Politikus Golkar soal Denda Damai Koruptor: Tak Salah, Perlu Revisi UU Tipikor

29 Desember 2024 11:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menggiring Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa (kanan) bersama dua tersangka lainya menuju ruang konferensi pers terkait penetapan dan penahanan tersangka OTT KPK di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Rabu (4/12/2024). Foto: Muhammad Ramdan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menggiring Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa (kanan) bersama dua tersangka lainya menuju ruang konferensi pers terkait penetapan dan penahanan tersangka OTT KPK di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Rabu (4/12/2024). Foto: Muhammad Ramdan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI Ahmad Irawan menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi yang menyebut koruptor bisa diampuni lewat denda damai.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, wacana tersebut harus dibarengi dengan peraturan yang jelas agar tidak menyalahi ketentuan.
“Wacana yang disampaikan oleh Menkum tidak salah karena memang normanya membuka ruang untuk penafsiran. Namun perlu perjelas dan pertegas undang-undang dengan merevisinya," kata Ahmad Irawan dalam keterangannya, Minggu (29/12).
Namun, Supratman sudah meluruskan terkait denda damai ini. Ia menjelaskan denda damai bagi koruptor hanya bertujuan sebagai pembanding dan bukan wacana UU yang mengatur soal denda damai bagi koruptor bakal dibuat dan disahkan.
Supratman hanya ingin membandingkan UU Tipikor dan UU Kejaksaan yang sama-sama memberi dampak kerugian bagi keuangan negara.
"Apa yang disampaikan oleh Menkum tidak salah karena memang normanya membuka ruang untuk penafsiran. Undang-undangnya saja perlu diperjelas dan dipertegas dengan salah satunya upaya revisi,” kata Irawan.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat memberikan keterangan soal denda damai di Kantor Kementerian Hukum pada Jumat (27/12/2024). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan

Denda Damai

ADVERTISEMENT
Denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui Jaksa Agung. Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.
Irawan sepakat Jaksa Agung memiliki wewenang penggunaan denda damai (schikking). Meski begitu, hanya untuk kasus tertentu sesuai Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
“Dalam pasal tersebut menyebutkan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan,” kata Irawan.
Caleg Golkar Ahmad Irawan. Foto: Dok. Golkar
Dalam bagian penjelasan ketentuan diterangkan denda damai setidaknya merupakan upaya penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui Jaksa Agung.
ADVERTISEMENT
Bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung itu pun hanya dalam tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan, atau tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan undang-undang.
Denda damai masuk dalam kategori keadilan restoratif (restorative justice) atau untuk bidang ekonomi dikenal dengan istilah fiscal recovery yang merupakan upaya untuk memulihkan kerugian perekonomian negara.
“Denda damai (schikking) jelas dan terang tercantum sebagai wewenang Jaksa Agung. Tapi ada postulat dalam membaca teks undang-undang yang bunyinya primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis,” ungkap Irawan.
Maksud postulat itu adalah perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum. Menurut Irawan, pertanyaan lanjutan dari amanat Pasal 35 ayat 1 huruf k adalah apa saja yang masuk dalam ruang lingkup tindak pidana ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Apakah penggunaan denda damai dalam tindak pidana ekonomi dapat dilakukan juga untuk tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara?” tanya Legislator dari Dapil Jawa Timur V tersebut.
“Sedangkan inti delik dari perbuatan korupsi ialah perbuatan yang merugikan perekonomian negara,” imbuh Irawan.
Terdakwa kasus dugaan korupsi Harvey Moeis usai menghadiri sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/12/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Bandingkan Kasus Harvey Moeis dan Penyempurnaan UU Tipikor

Anggota DPR yang juga bertugas di Komisi II itu mengatakan, tindak pidana yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penalaran yang wajar tidak hanya pajak dan kepabeanan.
Ia lantas menyinggung kasus Harvey Moeis yang praktik usahanya dianggap merugikan negara dan masuk kategori korupsi.
“Mengenai Korupsi juga merugikan perekonomian negara seperti katakanlah kasus Harvey Moeis. Itu kan kasus yang merugikan perekonomian negara. Begitu juga tindak pidana seperti tindak pidana lingkungan hidup, kehutanan, perikanan dan kelautan, perdagangan, migas, pertambangan, dan lain-lain,” kata Irawan.
ADVERTISEMENT
Irawan mengingatkan pemerintah bersama DPR agar segera menyesuaikan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menurutnya, UU Tipikor perlu disesuaikan dengan perkembangan dan arah politik hukum yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto yang lebih menitikberatkan pada pemulihan asset dan kerugian (asset/fiscal recovery).
“Begitu juga mengenai upaya denda damai ini, tindak pidana ekonomi dan kerugian perekonomian negara. Kita harus memperjelas dan memperinci kewenangan Jaksa Agung baik itu berdasarkan prinsip dominus litis dan/atau prinsip opportunitas tadi, termasuk denda damai tadi yang bisa dieksekusi langsung oleh Jaksa Agung (semi-judge),” kata Irawan.