Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Potret Miris Kuli-kuli Pribumi Ketagihan Opium pada Abad ke-19
6 Maret 2019 17:07 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
ADVERTISEMENT
Mengisap opium menjadi ciri umum kehidupan dan kota dan desa Jawa abad ke-19. Berbeda dengan orang Belanda yang lebih menyukai gin, minuman beralkohol yang sangat populer saat itu.
ADVERTISEMENT
Menurut James Rush dalam Candu Tempo Doeloe (2015), opium adalah sifat buruk yang diasosiasikan dengan orang blasteran yang lemah dan orang-orang jahat. Mereka yang miskin biasanya berbagi tempat menghisap opium di pondok-pondok umum.
Opium menjadi sesuatu yang menarik bagi floating population di Jawa. Di setiap desa, ada pengguna tetap dan ada pula yang hanya kadang-kadang menggunakan opium.
“Floating population adalah pengembara, para pedagang, keliling dan tukang-tukang serta kelompok pekerja upahan yang jumlahnya terus membengkak,” kata Rush.
Sementara di kalangan priayi, opium dianggap sebagai sisi keramahtamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di Jawa Tengah, laki-laki secara rutin disuguhi opium pada pesta-pesta kaum bangsawan.
Masyarakat yang hidup dari perkebunan dan pertanian pun juga sudah akrab dengan opium. Di perayaan yang menandai berakhirnya panen padi atau pada saat musim petik kopi, seringkali disertai dengan dibagi-bagikannya opium.
ADVERTISEMENT
“Seorang warga di Bojonegoro yang diwawancarai tahun 1890 mengatakan pada pesta-pesta di desa, sudah menjadi kebiasaan umum tuan rumah untuk menyediakan opium kepada pengisapnya. Pemimpin desa yang hadir pun dijamu dengan cara ini,” tulis Rush.
Orang Jawa terbiasa mengisap opium di pondokan-pondokan. Dalam novel Baboe Dalima (1880) yang ditulis Perelaer, pondok itu biasanya merupakan tempat priayi tinggal.
Pondok itu terletak persis di belakang masjid di alun-alun kota. Bangunannya sederhana, terbuat dari bambu, beratap rendah, dan beralaskan tanah.
“Setelah membayar kepada penunggu pondok, seorang konsumen mendapatkan secarik kertas kecil bertuliskan huruf Tionghoa yang menunjukkan jumlah yang harus dibayarkannya,” ungkap Perelaer.
Lalu secarik kertas itu diberikan kepada seorang pelayan wanita di sebuah bilik kecil yang dilengkapi dengan bale-bale. Di sana, hanya ada secercah cahaya redup dari lampu minyak.
Di bale-bale inilah lelaki Jawa berbaring sambil berselonjor kaki dengan badan setengah miring ke samping. Kemudian pelayan yang rambutnya hitam tergerai datang mengeluarkan sedikit candu dari kotak kecil.
ADVERTISEMENT
“Di sanalah mereka begitu menikmati datangnya senja,” kenang Perelaer.
Harga opium di tempat-tempat seperti itu tergolong mahal bagi pekerja biasa atau kaum pribumi berekonomi sulit. Mereka minimal harus mengeluarkan 20 sen untuk dapat mengisap opium.
Pada tahun 1885 misalnya, buruh tidak terampil mendapatkan pendapatan 25 sen per hari. Sementara seorang pengrajin rata-rata mendapat 60-150 sen per hari.
“Tidak mengherankan, pada tahun 1880-an, para pemilik pondok opium melaporkan bahwa sangat jarang orang-orang yang memiliki 20 sen per hari menghabiskan uangnya untuk membeli opium,” tulis Rush.
Namun, bagi sebagian kecil penduduk, mengisap opium tetaplah menjadi sebuah kewajiban. Sebab, mereka merasa tetap membutuhkan opium.
Di antara mereka, ada yang menganggap opium sebagai analgesik yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Dari mulai sakit kepala, demam, malaria, diare, asma, hingga TBC.
ADVERTISEMENT
Asap opium biasanya diembuskan ke mulut orang sakit dan abunya diramu sebagai salep kemudian dioleskan ke tubuh.
“Ada juga yang menganggap mengisap candu dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada kehidupan,” kata Rush.
Padahal, secara ilmiah opium mengundang bahaya. Apabila dikonsumsi sedikit bisa menyebabkan rasa kantuk berlebihan. Namun, jika dikonsumsi terlalu banyak, bisa menyebabkan ketagihan yang merusak.
“Orang Jawa merasa harus meningkatkan konsumsi opium setelah beberapa waktu mereka menggunakan itu untuk mempertahankan pengaruh. Jika mereka berhenti menggunakannya, mereka akan mengalami gejala kecanduan,” ungkap Rush.
Jika sudah parah, maka pecandu opium bisa lemas dan gemetaran. Bahkan, bisa berujung pada kematian.
Makanya, keberadaan opium ditolak kaum agamais. Mereka menganggap opium sama dengan minuman keras yang haram dan harus dilarang.
ADVERTISEMENT
“Sebab bagi mereka, opium itu melenakan,” tulis Rush.