Politikus PKS Kritik Tes PCR di Semua Moda Transportasi: Jangan Peras Rakyat

28 Oktober 2021 10:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Persiapan fasilitas di Bandara Soekarno-Hatta jelang penerapan wajib PCR untuk penerbangan mulai besok. Foto: Dok. Angkasa Pura II
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan fasilitas di Bandara Soekarno-Hatta jelang penerapan wajib PCR untuk penerbangan mulai besok. Foto: Dok. Angkasa Pura II
ADVERTISEMENT
Wacana pemerintah untuk menerapkan tes PCR bagi semua moda transportasi jelang libur Natal dan Tahun Baru mendapat kritik dari sejumlah pihak. Salah satunya Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf.
ADVERTISEMENT
Ia menilai rapid test antigen sudah cukup untuk menjadi syarat perjalanan.
“Jika pertimbangan pemerintah murni demi kesehatan dan mitigasi risiko gelombang ketiga, maka tentunya bukan tes usap PCR yang menjadi syarat mutlak untuk perjalanan, melainkan cukup rapid test antigen," kata Bukhori, Rabu (27/10).
"Tujuan dari tes PCR adalah untuk tes konfirmasi COVID-19, sedangkan rapid test antigen adalah untuk screening,” tambah dia.
Bukhori juga mempertanyakan sikap Presiden Jokowi dalam merespons tuntutan publik. Sebab, alih-alih mendengar aspirasi publik untuk menghapus syarat wajib tes PCR, Presiden justru hanya memberi arahan untuk menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp 300 ribu.
Politikus PKS itu melanjutkan, pemerintah tidak cukup sekadar menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tanpa intervensi langsung melalui kebijakan subsidi. Bukhori melihat adanya potensi pembengkakan biaya di pasar meski pemerintah sudah menetapkan HET.
ADVERTISEMENT
“Sampai saat ini pemerintah belum transparan soal komponen biaya tes PCR yang perlu diketahui publik. Apakah dengan tarif Rp 300 ribu sudah mencakup segala komponen pembiayaan seperti jasa pengambilan sampel, alat tes, hingga alat pelindung diri (APD) bagi nakes terkait?" ujarnya.
"Biaya lain-lain inilah yang berpotensi disiasati pelaku bisnis agar tetap meraup untung tinggi sehingga menyimpang dari ketentuan pemerintah. Pada akhirnya, seruan menurunkan harga tes PCR tak ubahnya hanya sekadar basa-basi pemerintah yang sama sekali tidak bermanfaat bagi publik,” imbuh dia.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf. Foto: Dok. Istimewa
Di sisi lain, Bukhori mengendus ada indikasi persaingan bisnis di balik kebijakan syarat wajib tes PCR bagi pelaku perjalanan. Ia menyoroti penyedia layanan tes PCR menjamur di sejumlah tempat dengan menawarkan harga berlapis tergantung pada kecepatan hasil tes.
ADVERTISEMENT
Bukhori menerangkan banyak pihak juga melanggar HET yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan sebelumnya, yakni Rp 495 ribu (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp 525 ribu (luar Pulau Jawa dan Bali), dengan dalih PCR ekspres. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 650 ribu, Rp 750 ribu, Rp 900 ribu, hingga Rp 1,5 juta.
Lebih lanjut, Bukhori mengungkap pemerintah sejak Maret 2020 pun telah memberikan insentif fiskal untuk importasi jenis barang berupa alat kesehatan untuk penanganan pandemi. Adapun jenis barang yang terkait dengan mekanisme tes PCR yang memperoleh insentif kepabeanan di antaranya PCR Test Reagent, Swab, Virus Transfer Media, dan In Vitro Diagnostic Equipment.
Untuk PCR test reagent, total fasilitas pembebasan bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang telah diberikan untuk periode 1 Januari hingga 14 Agustus 2021 sebesar Rp 366,76 miliar. Ini terdiri atas fasilitas fiskal berupa pembebasan BM sebesar Rp 107 miliar, PPN tidak dipungut sebesar Rp 193 miliar, dan PPh Pasal 22 dibebaskan dari pungutan sebesar Rp 66 miliar.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, realisasi pemberian fasilitas periode 2021 sampai dengan Juli, total nilai insentif fiskal yang telah diberikan sebesar Rp 799 miliar dari nilai impor barang sebesar Rp 4 triliun.
“Bisnis tes PCR ini terbukti sangat menggiurkan. Pasarnya selalu ada selama pandemi dan pengadaan impor barangnya didukung oleh insentif pemerintah. Data menunjukkan, kelompok korporasi non-pemerintah memegang 77,16 persen aktivitas importasi alat kesehatan untuk penanganan pandemi di Tanah Air," lanjut Bukhori.
"Sedangkan, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan untuk penanganan COVID-19,” terang dia.
Simulasi penumpang internasional menunggu hasil PCR di Area Terminal Internasional Ngurah Rai, Bali, Kamis (14/10). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Oleh sebab itu, legislator dapil Jawa Tengah itu mendesak pemerintah segera membatalkan rencana tes PCR sebagai syarat wajib menggunakan semua moda transportasi.
Ia mengusulkan supaya kebijakan mobilitas dikembalikan seperti sedia kala, yaitu cukup menggunakan rapid tes antigen. Jika tidak, tarif tertinggi tes PCR harus ditetapkan Rp 100 ribu melalui skema subsidi.
ADVERTISEMENT
Bukhori kemudian mengungkit sebuah laporan yang dimuat di jurnal The New England Journal of Medicine menyebut tingkat penularan virus di pesawat hanya 1,8 persen. Rendahnya tingkat infeksi virus di pesawat salah satunya dikarenakan faktor sistem filtrasi udara HEPA (High Efficiency Particulate Air) yang disuplai di dalam kabin bertekanan selama penerbangan.
“Jika ingin diperketat, syarat vaksin dosis pertama sebenarnya sudah cukup memadai atau kapasitas okupansi pesawat yang dikembalikan menjadi 50 persen. Apalagi untuk moda transportasi udara, tingkat penularan virusnya relatif rendah,” ucap dia.
"Oleh karena itu pemerintah mesti segera membatalkan syarat tes PCR ini karena sarat dengan kepentingan bisnis dan diskriminatif," tandas dia," tutupnya.