Pro Kontra Pasal Perzinaan dalam Revisi UU KUHP

22 September 2019 7:12 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah masa membentangkan poster di jalan, saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah masa membentangkan poster di jalan, saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (16/9/2019). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
DPR segera mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam rapat paripurna. Namun pengesahan urung dilakukan lantaran Jokowi meminta penundaan pengesahan.
ADVERTISEMENT
Revisi KUHP menuai polemik di kalangan publik yang keberatan dengan sejumlah poin revisi. Dari beberapa poin yang menuai polemik, ada revisi mengenai perzinaan.
Ketentuan ini diatur di Pasal 417 ayat (1) yang berbunyi:
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II."
Pasal tersebut menuai polemik karena negara dianggap sudah terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat.
Dalam revisi KUHP, zina berlaku bagi setiap orang, termasuk anak muda yang melakukan persetubuhan di luar ikatan pernikahan. Sementara dalam KUHP saat ini, makna zina berlaku laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah.
ADVERTISEMENT
Selain itu terdapat pula pasal kumpul kebo. Terdapat perluasan pelapor pasangan kumpul kebo yang diatur di Pasal 419 RKUHP. pasal itu berbunyi:
"Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak kategori II."
Jika sebelumnya aduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak, kini aduan diperluas dengan diperbolehkannya kepala desa untuk melaporkan. Laporan tersebut sepanjang tidak terdapat keberatan dari keluarga.
"Perluasan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan overkriminalisasi," katanya.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan setuju Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perzinaan. Komisi Hukum MUI, Ikhsan Abdullah, mengatakan sejumlah usulan dari MUI telah diakomodir oleh DPR dan dimasukkan dalam revisi KUHP.
ADVERTISEMENT
MUI khawatir, jika hal menyangkut perzinaan tak diatur, maka zina lama-lama akan dianggap sebagai hal yang biasa dan bahkan menjadi tradisi di kalangan masyarakat.
"Nah kalau dibiarkan masyarakat jadi tradisi, menjadi hal-hal yang diterima, bahaya kan? Enggak sesuai dengan kultur mana pun, termasuk adat ataupun agama kita apakah muslim, Hindu, Budha, Kristen, semua melarang itu," Komisi Hukum MUI, Ikhsan Abdullah, Sabtu (21/9).
MUI juga merespons sejumlah pihak yang menolak revisi ini karena dianggap multitafsir dan menyangkut hal privat. Ikhsan mengatakan, perbuatan zina dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, sehingga pemerintah ikut andil dalam fenomena tersebut.
"Urusan moral itu bukan hanya urusan pribadi tapi urusan moral negara, urusan pemerintah. Yang di mana, hukum negara harus hadir dan di dalam semua nilai-nilai apapun harus terkandung di dalamnya," imbuhnya.
ADVERTISEMENT