Politikus PKS Bertanya ke Polisi: Apa yang Salah Mimpi Bertemu Rasulullah?

28 Desember 2020 17:25 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politisi PKS, Bukhori Yusuf. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Politisi PKS, Bukhori Yusuf. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Langkah polisi memeriksa Haikal Hassan karena pengakuan bermimpi bertemu Rasulullah dipertanyakan politikus PKS Bukhori Yusuf.
ADVERTISEMENT
Kata Bukhori yang juga anggota DPR Fraksi PKS ini, sah-sah saja setiap orang mengaku bertemu mimpi Rasulullah. Bukhori mempertanyakan, mengapa urusan mimpi jadi berujung pidana.
"Apa yang salah dengan mimpi bertemu Rasulullah? Itu adalah anugerah bagi muslim yang memperolehnya dan Nabi Muhammad pun telah menubuatkan hal tersebut,” ungkapnya di Jakarta, Senin (28/12/2020).
Bukhori menjelaskan, dalam salah satu hadis, Nabi bersabda, “Barangsiapa yang melihatku (di dalam mimpi) maka apa yang ia lihat adalah benar karena syaitan tidak dapat menyerupai diriku,” (H.R. Bukhari).
Anggota Komisi VIII DPR ini justru menilai pelaporan Haikal Hassan sangat bermuatan politis karena posisinya sebagai ulama yang sejauh ini sangat kritis terhadap pemerintah Jokowi.
“Laporan tersebut sangat janggal, bahkan terkesan mengada-ada. Rezim ini mencoba menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam suara-suara kritis. Peraturan seperti UU ITE dieksploitasi sebagai alat untuk menjebloskan pikiran yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim sehingga tidak ada lagi orang yang berani menegur dan memberi nasihat pada kekuasaan,”sambungnya.
Haikal Hassan di Ijtima Ulama III Foto: Lutfan Dharmawan/kumparan
“Penjara adalah tempat untuk pelaku kejahatan, bukan untuk yang berbeda pikiran,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Anggota yang pernah duduk di Komisi III ini meminta supaya Polda Metro Jaya bersikap profesional dan adil dalam mengusut kasus ini.
“Bangsa kita tidak boleh menjadi bangsa yang cengeng di mana setiap perbedaan pikiran diselesaikan dengan aduan dan laporan ke polisi. Jika tren ini dibiarkan, kita akan kehilangan kehangatan bercakap sebagai warga negara. Sebab, di balik silang argumen yang kita rawat selalu terbuka ruang jerat pidana yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang lemah mental dan pikiran,” beber dia.
"Lalu, apakah kehidupan seperti ini yang diinginkan oleh bangsa kita? Apakah masih layak bangsa ini disebut sebagai bangsa yang demokratis? Di mana pengamalan sila ke-4 Pancasila?,” ungkapnya retoris.
Polisi disarankan Bukhori, agar memandang jernih kasus ini. Jangan sampai di masyarakat muncul anggapan bermimpi saja bisa dipidana.
ADVERTISEMENT
"Sebuah lelucon akhir tahun yang menggelikan. Ke depan, saya berharap bangsa kita bisa beranjak pada taraf percakapan intelektual yang lebih beradab. Segala bentuk perbedaan argumen harus dilawan dengan argumen, bukan dengan sentimen. Sebab, negara demokrasi memberikan fasilitas diskusi untuk mewujudkan toleransi, bukan laporan ke polisi,” pungkasnya.