Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Potret Rumah di Sleman Mulai Dibongkar untuk Proyek Tol Yogya-Bawen
3 September 2021 20:49 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Sebanyak 5 dusun di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, terdampak pembangunan tol Yogya-Bawen . Selain Dusun Pundong 1 hingga Pundong 4, Dusun Sanggrahan menjadi dusun yang terdampak paling banyak. Sekitar 50 persen rumah di sana harus tergusur.
ADVERTISEMENT
Pantauan kumparan pada Jumat (3/9), sejumlah rumah di Dusun Sanggrahan sudah mulai dibongkar oleh warga. Kusen atau kayu yang masih bagus bisa dimanfaatkan pemilik rumah yang kebanyakan membangun rumah lagi tak jauh dari tempat tinggal awal.
"Jadi ini (sisa) bangunan dimanfaatkan untuk rumah baru. Dari panitia jalan tol juga memperbolehkan kalau sisa bangunan yang bisa dipakai bisa diambil," kata Gudadi (57), warga setempat, sambil menunjukkan salah satu rumah tetangganya.
Rumah Gudadi juga terdampak tol, tetapi belum dia bongkar karena uang ganti rugi baru akan cair bulan ini setelah sempat ada kendala sebelumnya.
“Tinggal nunggu ganti rugi. Iya, kena rumah 150 meter. Iya, cuma sedikit," katanya enggan menyebut nominal ganti rugi.
ADVERTISEMENT
Rencananya Gudadi akan membangun rumah di tanah miliknya yang hanya beberapa meter dari kediamannya sekarang. Tanah tersebut memang tidak terdampak tol, jadi dia tidak harus membeli tanah lagi untuk membangun rumah.
Sembari berkeliling dengan awak media, Gudadi menengok beberapa rumah yang telah dibongkar. Dia juga menunjukkan rumah-rumah yang baru dibangun warga setelah terdampak tol.
"Iya, ini bangun masih di sekitar sini. Rumahnya masih sama seperti yang dulu [sederhana], tidak terus mewah," bebernya.
Ganti Rugi Miliaran Rupiah
Secara umum, warga yang terdampak menerima ganti rugi paling tidak Rp 1 miliar. Tetapi ada pula yang mendapat Rp 4 miliar hingga Rp 8 miliar. Memang harga ini di atas pasaran, tetapi menurut Gudadi selisihnya juga masih wajar karena memang harga tanah di DIY khususnya Sleman sudah tinggi.
ADVERTISEMENT
"Panitia juga sudah punya gambaran kalau di daerah sini itu cuma Rp 3,2-3,5 juta per meter, kalau deket jalan besar atau kabupaten itu bisa sampai Rp 4 juta. Di atas harga pasaran tapi tidak terlalu banyak banget cuma ganti rugi," bebernya.
Di sudut-sudut kampung, brosur-brosur mobil hingga rumah dijual menempel di pohon. Gudadi mengakui, sudah mulai banyak sales mobil berkeliaran. Tapi dia menegaskan warga di sini sudah pandai dan bijak dalam keuangan.
"Belum tertarik beli mobil. Masih untuk mikir tempat tinggal, ya sisanya ditabung untuk anak-anak masa depan," katanya.
Tidak Iri
Pujiati (50), warga Sanggrahan yang tidak terdampak tol, mengaku tidak iri dengan mereka yang terdampak. Menurutnya, asal masih bisa terus bersama maka hal ini tidak jadi masalah.
ADVERTISEMENT
"Kita biasa saja, enggak ada iri-irian. Yang penting masih bisa bersama. Rata-rata (yang terdampak tol) masih di dusun ini," ujarnya.
Dia menjelaskan, nanti tol nantinya akan melintas di belakang rumahnya. Satu hal yang sedikit dia khawatirkan adalah bisingnya kendaraan.
"Belakang saya besok tol. Enggak ada sedih. Kalau terganggu pasti, mungkin nanti berisik apa bagaimana," ujarnya.
90 Rumah Terdampak
Jogoboyo (Kasi Pemerintahan) Desa Tirtoadi yang juga Plt Dukuh Sanggrahan, Heky Prihantoro, membeberkan ada 90 rumah di Sanggarahan yang terdampak tol. Atau kalau dipersentasekan sekitar 50 persen. Sanggrahan juga jadi titik proyek tol lain, yaitu Yogya-Solo.
"Sanggrahan itu hampir 90 rumah, permukiman. Kalau tanah itu sekitar 80-an. Kalau Sanggrahan hampir secara wilayah administrasi, hampir separuh hilang untuk jalan tol yang Yogya-Bawen, belum lagi besok yang Yogya-Solo. Ketika itu digabungkan wilayah administrasi di Padukuhan Sanggrahan nantinya berkurang 50-an persen," beber Heky.
ADVERTISEMENT
"Kalau dulu itu versi keluarga ikut romusa. Tapi juga tidak tahu yang jelas sampai sekarang belum pulang," bebernya.
Meski 50 persen rumah terdampak, tetapi tidak ada relokasi. Warga yang terdampak mayoritas sih memiliki tanah di dusun tersebut. Kemudian mereka membangun rumah lagi di sana.
"Dalam arti ada yang membangun di area persawahan karena memang tidak mau pindah dari Sanggrahan. Tetapi ada juga yang pindah keluar Sanggrahan," ujar Heky.
Beberapa warga yang tidak mempunyai tanah di Sanggrahan kemudian membeli tanah di kecamatan sekitar.
ADVERTISEMENT
"Kalau yang masih punya tanah pengganti dalam arti masih punya tanah yang lain (di Sanggrahan) itu pasti tidak keluar ke Sanggrahan," ujarnya.
"Yang jelas itu kalau untuk beli tanah dan rumah itu bisa karena memang uang ganti rugi itu sudah di atas harga pasaran sehingga warga bisa leluasa untuk memilih tanah pengganti atau pindahnya," katanya.
Sejauh ini, kehidupan warga Sanggrahan tidak jauh berbeda. Khusus di Sanggrahan dia belum menemukan warga yang memborong mobil dan lain sebagainya. Mereka masih fokus untuk beli tanah dan membangun.
"Kalau beli mobil itu mereka hanya beli mobil barang dalam hal ini pick up untuk angkutan perpindahan rumah dan membangun rumah karena ketika nyewa juga mahal dan ketika dihitung-hitung lebih baik beli tetapi belinya tidak baru," jelas Heky.
ADVERTISEMENT