Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Politik Saling Tunggu Jokowi - Prabowo di Pilpres 2019
1 Agustus 2018 12:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4 Agustus hingga 10 Agustus 2018 mendatang, sudah semakin dekat. Namun, terhitung sejak Rabu (1/8) ini, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, belum mengumumkan cawapres yang akan mendampingi mereka di Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Padahal, keduanya mengaku sudah mengantongi nama yang dirasa klop. Langkah Jokowi dan Prabowo yang belum mengumumkan cawapres memunculkan banyak spekulasi.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Adi Prayitno, menganggap Jokowi dan Prabowo memang sengaja untuk saling menunggu mengumumkan cawapres. Ada perhitungan politik di balik saling tunggu ini.
"Ini politik saling nunggu, ibarat ini striker-nya siapa, beknya siapa, atau ini jangan-jangan enggak pakai striker nanti, semacam taktik politik biasa, supaya bagaimana nantinya lebih mudah menang di pilpres," ujar Adi saat dihubungi kumparan, Rabu (1/8).
Apalagi, kata Adi, yang menjadi penentu kemenangan di Pilpres 2019 saat ini, justru adalah sosok cawapres itu sendiri. Keduanya tentu akan saling menyesuaikan cawapres yang dipilih, jika kubu seberang sudah lebih dulu menentukan.
ADVERTISEMENT
"Posisi cawapres adalah kunci kemenangan di pilpres, bukan capres, apakah mampu memberikan sumbangan elektoral atau tidak. Karena salah memilih cawapres, ini bisa menjadi petaka justru," lanjutnya.
Adi bahkan tak memungkiri posisi cawapres Jokowi akan ditentukan dari kalangan mana cawapres Prabowo berasal. Hal itu juga berlaku sebaliknya.
"Kalau cawapres Prabowo dari militer, Jokowi juga akan mengambil dari militer, kalau dari ulama, sepertinya juga Jokowi mengambil dari ulama. Hal ini yang turut menjelaskan kenapa Jokowi masih menimbang siapa cawapres yang akan diusung. Maka, tidak heran Jokowi cawapresnya masih ada di dalam kantong, tapi enggak diambil-ambil cawapresnya," sebutnya.
Terlebih, Adi juga belum meyakini Prabowo akan benar-benar maju menjadi capres. Hal itu terlihat saat Prabowo menyatakan bahwa ia siap untuk tidak maju jika memang tidak didukung koalisi.
ADVERTISEMENT
"Itu menyiratkan Prabowo sedang mengkalkulasi kekuatan politiknya, dia cukup realistis, bahwa posisi dia sulit, elektabilitas yang stuck, partai koalisi lain misalnya sudah terlampau setuju kalau capresnya Pak Prabowo," Adi menambahkan.
Maka jangan heran, jika kedua kubu nantinya memilih untuk mendaftarkan diri di menit-menit akhir (last minute). Segala sesuatunya, ungkap Adi, harus sejalan sesuai strategi, apalagi melihat koalisi nonpemerintah yang sebenarnya belum 'deal' dalam pengusungan capres.
"Mereka juga mengintip strategi apa yang dimainkan lawan, bisa saja, misal 'jangan-jangan bukan Prabowo yang dicapreskan, tapi malah Anies (Baswedan) - AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), misalnya," imbuh Adi.
Sosok cawapres ideal
Berbicara cawapres, sejauh ini, sejumlah nama memang sudah mengerucut. Misal, dari segi elektabilitas, terdapat sejumlah orang yang digadang-gadang menjadi sosok terkuat untuk mendampingi Jokowi. Kelima orang itu, yakni Jusuf Kalla, Mahfud MD, Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, KH Ma'ruf Amin, dan Chairul Tandjung.
ADVERTISEMENT
Adi menuturkan, jika dari segi elektabilitas, Jusuf Kalla adalah sosok paling kuat dibanding keempat kandidat lainnya. Lantaran, JK dinilai sebagai paket lengkap yang mewakili semua golongan.
"Dia (JK) dapat unsur Islam, pengusaha, dia juga dapat unsur luar Jawa, dan elektabilitasnya mantap. Sementara, orang-orang di luar JK, seperti Mahfud dan lainnya, mereka juga hebat, tapi elektabilitasnya rendah, ini yang menjadi pertimbangan Jokowi," terangnya.
Hanya saja, saat ini JK sedang terbentur Undang-undang Pemilu yang melarangnya untuk kembali mencalonkan diri karena sudah dua kali menjabat cawapres. Namun, jika nantinya gugatan UU Pemilu yang dilayangkan Perindo berhasil dimenangkan, JK bisa kembali berlenggang di Pilpres 2019.
Beralih ke Prabowo. Menurut Adi, AHY memiliki modal elektabilitas yang kuat dibanding enam kandidat cawapres terkuat lainnya. Apalagi, tawaran AHY menjadi cawapres saat ini, begitu gencar dilakukan Demokrat.
"Terlepas apakah Prabowo atau tidak (yang menjadi capres), cawapres memang sedang diincar oleh Demokrat, kan enggak mungkin dukungan ke Demokrat ini Lillahi Ta'ala, gratisan, apalagi dua jenderal (Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono) ini dalam sejarahnya enggak pernah ketemu," imbuh Adi.
ADVERTISEMENT
Adapun, kandidat pendamping Prabowo antara lain Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, Anies Baswedan, Ustad Abdul Somad, Zulkifli Hasan, Susi Pudjiastuti, hingga Sandiaga Uno.
Salim Segaf dan Ustaz Somad adalah cawapres yang direkomendasikan perkumpulan alumni 212 dalam forum Ijtima Ulama. Sedangkan koalisi Prabowo saat ini, yakni PAN, PKS dan Demokrat, juga belum mengumumkan cawapres pilihan mereka.