Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Media sosial digegerkan dengan isu penolakan Indonesia dalam voting sidang Majelis Umum PBB. Indonesia disebut menolak resolusi berkenaan dengan prinsip Responsibility to Protect (biasa disingkat R2P atau RtoP).
ADVERTISEMENT
Isu tersebut mencuat setelah akun @UNWatch mengupload hasil voting yang membahas soal kewajiban untuk melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, serta kejahatan terhadap kemanusiaan.
Resolusi itu diadopsi setelah 115 negara menyetujui, 28 abstain, dan 15 menolak. Indonesia berada di antara jajaran negara-negara yang menolak bersama dengan di antaranya China, Rusia, Suriah, Mesir, dan lain-lain.
Kementerian Luar Negeri menjelaskan bahwa ternyata Indonesia memvoting tak setuju bukan soal substansi mengenai perkara R2P. Melainkan tak setuju soal di mana pembahasan R2P itu berada.
"Hanya di mana pembahasan isu R2P, karena memang sudah ada sebelumnya dan tidak perlu lagi membuat yang baru yang permanen," kata Dirjen Multilateral Kemlu Febrian Alphyanto Ruddyard dalam konferensi pers virtual, Kamis (20/5/2021).
ADVERTISEMENT
Memang faktanya, dalam dokumen resolusi bernomor A/75/L.82 itu memutuskan 2 poin. Pertama, memasukkan pembahasan R2P ke dalam agenda tahunan Majelis Umum PBB. Kedua, meminta sekjen PBB melaporkan setiap tahun ke Majelis Umum PBB soal R2P.
Persoalan mengenai voting pembahasan R2P di Majelis Umum PBB ini sempat buat sebagian orang salah paham menganggap Indonesia menolak pencegahan genosida. Lantas apa sebenarnya yang dimaksud sebagai R2P?
Responsibility to Protect (kewajiban untuk melindungi) awalnya muncul sebagai respons atas adanya berbagai kekejaman pada 1990-an di wilayah Balkan dan Rwanda yang dilanda konflik hebat. Selain itu, intervensi militer NATO di Kosovo juga menuai banyak kritikan karena dianggap sebagai pelanggaran penggunaan kekuatan militer.
Atas fenomena tersebut, Eks Sekjen PBB Kofi Annan melayangkan tantangan ke negara anggota PBB. Ia meminta ke negara-negara tersebut mencari jalan tengah antara prinsip kedaulatan negara tapi sekaligus tetap berpegang teguh mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
“Jika intervensi kemanusiaan memang merupakan serangan yang tidak dapat diterima terhadap kedaulatan, bagaimana kita harus menanggapi (konflik) Rwanda, Srebrenica, terhadap pelanggaran berat dan sistematis mengenai hak asasi manusia yang menyinggung setiap ajaran kemanusiaan kita?” kata Annan dalam Millennium Report tahun 2000 dilansir situs resmi PBB.
Tantangan itu dijawab oleh komisi yang dibentuk pemerintah Kanada. Pada 2001, Komisi Internasional terkait Intervensi dan Kedaulatan Negara (ICISS) itu merilis laporan berjudul "Responsibility to Protect" (R2P).
Konsep itu timbul dari gagasan diplomat Sudan Francis Deng, bahwa kedaulatan negara hadir bersamaan juga dengan kewajiban untuk melindungi rakyat. Negara tak hanya diharapkan melindungi dari ancaman eksternal tapi juga memastikan kesejahteraan warganya.
Dengan konsep itu, negara lain juga menanggung kewajiban apabila ada suatu negara yang tidak mau melakukan kewajiban melindungi rakyatnya. Kewajiban itu timbul kala negara lain justru jadi pelaku kejahatan dan kekejaman terhadap warganya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada pertemuan tingkat tinggi UN World Summit 2005, negara anggota PBB berkomitmen melaksanakan prinsip R2P tersebut. Hasilnya adalah dokumen bernomor A/RES/60/1 yang diadopsi oleh seluruh negara anggota PBB termasuk Indonesia.
Poin utama pelaksanaan R2P ada di paragraf 138 dan 139 2005 World Summit Outcome Document. Intinya, kepala negara dan pemerintahan menegaskan tanggung jawab melindungi warga mereka dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sekaligus memikul tanggung jawab untuk mendorong dan membantu penegakkan komitmen ini.
Tentu saja terdapat sejumlah kriteria pelaksanaan R2P. Konteks R2P tidak boleh melebar dari 4 permasalahan yang digarisbawahi di atas. Misalnya, R2P tidak bisa diterapkan untuk masalah seperti perubahan iklim, bencana alam, atau wabah HIV/AIDS.
ADVERTISEMENT
Selain itu pelaksanaan aksi kolektif negara menjalankan kewajiban perlindungan ke negara lain dengan R2P harus berdasarkan restu Dewan Keamanan PBB dan selaras dengan Piagam PBB.
Dalam 2009 Report of the Secretary-General, disebutkan tiga pilar pelaksanaan R2P:
Penerapan dan Polemik R2P
Catatan Global Centre for the Responsibility to Protect, R2P telah dilibatkan di lebih dari 80 resolusi DK PBB. Hal itu berkaitan dengan krisis yang terjadi di antaranya di Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, Kongo, Liberia, Libya, Mali, Somalia, Sudan Selatan, Suriah, hingga Yaman.
ADVERTISEMENT
Resolusi juga mengatur mengenai pencegahan genosida dan konflik bersenjata dalam isu-isu tematik. Di antaranya melarang perdagangan senjata senjata ringan dan kecil.
Penerapan R2P ini bisa membuat suatu negara menggunakan kekuatan militernya dengan dalih melindungi warga negara lain yang terancam oleh pemerintahannya sendiri. Kasus pertama terjadi di Libya pada pemerintahan Muammar Khadafi tahun 2011.
DK PBB mengeluarkan resolusi 1970 dan 1973. Resolusi 1970 meminta pemerintah Libya melaksanakan R2P. Adapun Resolusi 1973 memberi restu negara lain untuk mengambil 'seluruh langkah yang dibutuhkan' untuk melindungi warga sipil di negara tersebut, terkecuali langkah okupasi di wilayah Libya.
Beberapa hari setelahnya, pesawat-pesawat NATO mulai membombardir tentara Khadafi berdasarkan resolusi tersebut. Hal ini membuat NATO justru hujanan kritik lantaran ada kekhawatiran serangan tersebut bisa melukai korban sipil. R2P di Libya juga diisukan sebagai upaya mempromosikan pergantian rezim.
ADVERTISEMENT
Dubes India untuk PBB Hardeep Singh Puri mengkritisi bahwa kasus di Libya membuat prinsip R2P memiliki nama yang buruk. Ia menuding warga sipil justru dipersenjatai saat pelaksanaan R2P tersebut.
"Satu-satunya aspek resolusi yang menarik bagi mereka (komunitas internasional) adalah penggunaan semua cara yang diperlukan untuk membom Libya," kata Puri mengutip dari buku International Security Studies (2019) karya Neari Rivers.
Setelah Khadafi lengser dibunuh, Libya justru jatuh ke dalam perang saudara sejak saat itu.
Setelah Libya, sangkut paut R2P dalam penggunaan militer di negara lain pun kembali mencuat pada krisis Krimea 2014. Ini dipicu penggulingan Presiden Ukrania pro-Rusia, Viktor Yanukovich.
Pelengseran itu menyebabkan konflik dalam negeri, ada yang pro Uni Eropa dan pro Rusia. Pihak pro Rusia berasal dari masyarakat dan politisi Krimea yang akhirnya meminta bantuan Rusia untuk menyelesaikan konflik tersebut.
ADVERTISEMENT
Rusia menerima permintaan bantuan tersebut dan mengirimkan pasukannya menginvasi dan menganeksasi Krimea. Para pengamat menilai salah satu dalih Presiden Rusia Vladimir Putin atas invasi tersebut yakni penerapan prinsip R2P.
Dilansir Reuters, majelis rendah parlemen Rusia meminta Putin untuk "mengambil tindakan untuk menstabilkan situasi di Krimea dan menggunakan semua cara yang tersedia untuk melindungi rakyat Krimea dari tirani dan kekerasan".
Kritik pun bermunculan atas justifikasi Rusia tersebut. Sama halnya ketika Rusia mengintervensi konflik di Suriah. Ketevan Murusidze dari Middle East Institute (MEI) menyebut seharusnya R2P dikembangkan sebagai kerangka komunitas internasional mencapai perdamaian dan stabilitas global.
"Namun, di tangan Rusia, ini telah menjadi alat untuk membenarkan keinginannya yang semakin besar untuk mendominasi di Laut Hitam dan Timur Tengah," tulis Ketevan di situs resmi MEI.
ADVERTISEMENT
Tetap jadi norma yang punya potensi positif demi perdamaian dunia
Meskipun, dianggap sebagai prinsip yang berpolemik. R2P tetap dinilai sebagai alat yang efektif untuk memonitor perlakuan yang dilakukan oleh pihak negara maupun non-negara jika dinilai gagal dalam melindungi warga negaranya.
Prinsip ini menentang argumentasi kedaulatan negara yang bersifat absolut yang lahir sejak perjanjian Westphalia, terutama ketika negara tersebut menyalahgunakan kedaulatannya.
Gareth Evans, Co-Chair dari International Commission on Intervention and State Sovereignty pada panel diskusi Majelis Umum PBB pada 26 Februari 2016 menyebutkan bahwa R2P telah berhasil:
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut lagi, di dalam diskusi tersebut juga disebutkan bahwa R2P telah membuat perubahan yang berarti di beberapa tempat, seperti Pantai Gading, Guinea, Kenya dan Kyrgyzstan.
Sebagaimana aktor-aktor regional dan sub-regional telah menjadi pemain kunci dalam membentuk respons yang sigap dan efektif kala itu. Meskipun kembali lagi, masih banyak yang masih perlu ditingkatkan.