Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Meski begitu, nama Nusantara untuk Ibu Kota Baru itu menuai pro dan kontra. Sebagian menilai penggunaan Nusantara akan menimbulkan kebingungan. Sebab, sebutan itu juga merujuk wilayah Malaysia, Singapura, dan Brunei. Selain itu, penggunaan istilah Nusantara juga dianggap terlalu Jawa sentris.
Mereka yang kontra salah satunya adalah sejarawan JJ Rizal. Ia menilai penamaan Nusantara bertentangan dengan tujuan awal pembentukan Ibu Kota baru, yaitu memutus ketimpangan Jawa dan luar Jawa.
"Sebab istilah Nusantara mencerminkan bias Jawa yang dominan. Nusantara adalah produk cara pandang Jawa masa Majapahit yang mendikotomi antara negara agung (kota Majapahit) dengan mancanegara (luar kota Majapahit)," kata Rizal kepada kumparan, Selasa (18/1).
Sebagai sebuah istilah, kata Nusantara sendiri muncul dari bahasa sansekerta yaitu 'Nusa' yang berarti pulau dan 'Antara' yang berarti di antara. Menurut Zoetmulder dan Robson (1982) dalam Old Javanese-English Dictionary kata Nusantara diartikan sebagai other island atau pulau lain.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Nusantara: A History of Indonesia, seorang sejarawan bernama Bernhard Vlekke membagikan pandangannya bahwa istilah Nusantara memang merujuk pada pulau lain di luar pulau Jawa dan Bali atau dilihat sebagai wilayah yang berada 'di luar'.
Menurutnya, penggunaan istilah Nusantara pertama kali muncul dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Kala itu, kata tersebut berfungsi untuk menggambarkan daerah-daerah yang mengakui kemegahan Kerajaan Majapahit di luar pusat berdirinya kerajaan tersebut.
Praktis, Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan pertama yang menggunakan istilah Nusantara untuk menggambarkan sesuatu yang 'di luar'. Istilah itu pula yang mendorong Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa. Kala itu, dia berjanji tak akan menikmati palapa (kesenangan) apabila belum menyatukan sesuatu yang di luar Majapahit tersebut.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 1336-1357, Gajah Mada pun bertekad melaksanakan misi untuk menyatukan nusantara. Hingga kemudian lebih dari 30 wilayah berhasil dikuasai.
Wilayah-wilayah tersebut adalah Bedahulu (Bali), Lombok, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudera Pasai, Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludug, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjungkutai, dan Malinau.
Guru besar Arkeologi UI, Prof Agus Aris Munandar, berpendapat bahwa dikotomi 'di dalam' dan 'di luar' Majapahit itu memang berkembang pada era tersebut. Namun menurutnya, sebagai sebuah definisi, kata Nusantara justru terus mengalami pergeseran makna.
“Jadi ada makna awal, ada makna yang meluas, ada makna budaya (Malaysia, Brunnei, Singapura) yang terikat dalam konsepsi awal sebagai Nusantara, dan makna Republik Indonesia modern yang menjadikan istilah tersebut sebagai sebuah Ibu Kota” kata Agus saat dihubungi.
Agus lalu mencontohkan bagaimana kata Nusantara pernah digunakan untuk merepresentasikan kemajemukan. Alih-alih dikotomi 'di dalam' dan 'di luar, kata Nusantara di tangan para tokoh kemerdekaan justru merujuk pada Indonesia sebagai negara kepulauan yang menjadi satu kesatuan.
ADVERTISEMENT
Saat itu, konsep Nusantara semakin sering digunakan oleh pejuang kemerdekaan seperti Sukarno. Tokoh-tokoh kemerdekaan seperti Sukarno, kata Agus, mencari sebuah istilah yang bisa merepresentasikan wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang beragam.
"Waktu itu kan awal kemerdekaan konsep untuk kesatuan dan persatuan kepulauan cocok kata Nusantara. Maka terdapat pengembangan makna, dari yang artinya seluruh kepulauan Hindia Belanda karena waktu itu belum ada Indonesia," tambahnya.
Oleh sebab itu, menurutnya juga tidak tepat bila ada negara-negara yang protes dengan nama Nusantara sebagai Ibu Kota Indonesia. Sebab, istilah tersebut bagaimana pun muncul dari Majapahit yang notabene sekarang adalah Indonesia.
"Istilah Nusantara itu yang digunakan sebagai konsep kebudayaan. Sekarang kalau mereka protes boleh saja protes. Tapi siapa yang menemukan konsep itu pertama kali? apakah yang menemukan orang Malaysia atau Brunei? Kan bukan. Yang menemukan kan Mpu Prapanca, ya, tidak boleh protes," katanya.