Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Politisasi Anggaran Terbesar saat Pilkada di Jabar, Jateng, dan Jatim
21 Februari 2018 15:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Selain potensi politisasi anggaran calon petahana yang kembali maju di pilkada, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyoroti kecenderungan turunnya nilai APBD peserta Pilkada Serentak 2018 . Peneliti FITRA, Gunardi, mengungkapkan rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) di provinsi peserta pilkada, mengalami penurunan sebesar 7 persen dari total belanja pada tahun 2017.
ADVERTISEMENT
"Rata-rata Pendapatan Asli Daerah di provinsi peserta pilkada mengalami penurunan sebesar 7 persen dari total belanja pada tahun 2017. Nilai penurunan terbesar rata-rata ditemukan mencapai 7,2 miliar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Selain di provinsi, penurunan PAD juga terjadi di beberapa kota dan kabupaten lain seperti Bandung, Bekasi, Tangerang, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tangerang," kata Gunardi di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/2).
Selain di provinsi, penurunan PAD juga terjadi di beberapa kota dan kabupaten lain seperti Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang.
"Kota Bandung pada tahun 2016 PAD-nya Rp 2,153 miliar. Di tahun 2017 hanya Rp 978 miliar atau turun 45 persen. Begitu juga Kota Bekasi turun sekitar 42,2 persen, Kota Tangerang turun 42,8 persen, Kabupaten Bogor 55 persen dan Kabupaten Tangerang 52 persen," paparnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, fenomena penurunan yang terjadi selama 3 tahun terakhir ini selalu terjadi di masa-masa pilkada. Tidak hanya PAD, peningkatan belanja sosial seperti bansos juga patut menjadi sorotan dan sangat riskan untuk dimanfaatkan calon petahana.
"Tanpa disadari oleh aturan, terdapat 9 daerah yang meningkatkan belanja hibah dan bansos di tahun 2017. Rata-rata daerah tersebut meningkatkan belanja bansos sebesar 35,4 persen menjelang pilkada," ujarnya.
Gunardi mengatakan penurunan nilai anggaran terjadi karena calon petahana butuh biaya yang mahal untuk maju dalam pilkada. Ia mencontohkan soal dana bansos yang cenderung meningkat sebesar 50 persen disebabkan perlunya dana untuk membiayai lembaga tertentu.
Pemberian dana hibah sering kali dijadikan modus untuk membiayai lembaga-lembaga sosial palsu yang dibentuk oleh tim pemenangan calon petahana. Atau mereka berafiliasi dengan lembaga sosial yang ada dan uang yang telah disalurkan dipakai untuk kepentingan pemenangan.
ADVERTISEMENT
"Biasanya kepala daerah petahana membuat lembaga-lembaga palsu. Itu pernah kita temukan di Banten. Kita cek lembaga itu tidak ada atau lembaga itu berafiliasi untuk memenangkan petahana," tuturnya.
Selain itu, nilai PAD yang menurun juga disebabkan kebutuhan biaya mahar seorang calon kepala daerah yang akan maju di pilkada. Hal ini juga menjadi salah satu pendorong mengapa nilai PAD mengalami penurunan.
"Biaya mahar ini bikin gaduh. Ini salah satu pendorong. Lalu biaya kampanye yang mahal dengan pemilu langsung, biaya akomodasi, biaya sewa lembaga survei, dan biaya relawan. Sulit ditemukan relawan tanpa dibayar," pungkasnya.