Polisi Dinilai Ceroboh soal Face Recognition, Harus Ada Evaluasi Internal

15 April 2022 16:21 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof Hibnu Nugroho. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof Hibnu Nugroho. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Polisi dua kali keliru mengidentifikasi pengeroyok Ade Armando. Saat itu para pelaku diidentifikasi menggunakan teknologi pemindai wajah atau face recognition.
ADVERTISEMENT
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Hibnu Nugroho, menilai kekeliruan itu adalah kecerobohan. Menurut dia, mestinya kepolisian memiliki alat identifikasi lain selain face recognition.
“Itu berarti ada suatu kecerobohan [...] Saya kira perlu ada suatu evaluasi dalam suatu pengungkapan satu perkara. Jangan percaya pada satu alat,” kata Hibnu kepada kumparan, Jumat (15/4).
Hibnu menjelaskan bahwa face recognition itu hanyalah salah satu dari banyak alat dan metode identifikasi. Mestinya, kata dia, sebelum mengumumkan hasil identifikasi tersebut, polisi seharusnya punya alat identifikasi pembanding.
“Mungkin harus ada dua alat. Juga mungkin ada pembanding yang lain. Kita harus pahami dalam pembuktian ini tidak semudah seperti itu,” ungkap Hibnu.
Polisi membawa Ade Armando yang terluka saat demo 11 April di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (11/4). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Ia kemudian meminta kepolisian untuk melakukan evaluasi internal atas kekeliruan identifikasi itu. Sebab, kesalahan tersebut bisa merugikan orang lain. Jalan kalau perlu, tambahnya, pihak kepolisian harus minta maaf.
ADVERTISEMENT
“Koreksi internal ya. Kalau sebagai bentuk akuntabilitas, ya, minta maaf atas kekeliruan karena menyangkut orang, yang mungkin juga bisa tercemar namanya karena identifikasi yang keliru itu,” terang Hibnu.
“Kasihan, kan, kalau sudah terjadi kaya gitu, apalagi sudah publish. Karena namanya suatu pengungkapan, perlu transparansi dan akuntabilitas,” tambahnya.
Hibnu sendiri maklum bila ada sebuah kekeliruan dalam sebuah pengungkapan. Tapi ia menyayangkan polisi tidak menggunakan alat identifikasi lain sebagai pembanding.
“Jadi kalau alat bantu untuk mengidentifikasi itu ada dua indikator: bisa alatnya, bisa orang yang mengoperasionalkan [yang keliru]. Nah, dalam hal seperti ini, kalau suatu keliru, dalam ilmu hukum memang ada pembanding untuk melihat suatu kepastian,” jelasnya.
“Jadi jangan sampai ada suatu penilaian yang sangat berdasarkan satu alat, ada pembanding, pembanding a, pembanding b, mana yang tepat,” kata dia.
Jumpa pers perkembangan penanganan kasus Ade Armando di Polda Metro Jaya, Rabu (13/4). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Kesalahan identifikasi bisa berlanjut pada bukti yang keliru. Dari itu, Hibnu menanti-wangi bahwa bukti itu tidak berdiri sendiri.
ADVERTISEMENT
“Namanya bukti itu tidak berdiri sendiri. Kalau sudah keliru-keliru seperti ini, kan, perlu ada evaluasi. Evaluasi error alatnya,” imbuhnya.
Diketahui sebelumnya terkait penyerangan Ade Armando, melalui hasil penyelidikan pihak kepolisian menetapkan Muhammad Bagja, Komar, Try Setia Budi, Dhia Ul Haq, Ade Purnama, Abdul Latip, dan Abdul Manaf sebagai tersangka.
Namun, polisi salah mengidentifikasi Try Setia Budi dan Abdul Manaf. Keduanya terbukti tidak berada di tengah demo 11 April dan menganiaya Ade Armando.