Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Akhir 2017, menjelang kelulusannya sebagai mahasiswa jurusan jurnalistik di Universitas Boston, Amerika Serikat, Sekar Krisnauli Tandjung memulai persinggungannya dengan politik praktis. Ia bergabung dengan tim kampanye Martin Joseph Walsh pada pemilihan Wali Kota Boston.
Minat Sekar pada politik sudah tumbuh sejak lama. Ketika bersekolah di SMA Santa Ursula Jakarta, misalnya, ia dan teman-temannya mengangkat tema politik pada acara pentas seni sekolah tahun 2013.
“Kami mengangkat isu politik dan demokrasi dengan harapan bisa mengajak siswa-siswa SMA untuk membuka mata terhadap Pemilu 2014, karena itu tahun pertama kami bisa mencoblos,” kata Sekar kepada kumparan, Minggu (7/4).
Saat kemudian berkuliah di Boston, aktivitas Sekar makin sering beririsan dengan urusan politik, seperti isu Black Lives Matter yang ketika itu menyeruak di AS. Belum lagi ketika magang di ABC News, Washington DC, Sekar ditugasi meliput ke White House hingga Capitol Hill.
Sepulang dari AS usai lulus pada 2018, Sekar pun mempraktikkan pengalaman politiknya pada Pilpres 2019. Ketika itu ia menjadi media officer Tim Kampanye Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sempat beberapa tahun bekerja profesional di sebuah start-up, Sekar memutuskan total masuk politik jelang Pemilu 2024. Pada April 2023, ia secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Solo. Ia pun maju sebagai calon anggota legislatif dan lolos menjadi anggota DPRD Solo periode 2024-2029.
“Saya memilih berpolitik dari DPRD kabupaten/kota dengan harapan bisa memulai di tingkatan yang paling dekat dengan masyarakat. Dan ternyata di situ saya belajar bahwa gesekan atau pertarungan yang paling keras dan real justru ada di tingkat II (kabupaten/kota),” ucapnya.
Gairah politik Sekar tak muncul begitu saja. Ia merupakan putri bungsu Akbar Tandjung, politikus senior yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar pada peralihan Orde Baru ke era Reformasi. Pada masa transisi itu, Golkar berada pada posisi genting. Namun Akbar berhasil menakhodai partai itu tanpa berakhir tenggelam.
Akbar yang kini dipercaya sebagai Ketua Dewan Kehormatan Golkar memberikan pengaruh politik kepada Sekar sedari kecil. Namun, menurut Sekar, sekalipun ia anak seorang elite partai, pilihannya terjun ke politik didominasi keputusan pribadi.
“Proses politisi berkarier dalam politik, walaupun ada faktor keluarga di dalamnya, masing-masing berbeda, tergantung banyak hal; tapi utamanya tergantung pada politisinya sendiri. Saya sendiri selalu mengatakan bahwa politik adalah panggilan,” kata Sekar.
Faktor orang tua yang turut memengaruhi keputusan individu untuk terjun ke politik juga dialami Dave Akbarshah Fikarno atau Dave Laksono. Ia merupakan putra Agung Laksono, elite politik Golkar yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR, Menko Kesejahteraan Rakyat, hingga kini sebagai anggota Wantimpres.
Seperti Akbar Tandjung, Agung Laksono pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Saat ini ia duduk di kursi Ketua Dewan Pakar Golkar.
“Kalau dikatakan apakah masuk politik by accident atau by design, saya ini by design, sebab saya sudah terekspose dengan organisasi politik dan urusan pelayanan masyarakat sejak kecil; sudah mendarah daging,” kata Dave.
Walau demikian, Dave tak semata mengandalkan nama besar ayahnya. Ia menempa diri dengan aktif berorganisasi seperti OSIS di SMAN 3 Jakarta; Ketua Bidang di Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias); sampai Ketua di Himpunan Pengusana Muda Indonesia (HIPMI).
Dave pun menempa pengalaman politiknya di Golkar dengan menjadi pengurus DPD Golkar DKI Jakarta, Ketua Umum Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Ketua DPD Golkar Cirebon, Ketua Umum Pimpinan Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro 1957, dan kini Ketua DPP Golkar.
“Ini semua tahapan untuk jadi lebih matang. Harus ada keyakinan dari kita [akan politik]. Kalau enggak ada minat dan enggak punya jiwa bertarung, enggak bakal dapat. [Posisi politik] is not easily given. Harus fight agar masyarakat mengenal kita,” kata Dave yang sejak Pileg 2014 terpilih sebagai anggota DPR RI.
Sementara bagi Rizal Aldyatma, dorongan ayah adalah faktor utama yang membuatnya mantap maju menjadi caleg DPRD Kulon Progo di Pileg 2024. Rizal merupakan putra Hasto Wardoyo, elite PDIP yang pernah memimpin Kabupaten Kulon Progo dan kini menjabat sebagai Kepala BKKBN.
Melalui perbincangan mendalam dengan ayahnya, Rizal berkenan nyaleg mengikuti nasihat ayahnya, walau ia sesungguhnya ingin menjadi pewarta foto. Rizal bersedia menuntaskan perjuangan politik ayahnya ketika menjabat Bupati Kulon Progo.
“Saya diminta [ayah] melanjutkan perjuangan dan silaturahmi di Kulon Progo. Masyarakat di sana punya banyak kebutuhan. Banyak yang harus diperjuangkan,” kata Rizal kepada kumparan.
Seperti Sekar di DPRD Solo, Rizal lolos menjadi anggota DPRD Kulon Progo pada kesempatan pertamanya ikut pileg.
Terpilih karena Faktor Dinasti atau Kompetensi?
Keputusan Sekar, Dave, dan Rizal terjun ke politik tak jarang memunculkan nada sumbang bahwa kelolosan mereka sebagai anggota dewan merupakan upaya melanggengkan dinasti politik , bukan karena kompetensi.
Tentu, bukan hanya ketiganya anggota dewan terpilih hasil Pileg 2024 yang memiliki latar belakang kekerabatan dengan elite parpol, pejabat tingkat pusat, kepala daerah, maupun mantan kepala daerah.
Anggota dewan terpilih yang memiliki hubungan politik kekerabatan di antaranya Diah Pikatan (DPR-PDIP), putri Ketua DPR Puan Maharani; Mochamad Herviano (DPR-PDIP), putra Kepala BIN Budi Gunawan; Kaisar Kiasa (DPR-PDIP), putra Ketua Banggar DPR Said Abdullah. Lalu ada Himmatul Aliyah (DPR-Gerindra), istri Sekjen Gerindra Ahmad Muzani; Marlyn Maisarah (DPR-Gerindra), istri Waketum Gerindra Sugiono.
Kemudian Puteri Anetta (DPR-Golkar), putri eks Ketua DPR Ade Komarudin; Ravindra Airlangga (DPR-Golkar), putra Ketum Golkar Airlangga Hartarto; Atalia Praratya (DPR-Golkar), istri eks Gubernur Jabar Ridwan Kamil; Prananda Paloh (DPR-NasDem), putra Ketum NasDem Surya Paloh.
Selanjutnya Taufiq R Abdullah (DPR-PKB), suami Menaker Ida Fauziyah; Netty Prasetiyani (DPR-PKS), istri eks Gubernur Jabar Ahmad Heryawan; Putri Zulhas (DPR-PAN), putri Mendag Zulkifli Hasan; Edhie Baskoro Yudhoyono (DPR-Demokrat), putra mantan Presiden SBY; Hillary Lasut (DPR-Demokrat), putri Bupati Kepulauan Talaud Elly Lasut.
“Saya kira ini paling vulgar dinasti politik yang terjadi di DPR, karena misalnya akan ada berapa pasang suami istri, terus ada juga ibu anak, bapak anak. Jadi kalau gitu jadi semacam arisan keluarga di DPR,” kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, pada kumparan, Rabu (3/4).
Menjawab nada sumbang itu, Sekar, Dave, dan Rizal tak menampik menjadi anak seorang elite politik yang dikenal merupakan sebuah privilege. Tetapi, hal tersebut bukanlah faktor utama penentu keterpilihan mereka.
Bagi Sekar, kompetensi serta rajinnya ia turun ke masyarakat merupakan faktor kunci yang membuatnya terpilih. Adapun Dave sempat tak terpilih ketika maju di Pileg 2009, padahal ketika itu ayahnya merupakan Ketua DPR.
Sedangkan menurut Rizal, faktor nama besar ayahnya hanya membantu sekitar 30%, sedangkan sisanya lebih ditentukan kerja-kerja kampanye di lapangan.
“Gak ada istilah terima beres, harus fight meyakinkan masyarakat, mengenal dan dikenal,” kata Dave.
“Tidak semua yang kami lakukan hanya bergantung pada privilege. Perlu ditutupi dengan kerja keras dan kepandaian,” timpal Sekar.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, menyatakan majunya anak, istri, atau kerabat para elite parpol maupun kepala daerah sebagai anggota dewan, memang ada yang dilatarbelakangi ketertarikan pribadi dengan politik.
“Karena memang proses pendidikan politik sudah berjalan sejak kecil, sudah terbiasa dengan lingkungan politik,” ucapnya.
Namun menurut Hurriyah, caleg yang memiliki dorongan pribadi seperti itu tidak banyak. Ia menilai kebanyakan anak atau kerabat politisi maju sebagai caleg dilatarbelakangi keinginan elite politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Upaya tersebut terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk melampaui sekat teritorial maupun kepartaian. Semisal seorang kepala daerah mendorong anaknya maju di level DPR RI atau seorang anggota DPR dari partai A mendorong anak-anaknya maju sebagai caleg melalui partai lain.
“Banyaknya politisi muda di satu sisi gembira, tapi di sisi lain miris karena mayoritas mereka adalah orang-orang yang punya tren politik dinasti. Kenapa elite politik mau mewariskan ke anaknya atau istrinya, agar dia bisa tetap punya pengaruh pada kekuasaan politik, bisa atur istri, anak atau kerabatnya,” kata Hurriyah.
Anak atau kerabat elite parpol yang maju nyaleg tentu memiliki keuntungan lebih dibanding yang lain. Selain popularitas elite parpol, akses tidak boleh dilupakan. Hurriyah menyebut faktor akses penting untuk mendapat dukungan logistik saat berkampanye. Terlebih pemilu saat ini sangat diwarnai dengan politik uang.
“Ongkos politik mahal banget, ada caleg yang mengeluarkan Rp 30 miliar buat DPR tapi gak kepilih. Oke mereka [politisi muda] punya akses, tapi apakah mereka punya sumber daya uang? akhirnya yang diandalkan patron di belakangnya. Elite politiknya mungkin juga gak punya uang, akhirnya mengandalkan dari oligarki,” jelasnya.
Tak cuma itu, jejaring mesin politik dari elite parpol di lapangan juga berguna bagi anak atau kerabatnya ketika berkampanye sebagai caleg. Sebab sangat jarang bagi seseorang yang bukan berlatar belakang aktivis dan tidak melalui proses kaderisasi, bisa memiliki jejaring yang kuat ketika maju pertama kali sebagai caleg.
“Jadi yang memiliki legacy berjuang sendiri anak-anak pejabat itu mungkin hanya 1-2 orang, selebihnya mereka terpilih didorong oleh kekuatan uang dan jabatan orang taunya,” kata pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin.
Politik Dinasti Kian Menjamur
Puskapol UI mencatat, politik dinasti mulanya muncul di Pilkada 2005, kemudian merambah Pileg 2009. Sejak gelaran Pileg 2009 hingga Pileg 2019, Puskapol mencatat ada 177 anggota DPR yang terpilih karena pengaruh politik dinasti. Trennya meningkat di tiap Pileg yakni 27 orang di Pileg 2009, 51 orang di Pileg 2014, dan 99 orang di Pileg 2019.
Mirisnya, kata Hurriyah, justru politisi perempuan yang paling terdampak dan dimanfaatkan untuk politik dinasti, seperti yang terjadi di Pileg 2019.
“Analisis Puskapol pada keterpilihan perempuan di DPR tahun 2019 memperlihatkan 41%.dari 118 anggota legislatif perempuan yang terpilih adalah mereka yang punya hubungan kekerabatan, anak, istri, menantu, atau hubungan kekerabatan dengan elite politik atau elite lokal di daerah,” jelas Hurriyah.
Dengan tingkat keberhasilan yang tinggi di tiap Pileg, membuat parpol terus melanggengkan cara mencalonkan caleg yang memiliki latar belakang politik dinasti. Sebab pada akhirnya, tujuan parpol adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya kursi di parlemen.
Kajian Puskapol memotret caleg dengan hubungan kekerabatan atau politik dinasti merupakan salah satu dari tiga ciri caleg yang paling banyak dicalonkan oleh parpol.
“Begitu dikenalkan ini anak saya, maka pemilihnya mungkin akan memilih anak tersebut karena melihat pada sosok orang tuanya,” kata Hurriyah.
Sementara dua ciri caleg lainnya adalah caleg dengan kemampuan modal atau pengusaha dan caleg yang populer atau artis.
“Kedua adalah elite ekonomi, karena politik elektoral butuh ongkos yang sangat mahal. Ketiga adalah faktor popularitas, contoh Komeng gak pakai kampanye jor-joran, orang bahkan gak tau dia nyaleg, tapi perolehan suaranya signifikan 5 juta sekian,” ucapnya.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, memandang makin banyaknya caleg berlatar politik dinasti lantaran faktor kaderisasi di partai yang buruk dan hanya bersifat formalitas. Parpol lebih mementingkan sisi pragmatis.
“Penentuan siapa yang didaftarkan sebagai caleg hampir tidak pernah dilakukan karena alasan orang sudah layak secara kompetensi. Yang kemudian dilakukan parpol umumnya pertimbangan soal kapasitas finansial atau elektoral, seberapa besar caleg atau figur punya potensi untuk mendongkrak suara partai,” kata Lucius.
Penentuan caleg yang hanya berdasar pada faktor pragmatis membuat pemilih hanya disuguhi pilihan yang terbatas. Alhasil bagi Hurriyah, parpol di era demokrasi kini tak ubahnya sebagai ‘monarki baru’.
Sementara Lucius berpandangan, semakin kentalnya politik dinasti dalam pencalonan anggota dewan bisa mengakibatkan demotivasi pada kader-kader tulen partai. Sebab kerja keras mereka membesarkan partai justru dinegasikan oleh politik kekerabatan.
“Ada kader yang setia melewati proses tapi tidak kunjung mendapatkan tempat untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif. Tapi kader-kader yang baru terdaftar sebagai kader, tapi karena punya hubungan kekerabatan dengan elite partai kemudian dicalonkan sebagai caleg,” kata Lucius.
Tak Seluruhnya Buruk
Meski stempel politik dinasti begitu negatif, tetapi bukan berarti seluruh caleg yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite parpol merupakan contoh buruk.
Caleg-caleg dari kelompok dinasti politik bisa dinilai kompeten apabila memiliki rekam jejak yang baik sebelum nyaleg. Kemudian mengikuti proses kaderisasi di partai sejak lama, tidak menjadi kader dadakan jelang pemilu, hingga menapaki karier politik di parlemen secara berjenjang dimulai dari DPRD kabupaten/kota sampai puncaknya di DPR RI.
“Rata-rata aktivis atau kader partai akan memulai dari tingkat kabupaten/kota, kemudian naik ke DPRD provinsi, lalu DPR RI. Tapi tidak harus modelnya seperti itu. Intinya seseorang dianggap tidak mengandalkan hubungan genealogi semata ketika ada proses yang dilalui, mengikuti proses kaderisasi partai, dan direkrut bukan hanya menjelang pemilu,” jelas Hurriyah.
“Kalau dia melalui jenjang kaderisasi yang baik di partai, artinya dia tangguh, taat aturan partai,” timpal Ujang.
Walau demikian, Lucius menilai tetap perlu ada aturan untuk mengatur agar politik kekerabatan tidak semakin menguasai parlemen. Ia mengusulkan adanya aturan di UU Pemilu yang memberi batasan soal relasi kekeluargaan dalam pencalonan anggota legislatif.
Aturan semacam ini pernah diterapkan di UU Pilkada, sekalipun pada akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 33/PUU-Xlll/2015. Ia juga pesimistis parpol berkenan mengatur pembatasan tersebut.
Sedangkan untuk jangka panjang, Lucius menilai perlu ada perbaikan dalam proses kaderisasi dengan meminimalisir keberadaan oligarki di internal partai.
Adapun MK dalam putusan nomor 114/PUU-XX/2022 telah meminta DPR untuk mengatur syarat kaderisasi dalam proses revisi UU Pemilu. MK mensyaratkan seseorang yang dapat diajukan sebagai bakal calon anggota DPR minimal berpengalaman menjadi pengurus parpol atau telah terdaftar dan aktif sebagai kader minimal 3 tahun gelaran Pemilu. Sedangkan bagi calon anggota DPRD minimal harus menjadi kader selama 2 tahun sebelum pemilu.