Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1

Polusi Jakarta Kian Mencekik, Udara di Ruang Terbuka Hijau Juga Tak Bersih
21 Agustus 2023 17:45 WIB
·
waktu baca 12 menitSudah berpekan-pekan, kualitas udara Jakarta tak juga membaik. Ini pun kali pertama Zulfi batuk-batuk cukup parah. Setahun lalu, ketika masih bekerja di Bandung, ia tak pernah penyakitan seperti itu.
“Batuk sampai radang baru sekarang ini. Terasa bedanya, lebih keras batuknya,” kata Zulfi yang sehari-hari pergi-pulang kantor menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL).
Beberapa rekan sekantor Zulfi merasakan hal serupa. Akhirnya, kantor meminta mereka bekerja dari rumah untuk memulihkan kondisi. Hal seperti ini bukan cuma terjadi di kantor Zulfi, tapi juga kantor-kantor lain di Jakarta yang sebagian pegawainya kini kerap sakit-sakitan.
Malahan, Presiden Jokowi sendiri tak lepas dari udara kotor Jakarta. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, sudah hampir sebulan belakangan ini Jokowi batuk-batuk. Padahal, selama ini ia tergolong cukup sehat.
“Dokter menyampaikan ada kontribusi dari udara yang tidak sehat dan buruk kualitasnya,” kata Sandiaga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (14/8).
Potret langit Jakarta yang seakan berkabut dan mendung menunjukkan pekatnya polusi udara di ibu kota. Data indeks kualitas udara (AQI) yang dihimpun aqicn.org menunjukkan bahwa kualitas udara buruk di Jakarta tak pernah membaik sejak pertengahan Mei 2023.
Udara Jakarta konsisten di level moderat (50-100) sampai tidak sehat (150-200). Terakhir kali angka AQI Jakarta masih berwarna hijau atau baik (<50) yakni pada 13 Mei 2023. Setelah itu, kemerosotan kualitas udara Jakarta bak tak bisa diselamatkan.
Selama sebulan terakhir misalnya, merujuk data IQAir, kualitas udara Jakarta berada di level oranye atau tidak sehat bagi kelompok sensitif (101-150) sampai level merah atau tidak sehat bagi masyarakat umum (151-200).
Kondisi ini membuat Jakarta konsisten tak tergeser dari peringkat top ten kota besar di dunia yang paling berpolusi dalam ranking IQAir.
IQAir merupakan platform teknologi pemantau kualitas udara real time global asal Swiss. Berdasarkan data IQAir selama sebulan terakhir, hanya ada satu hari di Jakarta saat polusi agak turun ke level kuning atau sedang (51-100), yakni pada hari libur 17 Agustus 2023.
Hari berikutnya, 18 Agustus, kualitas udara Jakarta kembali memburuk. Pada akhir pekan 19 Agustus, aplikasi pemantau kualitas udara Nafas Indonesia bahkan mencatat setidaknya dua wilayah di Jakarta berwarna merah kental alias beracun (indeks 301-500), yakni di sekitar Ancol Jakarta Utara dan Hang Tuah Jakarta Selatan.
Udara beracun di dua lokasi itu berlangsung sejak siang. Di Hang Tuah, indeks polusi udara yang beracun bahkan menunjukkan angka ambang batas atas, yakni 500. Namun kemudian, Nafas menginformasikan bahwa polusi tinggi itu kemungkinan disebabkan oleh pengasapan atau fogging nyamuk demam berdarah.
Untuk mengetahui seberapa gawat polusi udara Jakarta kini, kumparan berkolaborasi dengan ahli lingkungan Ivan Steven Jayawan. Ivan merupakan lulusan program sarjana teknik lingkungan di Nanyang Technological University, Singapura. Ia juga magister dan doktor teknik lingkungan dari University of Michigan, Amerika Serikat.
Berbekal alat sensor kualitas udara berbasis laser, Ivan bersama tim kumparan mengecek kondisi udara di beberapa wilayah di Jakarta, Jumat (18/8). Lokasi yang dipilih ialah di area jalanan (kawasan Sudirman), ruang terbuka hijau (Taman Puring di Kebayoran Baru), dan perkantoran di dekat permukiman padat penduduk (Pasar Minggu).
Simak video berikut untuk mengikuti perjalanan Ivan dan tim kumparan berkeliling ke sejumlah lokasi tersebut untuk mengecek kualitas udara sehari sesudah peringatan 17 Agustus.
Jalanan di kawasan bisnis Jl. Jend. Sudirman menjadi area pertama yang dikunjungi. Alat diaktifkan selama 75 menit sejak pukul 08.43 WIB. Di area tersebut, indeks kualitas udara (AQI) berkisar antara 119 (oranye/tidak sehat untuk kelompok sensitif) sampai 154 (merah/tidak sehat). Adapun kandungan partikel udara berukuran 2,5 mikrometer (PM 2.5) berada di kisaran 45 mikrometer/meter kubik (µm/m³) sampai 62,2 µm/m³.
“WHO memperbaharui standar paparan maksimal PM 2.5 tahun 2021, yaitu 5 µm/m³ selama setahun, atau dalam 24 jam di angka 15 µm/m³. WHO menyarankan tidak boleh terpapar lebih dari itu. Maksimal [terpapar di atas angka itu] hanya boleh 3–4 hari setahun,” jelas Ivan di JPO Karet Sudirman.
“Jadi bayangkan kita yang tinggal di Jakarta sudah terpapar PM 2.5 jauh lebih tinggi dari ambang batas WHO, dan itu hampir setiap hari kita rasakan, bukan cuma 3–4 hari dalam setahun,” imbuh Ivan.
Rata-rata paparan harian PM 2.5 di Jakarta, menurut laporan World Air Quality Report 2022, ialah sebesar 36,2 µm/m³. Angka itu sama dengan mengisap 1,7 batang rokok per hari.
Dalam jangka pendek, menghirup PM 2.5 bisa mengakibatkan batuk dan sesak napas. Polutan PM 2.5 amat berbahaya karena ukurannya yang superkecil—30 kali lebih kecil dari diameter rambut manusia—bisa terhirup sampai paru-paru dan masuk ke pembuluh darah.
“Sehingga banyak penyakit jangka panjang yang sangat parah, tetapi orang-orang tidak menyangka penyakit tersebut ada hubungannya dengan polusi udara. Contohnya penyakit jantung, hipertensi, diabetes, stroke, gangguan ginjal, liver, demensia, bahkan juga berpengaruh bagi ibu hamil dan janinnya. Bayinya bisa terkena gangguan seperti lahir prematur atau berat badan di bawah standar,” terang Ivan.
Hari Libur Tak Bikin Polusi Turun Signifikan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, polusi udara yang memburuk akhir-akhir ini disebabkan faktor musim kemarau. Menurut Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro, kualitas udara di musim kemarau, khususnya Juli, Agustus, hingga September, cenderung memburuk. Kondisi ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Dilihat dari segi siklus, pada bulan Juli dan Agustus selalu terjadi peningkatan polusi udara di Jakarta karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering,” ujar Sigit.
Adapun sumber polusi itu, menurutnya, mayoritas disumbang dari sektor transportasi (44%), industri energi seperti PLTU (31%), perumahan (14%), manufaktur (10%), dan komersial (1%).
Ivan membenarkan bahwa musim kemarau berpengaruh pada peningkatan polusi. Itu sebabnya hujan mampu meluruhkan polusi udara sekitar 20–40%. Namun, Ivan meragukan transportasi sebagai penyumbang terbesar polusi udara, sebab pada akhir pekan ketika kendaraan bermotor lebih sedikit berlalu lalang di ibu kota, tingkat polusi tidak turun signifikan.
Berdasarkan data IQAir tiap akhir pekan selama sebulan terakhir, yakni pada 22–23 Juli, 29–30 Juli, 5–6 Agustus, 12–13 Agustus, dan 19–20 Agustus, indeks kualitas udara Jakarta terentang antara 132 (oranye/tidak sehat untuk kelompok rentan) sampai 164 (merah/tidak sehat untuk masyarakat umum).
“Di akhir pekan atau hari libur, kualitas udara tidak banyak membaik, atau bahkan kadang-kadang bisa lebih buruk. Transportasi belum tentu menyumbang [polusi] yang terbesar,” kata Ivan.
Sementara satu-satunya hari “bersih” ketika polusi Jakarta turun ke level kuning/sedang, pada 17 Agustus, menurut Co-founder Nafas Indonesia Piotr Jakubowski pun bukan karena masyarakat libur, melainkan karena kecepatan angin yang naik sampai 300% selama beberapa jam. Saat kecepatan angin kembali turun, polusi udara ibu kota pun naik lagi.
Kajian Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung pada 2019 menunjukkan bahwa sumber utama polusi PM 2,5 di Jakarta mayoritas berasal dari asap knalpot kendaraan (32–57%). Sementara sumber berikutnya ialah pembakaran batu bara (14%).
Meski demikian, Ivan menduga sumber terbesar polusi udara Jakarta berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbahan bakar solar di sekitar Jakarta.
Merujuk data Global Energy Monitor, terdapat 16 PLTU berbasis batu bara yang berada di sekitar Jakarta—10 di Banten dan 6 di Jawa Barat. Di sisi timur yang terdekat ialah PLTU Babelan di Kabupaten Bekasi, sedangkan di sisi barat yang terdekat ialah PLTU Lontar di Kabupaten Tangerang.
Polusi Kendaraan Bukan Cuma dari Emisi Gas Buang, Tapi Rem dan Ban
KLHK yang meyakini kendaraan konvensional (berbahan bakar olahan minyak bumi) sebagai penyumbang polusi terbesar, menyebut perlunya uji emisi masif dan berkala. Selain itu, KLHK mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik.
Menurut Ivan, upaya konversi dari kendaraan bermesin konvensional ke kendaraan listrik memang mampu mengurangi emisi gas buang. Namun, apabila sumber untuk mengisi daya mobil listrik masih berasal dari PLTU berbasis batu bara, maka polusi udara jelas tidak akan turun signifikan.
Di samping itu, sebuah studi oleh Victor R.J.H. Timmers dan Peter A.J. Achten berjudul Non-exhaust PM emissions from electric vehicles pada 2015 menemukan bahwa peralihan kendaraan bermesin konvensional ke kendaraan listrik hanya mengurangi 1–3% polusi PM 2.5.
Ivan memaparkan, riset lain menunjukkan bahwa sumber polusi PM 2.5 dari kendaraan konvensional bukan hanya berasal dari emisi gas buang dari mesin pembakaran internalnya (internal combustion engine), melainkan 50% justru berasal dari ban dan kampas rem.
Kajian dengan hasil hampir serupa juga dilakukan oleh Prof. Heejung Jung dkk. dari University of California pada 2020. Jung menemukan bahwa rem dan ban menyumbang 30% dari PM 2.5, sedangkan emisi gas buang hanya sekitar 19%.
Riset-riset itu diperkuat oleh hasil tes Emissions Analytics, konsultan teknik asal Inggris, yang menunjukkan bahwa ban menghasilkan polusi partikel sekitar 2.000 kali lebih banyak daripada emisi agas buang.
Studi lain oleh Tista Prasai Joshi dkk. dari Nepal Academy of Science and Technology pada 2018–2019 menunjukkan, tingkat polusi udara di kawasan bebas kendaraan bisa turun 40–67% (PM 10) dan 27–50% (PM 2.5). Dalam studi itu, zona bebas kendaraan berlaku sepanjang 450 meter dari utara ke selatan, dan 100 meter dari barat ke timur di kawasan Thamel, Nepal.
Menurut Ivan, zona bebas kendaraan bermotor memang bisa jadi solusi, namun hanya untuk jangka pendek. Ketika mobil diperbolehkan kembali melintas, maka polusi udara akan naik lagi.
Waspada, Ruang Terbuka Hijau Tak Bebas Polusi
Presiden Jokowi mengeluarkan sejumlah instruksi untuk mengurangi polusi udara, salah satunya memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) atau taman. Arahan ini pun disambut Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang menargetkan penambahan 800 RTH.
Namun, benarkah taman dapat memperbaiki signifikan kualitas udara di Jakarta?
Untuk mengetahuinya, tim kumparan bersama Ivan mendatangi Taman Puring di Jalan Kyai Maja, Kebayoran Baru. Di sana, alat sensor kualitas udara dipasang. Hasilnya, angka kualitas udara ternyata tak jauh berbeda dengan di kawasan bisnis Jl. Sudirman.
Hari itu, Jumat (18/8), kualitas udara di Taman Puring bahkan lebih sering berada di kategori merah atau tak sehat. Dalam 30 menit alat sensor bekerja, misalnya, kualitas udara di Taman Puring bergerak di antara angka 127 (oranye) sampai 156 (merah), dengan tingkat PM 2.5 di kisaran 46–64,9 µm/m³.
“Di Sudirman [kualitas udara] sekitar 120–140-an, 150 jarang. Tapi di sini (Taman Puring) lebih sering menyentuh angka 150,” kata Ivan.
Ia berpendapat, memperbanyak taman untuk mengurangi polusi udara tidak berdampak signifikan, sebab pohon bukanlah penyerap polutan PM 2.5. Polutan PM 2.5 hanya menempel di pohon dan kemudian terbang jika tertiup angin.
“Solusi memperbanyak ruang terbuka hijau tidak buruk. Tapi kalau tujuannya untuk mengurangi polusi udara, efeknya tidak signifikan sama sekali,” ucapnya.
Kualitas udara yang tak jauh berbeda bahkan juga didapat dari pengukuran di dalam ruangan berpendingin udara (AC). Ketika tim kumparan dan Ivan mengukur kualitas udara di ruangan tertutup di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, selama 90 menit, hasilnya berada di kisaran 120 (oranye) dengan tingkat PM 2.5 sekitar 40 µm/m³.
“Angkanya sedikit lebih rendah, tapi tergantung lokasi karena sebenarnya udara dari dalam ruangan itu asalnya dari luar ruangan. Jadi kalau ada polusi di luar ruangan, otomatis udara di dalam ruangan juga kena polusi,” jelas Ivan.
“Tutup jendela dan pintu membantu, tetapi jika tidak ada intervensi untuk membersihkan udara berpolusi itu, otomatis akan tetap terpapar kualitas udara buruk dari luar ruangan,” imbuhnya.
Intervensi dalam ruangan yang dimaksud Ivan adalah dengan alat penyaring udara (air purifier), bukan AC. Sebab fungsi AC bukan untuk menyaring udara, melainkan mendinginkan ruangan.
Berikut komparasi kualitas udara di tiga lokasi yang didatangi tim kumparan bersama Ivan:
Kapan Jakarta Merdeka dari Polusi Udara?
BMKG memprediksi musim kemarau di Indonesia bisa berlangsung sampai akhir September lantaran efek El Nino. Artinya, warga Jakarta masih akan terpapar kualitas udara buruk sampai musim penghujan tiba.
Sebagai langkah jangka pendek, Ivan menyarankan warga Jakarta membatasi diri keluar rumah apabila kualitas udara sedang memburuk, dan nyalakan air purifier bagi yang memiliki. Jika terpaksa keluar rumah, gunakan masker respirator yang mampu menyaring PM 2.5 seperti KN95. Bekerja dari rumah juga bisa jadi solusi jangka pendek menghindari polusi.
“Sementara untuk solusi jangka menengah, [pemerintah] bisa lebih ketat memonitor emisi pembuangan pabrik-pabrik, dan mengontrol pembakaran sampah liar,” kata Ivan.
Terakhir, untuk solusi jangka panjang, pemerintah perlu mempercepat penggantian pembangkit listrik berbasis batu bara dengan energi bersih seperti gas alam atau sumber energi terbarukan.
“Pembangkit listrik yang kotor mungkin lebih murah secara biaya, tapi harus diingat ada ongkos kesehatan, juga produktivitas masyarakat yang menurun bila sakit. Di sisi lain, pembangkit listrik bersih mungkin lebih mahal, tapi masyarakat akan lebih sehat, dan produktivitasnya lebih tinggi,” ucap Ivan.
Penggantian pembangkit listrik ke energi bersih sebelumnya telah dilakukan pemerintah Beijing di China. Itu sebabnya Beijing yang 10 tahun lalu termasuk kota paling berpolusi di dunia, kini kualitas udaranya membaik signifikan sehingga tak lagi menyandang predikat sebagai kota paling polutif sejagat.
Untuk menekan polusi udara di Jakarta, pemerintah menerapkan sistem bekerja dari rumah (WFH) mulai 21 Agustus sampai sebulan ke depan. Pemprov DKI Jakarta menetapkan jumlah pegawai yang WFH sebesar 50%, sedangkan kementerian/lembaga negara masih menunggu aturan KemenPANRB. Adapun bagi swasta diserahkan ke perusahaan masing-masing.
Selain itu, pemerintah bakal melakukan uji emisi pembangkit listrik di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang berkapasitas di atas 20 megawatt, termasuk di mal dan perhotelan.
Pemda dan Polri juga akan menggelar uji emisi kendaraan bermotor. Kendaraan yang lolos uji emisi akan ditempel stiker sebagai syarat perpanjangan STNK, sedangkan kendaraan yang tidak lolos uji emisi akan didenda dengan besaran masih dibahas Kementerian Dalam Negeri.
Ada pula rencana modifikasi cuaca untuk mengatasi polusi udara. Rencana ini telah dibahas pemerintah bersama BMKG, dan rencananya akan diterapkan pada 22 Agustus, 28 Agustus, 2 September, dan 5 September.
Peneliti Ahli Utama BRIN Prof. Muhayatun Santoso juga memandang WFH dan rekayasa cuaca sebagai solusi jangka pendek dengan efek terbatas. Selama sumber polusi tidak ditangani dengan tepat, maka persoalan tidak akan selesai secara permanen.
“Berdasarkan hasil kajian mengenai sumber polutan utama di Jakarta, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan, di antaranya mengurangi emisi kendaraan melalui transisi ke bahan bakar bersih, meningkatkan penggunaan transportasi umum, meningkatkan teknologi emisi untuk berbagai industri, dan menerapkan teknologi hijau yang ramah lingkungan,” ujar Muhayatun.
“Polusi udara efeknya memang tidak instan, tidak seperti minum air terkontaminasi yang dalam hitungan jam, hari, langsung terasa sakit perut. Kalau terpapar polusi udara itu pelan, mungkin bisa makan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun, baru terasa efeknya terhadap kesehatan,” tutup Ivan.