Politikus PDIP: Selalu Ada Oknum Partai Produksi Isu SARA Pengaruhi Pemilih

13 Agustus 2020 15:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada Serentak 2020 tak menutup kemungkinan masih akan diwarnai oleh isu-isu agama dan SARA, atau yang tidak berhubungan dengan visi misi calon kepala daerah. Apalagi, berkembangnya media sosial kerap dimanfaatkan sebagai wadah sosialiasi, atau justru menyebar isu kepada calon pemilih.
ADVERTISEMENT
Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko mengatakan, hampir di setiap penyelenggaraan pemilu atau pilkada akan selalu hadir dinamika antarpendukung masing-masing calon.
"Dinamika dari para pendukung yang bisa saja ada koordinasi diam-diam dari unsur tim resmi, atau secara spontan muncul bahwa ada sebagian pemilih bukan berpikir gimana mendapatkan pemimpin yang baik untuk kelompokku, negaraku. Tapi untuk mengeluarkan aspirasi-aspirasi yang tertimbun di bawah sadar," ujar Budiman dalam sebuah diskusi virtual di Jakarta, Kamis (13/8).
Politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Ia mengungkapkan teknologi dan media sosial saat ini tidaklah asing untuk digunakan sebagai tempat berdiskusi dan mengeluarkan gagasan politik. Tetapi, turut dimanfaatkan untuk kampanye hitam (black campaign).
"Kenapa? Karena media sosial enggak ada pertanggungjawaban sosial. Media sosial sebenernya memberikan ruang yang hampir tak terbatas bagi aspirasi-aspirasi atau ungkapan gagasan, dukungan, kebencian, ketakutan yang enggak bisa dipertanggungjawabkan secara sosial lewat medsos," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Budiman kemudian mencontohkan fenomena buzzer yang disewa timses calon kepala daerah. Biasanya, kelompok buzzer yang kebanyakan diisi anak-anak muda akan diminta membuat akun dalam jumlah besar, lalu memainkan akun-akun mereka. Sehingga, seolah-olah mereka adalah masyarakat yang sedang menyambut perhelatan politik.
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Lewat media sosial itu juga, mereka akan menyebarkan berbagai isu, salah satunya dengan membuat ucapan kebencian, sehingga bisa memengaruhi calon pemilih.
"Partai politik tidak akan terang-terangan memforsir isu kebencian, ras, atau agama. Tapi selalu ada saja jaringan pendukung masif, simpatisan, berkoordinasi dengan oknum partai atau timses untuk memproduksi isu itu. Dan mereka bisa memengaruhi pilihan politik dengan tanpa pertanggungjawaban sosial, tanpa ada rasa malu," ungkap dia.
Cara berkampanye lewat media sosial diakuinya tidak perlu memiliki pertanggungjawaban sosial. Namun, bagaimana rasa suka atau tidak sukanya pendukung militan terhadap calon pasangan kepala daerah tertentu, membuat mereka ingin menjatuhkannya.
ADVERTISEMENT
"Karena politik demokrasi bukan bicara soal mana yang rasional, tapi mana yang disukai dan tidak disukai. Alasannya bisa 1.001 alasan dan enggak ada hubungan dengan visi misi. Ada ketidakpercayaan menggunakan kampanye mendukung calon," ujar Budiman.
"Saya tidak mensosialisasikan visi misimu. Saya cuma pengin lawan yang tidak saya sukai harus didiskreditkan. Paling mudah kan sentimen agama atau suku, karena sentimen agama dan suku nyaris orang enggak berusaha," pungkasnya.
=====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona