 1976.
Namun, tanah tidak dibalik nama ke Abdul, sehingga ia hanya memegang Akta Jual Beli (AJB), bukan SHM.
ADVERTISEMENT
Di tengah jalan, Abdul tak melunasi pembelian tanah itu. Ia pun menjualnya ke Kayat melalui perantara bernama Bambang Heryanto di tahun 1982.
Kepemilikan tanah dilepas oleh Djuju dan resmi dibalik nama ke Kayat. Tanah dibagi ke empat bidang oleh Kayat. Sejumlah dua bidang dijual ke Tunggul Siagian.
Kemudian, Tunggul menjual sebidang tanahnya ke Abdul Bari di tahun 2019. Oleh Bari, sebidang tanah itu dipecah ke 27 bidang untuk dibuatkan cluster perumahan.