Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendesak DPR agar segera mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun yang direvisi yaitu terkait batas maksimal perkawinan untuk perempuan, dari yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Menteri PPPA Yohana Yembise mengatakan, revisi tersebut sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Saat ini tinggal menunggu DPR mengesahkan perubahan tersebut.
“Dengan adanya surat Presiden ini, maka mendorong kami Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyampaikan kepada para media, termasuk kepada masyarakat, juga kepada pihak DPR, sehingga mendorong DPR secepatnya mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 74,” ucap Yohana di kantornya, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (9/9).
Yohana mengatakan, kenaikan usia perkawinan tersebut didasarkan pada pembahasan secara saksama di Kementerian PPPA dengan melibatkan banyak unsur masyarakat. Pengaturan tersebut juga didasari kajian-kajian ilmiah.
“Kami naikkan ke usia 19 tahun yaitu setelah 18 tahun, setelah anak itu tamat SMA, kita harapkan secara mental sudah siap. 19 tahun harus diwujudkan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Tahun 1974 (waktu UU lama dibuat) itu berapa puluh tahun yang lalu situasi pada saat itu tidak seperti situasi sekarang, berubah, dengan adanya perubahan global ini, perubahan sains dan teknologi ini. Anak-anak kalau tidak siap, sayang sekali. Mereka bisa menjadi korban dan kita yang membuat mereka jadi korban,” katanya lagi.
Perubahan batas usia perkawinan yang tengah diajukan Kementerian PPPA tidak diikuti dengan penghapusan dispensasi yang selama ini kerap pula menjadi polemik. Sebagian pihak menilai, dispensasi kawin selama ini terlalu sering dan dengan mudah diberikan kepada mereka yang belum mencapai usia kawin, di mana laki-laki mesti berusia minimal 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Terkait itu, kata Yohana, akan ada penguatan atau pengetatan pemberian dispensasi pada kasus-kasus perkawinan anak tertentu. Yohana tidak merinci akan seperti apa pengetatan itu, tapi ia menyebut alur pemberian dispensasi tersebut akan berubah, dari yang sebelumnya dari Kementerian Agama menjadi Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
“Ada rencana akan dibuat peraturan dari Mahkamah Agung (MA), itu lagi disiapkan. Jadi bukan kita Kementerian PPPA atau Kementerian Agama, tapi justru MA,” ujar Yohana.
Yohana mengatakan, Kementerian PPPA saat ini terus mendesak pengesahan revisi tersebut di tingkat legislatif. Ia menargetkan, hal itu dapat terealisasi sebelum periode legislatif berganti.
“Kami ingin ini September disahkan. Sebelum periode berganti,” tandas Yohana.
Sementara itu, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin, menjelaskan salah satu alasan utama perlunya revisi batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ia menyebut tingkat perkawinan di bawah umur di Indonesia tergolong paling memprihatinkan dibandingkan negara-negara lainnya di dunia.
“Indonesia menjadi peringkat tertinggi nomor 7 di dunia, dan kedua tertinggi di Asean. Jadi ini cukup memprihatinkan. Oleh sebab itu, sejak awal tahun 2019 ini, Kementerian PPPPA menyiapkan naskah akademis dan melakukan harmonisasi rancangan undang-undang ini bersama 18 kementerian/ lembaga bersama 65 NGO,” ujar Lenny.
ADVERTISEMENT
Lenny menyebutkan, dengan adanya revisi tersebut, maka peluang para perempuan Indonesia mendapatkan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bebas dari perceraian, semakin besar.
“Untuk sasaran yang ingin dicapai dari revisi ini adalah penyempurnaan Undang-Undang Perkawinan, agar terwujudnya tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera,” tandasnya.