PR Wishnutama di Bali: Turis Nakal, Perang Tarif Hotel hingga Sampah

24 Oktober 2019 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama di Istana Merdeka, Jakarta.  Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Pengusaha pariwisata di Bali memberikan sejumlah catatan permasalahan yang harus menjadi perhatian Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio, selama lima tahun mendatang. Tak berlebihan, sebab Bali selama ini menjadi tumpuan pariwisata Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan rumah (PR) itu antara lain penanganan turis asing yang nakal, segmentasi turis, pemerataan objek wisata, perang tarif hotel, praktik ilegal bisnis wisata, sampah, dan kemacetan.
Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), Ketut Ardana, mengatakan Bali membutuhkan suatu regulasi yang dapat mengelola tata niaga standar pariwisata. Regulasi itulah nantinya yang bisa mengatasi catatan permasalahan itu.
Ilustrasi pariwisata di Pantai Kuta Bali. Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan
Dari sisi hunian, Ardana menilai belakangan marak perang tarif antar-hotel yang ada di Bali. Perang tarif itu terjadi karena jumlah kamar hotel yang berlebih, sedangkan turis yang datang semakin sedikit.
Jumlah hotel di Bali saat ini diperkirakan ada 146 ribu kamar. Dari jumlah kamar itu, per tahunnya ada sekitar 40 persen kamar kosong. Ardana berharap, pemerintah bisa menghentikan pembangunan sementara proyek hotel di Bali.
ADVERTISEMENT
“Di Bali terjadi oversupply. Kalau tidak salah sekitar 40 persen kamar yang kosong sepanjang tahun. Kalau seperti itu kan otomatis terjadi perang tarif dan hotel saling mendahului dan menjual harga yang lebih murah supaya hotel terisi, itu realita yang terjadi,” kata Ardana saat dihubungi, Kamis (24/10).
Ardana juga menilai standar bagi pengusaha agen perjalanan juga perlu diatur. Ini berkaca pada maraknya praktik bisnis ilegal asal China yang menjajakan paket wisata ke Bali beberapa waktu lalu. Paket wisata dan belanja itu terafiliasi dengan agen asal Negeri Tirai Bambu menggunakan aplikasi WeChat.
Ribuan umat Hindu mengelar Upacara Melasti di Pantai Petitenget, Seminyak, Bali, Senin (4/3). Foto: Denita Matondang
Menurut Ardana, secara tidak langsung, perang tarif dan praktik bisnis ilegal ini berdampak pada kualitas turis berlibur di Bali. Apalagi, bebas visa sudah diberlakukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Salah satunya dampak negatifnya ada turis yang nakal dan turis gila itu. Tapi yang kedua berikutnya berkaitan dengan masalah pelayanan. Kalau kita ngomong pariwisata berkualitas, salah satunya pelayanan yang baik. Kalau misalnya hotelnya murah, bagaimana bisa menggaji pegawainya lebih baik kan tidak bisa, otomatis mengurangi kualitas pelayanan, termasuk juga produk yang ditampilkan,” kata Ardana.
Ardana mengatakan, Pemprov Bali sedang menggodok peraturan daerah tentang standardisasi pengelolaan pariwisata. Tapi, produk hukum itu masih butuh waktu lama untuk disahkan.
“Ini jujur kita memang membutuhkannya cepat yang namanya regulasi itu nanti dalam bentuk perda pembuatannya cukup panjang, karena di situ memang perlu ada sanksi, kalau dalam perda sanksi bisa dilihat jelas gitu. Kalau Bali kita tampaknya butuh segera yang mengatur tata niaga,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu pengamat pariwisata dari Universitas Udayana, I Nyoman Sukrida, menyoroti soal pemerataan objek pariwisata di Bali. Menurut dia, wisatawan justru berlimpah ruah di Ubud (Gianyar) dan Kuta (Badung). Sementara di kabupaten lain, kata Sukrida, masih sepi wisatawan. Akibatnya, masalah kemacetan dan sampah baik di Ubud belum bisa diatasi dengan baik.
Pasar Ubud menjadi salah satu sentra wisata belanja di Bali untuk berburu oleh-oleh. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Pantauan kumparan, saat masa liburan, akses jalan ke Ubud atau Kuta padat merayap. Sampah juga masih jadi persoalan karena masih ada lahan-lahan kosong dijadikan tempat pembuangan liar.
“Ini sudah pernah kita bahas lama. Ini akibat dari over tourism. Jumlah pengunjung berlebih yang mana tidak bisa ditangani dengan baik, Kuta (dan) Ubud misalnya. Harus ada daerah yang dikembangkan lagi,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Masalah penumpukan turis ini juga merembet pada aksi turis-turis nakal di Bali. Apalagi, visa bebas dan harga penerbangan yang terjangkau bagi para turis asing.
Menurut Sukrida dalam upaya pemerataan kawasan objek wisata, daerah wisata baru yang dikembangkan juga harus mengikuti karakter daerah tersebut. Ini agar setiap daerah memiliki daya tariknya sendiri. Sukrida menilai Program 10 Bali Baru dari pemerintah malah mengabaikan kualitas pengembangan pariwisata Bali.
Dari sisi segmentasi turis juga menjadi catatan. Pemerintah dinilai perlu mengemas segmentasi turis yang berlibur. Mulai dari kriteria turis yang masuk dan tarif objek wisata bagi turis yang disasar.
“Misalnya, diperlakukan khusus warisan dunia geopark tentu wisatawan harus segmented, siapa yang berkunjung ke situ dan ditentukan kunjungan tidak terlalu banyak. Atau destinasi yang sudah matang ke Bali jadi yang betul-betul yang ingin mengenal budaya Bali," ujar dia.
ADVERTISEMENT