Praperadilan Ditolak, Eks Dirut Jasa Tirta II Tetap Tersangka KPK

22 Oktober 2019 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak praperadilan mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Djoko Saputro. Status tersangka KPK terhadap Djoko tetap sah.
ADVERTISEMENT
"Hakim menolak permohonan praperadilan tersangka DS (Djoko Saputro)," ujar juru bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (22/10).
Djoko telah melayangkan permohonan praperadilan dengan Nomor: 115/Pid.Prap/2019/PN.Jkt.Sel pada 17 September 2019. Beberapa hal dipersoalkan Djoko dalam gugatannya yakni:
1. Penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan terhadap pemohon tidak sah karena telah dilakukan penyelidikan dengan kasus yang sama oleh Polres Purwakarta.
2. Penetapan Tersangka bertentangan dengan KUHAP, UU KPK dan SOP KPK.
3. Termohon tidak berwenang melakukan penyidikan perkara a quo.
Namun seluruh dasar permohonan itu ditolak oleh hakim. Hakim tunggal Akhmad menyatakan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan KPK sudah sesuai prosedur.
"KPK dipandang telah memenuhi kewajiban dengan memberitahukan telah dilakukan penyidikan terhadap Tersangka DS (Djoko Saputro) melalui SPDP 1 hari setelah tanggal Sprindik. Hal ini bahkan lebih cepat karena menurut Putusan MK ditentukan SPDP diberikan paling lambat 7 hari," ucap Febri.
ADVERTISEMENT
"Pada saat penyelidikan, KPK juga telah meminta keterangan DS (Djoko Saputro) yang juga sudah dituangkan dalam berita acara," sambungnya.
Mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Djoko Saputro mengenakan rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu dalam putusannya, hakim juga menyatakan bahwa KPK telah memenuhi adanya dua alat bukti yang cukup terkait bukti permulaan sebelum ditetapkannya Djoko sebagai tersangka.
"Hakim juga menegaskan bahwa pemeriksaan DS (Djoko Saputra) sebagai calon tersangka sudah dilakukan di Penyelidikan dan telah ada bukti permulaan yang cukup. Sedangkan terkait audit kerugian keuangan negara pengujiannya bukanlah menjadi ranah praperadilan," ucap Febri.
KPK pun mengapresiasi putusan hakim tersebut. Menurut Febri, penanganan perkara Djoko pun akan tetap dilanjutkan hingga proses penyidikan selesai.
"Tetap terus dilakukan dan segera melimpahkan ke penuntutan saat penyidikan selesai," kata Febri.
Mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Djoko Saputro (kanan) mengenakan rompi oranye usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kasus ini berawal ketika Djoko Saputra dilantik sebagai Dirut BUMN pengelola Waduk Jatiluhur pada tahun 2016 lalu. Ia diduga memerintahkan dilakukannya relokasi anggaran di Perum Jasa Tirta II.
ADVERTISEMENT
Atas perintah itu, revisi anggaran kemudian dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada dua pekerjaan Pengembangan SDM dan Strategi Korporat. Diketahui anggaran awal yang tadinya hanya senilai Rp 2,8 miliar bertambah menjadi Rp 9,55 miliar.
Keduanya adalah Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp 3.820.000.000 dan Perencanaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan senilai Rp 5.730.000.000.
Perubahan tersebut diduga dilakukan tanpa adanya usulan dari unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Setelah melakukan revisi terhadap anggaran, Djoko Sap pun diduga memerintahkan pelaksanaan pengadaan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk Andririni Yaktiningsasi sebagai pelaksana pada kedua kegiatan tersebut.
Andririni yang juga ditetapkan sebagai tersangka, diduga menggunakan bendera perusahaan PT BMEC dan PT. 2001 Pangripta. Realisasi penerimaan pembayaran untuk pelaksanaan proyek sampai dengan tanggal 31 Desember 2017 untuk kedua pekerjaan tersebut adalah Rp 5.564.413.800.
ADVERTISEMENT
Rinciannya adalah untuk Pekerjaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan sebesar Rp 3.360.258.000 dan untuk Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis sebesar Rp. 2.204.155.8410.
KPK menduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas dengan membuat penanggalan dokumen administrasi Ielang secara backdate atau penanggalan mundur.
Tak hanya itu, KPK pun menduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
KPK menyebut kerugian negara yang timbul dari perbuatan Djoko dan Andririni tersebut adalah sekitar Rp 3,6 miliar. Perhitungan kerugian itu merupakan dugaan yang berasal keuntungan yang diterima Andririni Yaktiningsasi dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterimanya.
ADVERTISEMENT