Pro Kontra Wacana Evaluasi Pilkada Langsung

12 November 2019 5:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mendagri Tito Karnavian menyampaikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).  Foto: Dok. Kemendagri
zoom-in-whitePerbesar
Mendagri Tito Karnavian menyampaikan paparannya saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11). Foto: Dok. Kemendagri
ADVERTISEMENT
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberi pernyataan terkait perlu adanya evaluasi bagi pelaksanaan Pilkada secara langsung. Menurut dia, pilkada langsung selama ini malah menimbulkan banyak dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Tito mencontohkan berbagai dampak negatif pilkada langsung. Mulai dari biaya politik yang tinggi hingga banyaknya kasus korupsi.
Saat ia masih menjabat sebagai Kapolri, Tito mengungkapkan kerap menemukan berbagai kasus OTT kepala daerah yang korupsi. Kasus ini terjadi sebagai dampak dari biaya politik tinggi dalam pilkada.
"Itu bukan suatu kejutan buat saya, kenapa? Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. Kenapa? Bayangin dia mau jadi kepala daerah, bupati (butuh biaya politik) Rp 30-50 M. Gaji Rp 100 juta taruhlah Rp 200 juta, kali 12, Rp 2,4 M kali 5 tahun, Rp 12 miliar. Keluar Rp 30 M," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).
Suasana Pilkada di Bandung. Foto: Garin Gustavian Irwan/kumparan
Tito menilai sistem pilkada seperti ini sudah tak lagi relevan. Sistem ini seakan memaksa seorang calon kepala daerah menghalalkan segala cara untuk mencari modal besar.
ADVERTISEMENT
"Pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya, antisipasi demokrasi, tapi juga kita liat mudaratnya ada, politik biaya tinggi," jelasnya.
"Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi bupati, mana berani dia," sambungnya.
Sementara menurut Ketua DPR RI Puan Maharani, evaluasi pilkada mungkin saja dibutuhkan. Namun, ia mengingatkan pentingnya melihat urgensi evaluasi pilkada langsung. Jangan sampai, kata Puan, keputusan tersebut malah membawa mundur sistem pemilu di Indonesia.
"Karena apa pun kita itu sudah melakukan pemilihan langsung sudah beberapa kali, dan memang banyak hal yang perlu dievaluasi. Namun kalau kemudian ada urgensi tertentu ya tentu saja itu komisi II yang harus melihatnya dulu dan mengkaji hal tersebut secara hati-hati. Jadi jangan sampai kita mundur ke belakang," kata Puan.
ADVERTISEMENT
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, wacana ini sudah dibahas sejak setahun lalu. Saat itu, Bamsoet yang menjadi Ketua DPR, mendorong para akademisi untuk mengkaji evaluasi pilkada langsung.
"Saya sebagai (waktu itu) ketua DPR juga mendorong berbagai pihak, para ahli, perguruan tinggi untuk mengkaji lagi apakah pilkada langsung ini memberikan manfaat. Lebih banyak manfaatnya atau lebih banyak mudaratnya?" kata Bamsoet.
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengakui hal itu sempat disinggung dalam pertemuan tadi meski tidak ada pembahasan lebih lanjut.
"Ada disinggung tapi tidak dibahas, tapi pemerintah belum punya pendapat resmi. Kami baru saling lempar ide jadi belum dibahas dan belum ada kesimpulan. Tapi tentu akan dibahas," kata Mahfud.
ADVERTISEMENT
Mahfud mengatakan Jokowi hanya menampung usulan dan tidak membahasnya lebih lanjut. Pembahasan, kata dia, akan dilakukan di masa yang akan datang.
Sementara pandangan dari pengamat dan pemerhati pemilu, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi mengungkapkan evaluasi yang perlu disoroti adalah banyaknya celah untuk melakukan politik uang di pilkada.
"Kalau kita elaborasi laporan akhir dana kampanye paslon ternyata tidak setinggi yang dikeluhkan. Ternyata biaya tinggi itu banyak terjadi di ruang gelap yang tak bisa diakses publik. Misalnya, praktik mahar politik maupun jual beli suara yang notabene merupakan praktik ilegal," kata Titi dihubungi terpisah.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Justru kata Titi, hal itulah yang perlu diungkap dan dibongkar agar ongkos-ongkos pilkada yang ilegal tak lagi terjadi.
ADVERTISEMENT
"Jadi mestinya, di situlah fokus evaluasinya," terangnya.
Kemudian di sisi lain, peninjauan terhadap pilkada langsung ini juga diperlukan bagi daerah-daerah yang rawan konflik, seperti di Papua untuk tingkat Kabupaten/kota. Titi mengatakan, ada skema alternatif yang bisa dilakukan.
"Misalnya untuk kabupaten/kota di Papua untuk mengurangi konflik dan kekerasan, maka itu bisa dilakukan dengan kajian mendalam dan komprehensif dengan memperhitungkan pilihan yang akuntabel dan demokratis," ungkap Titi.
Namun, kata Titi, evaluasi pilkada langsung ini jangan terlalu berlebihan dan bahkan kembali mundur ke sistem pilkada melalui DPRD.
"Jangan lupa Jokowi adalah penikmat pilkada langsung. Dari mulai keterpilihan di Solo sampai DKI Jakarta. Bahkan dalam debat capres 2014, Jokowi jelas menyatakan keberpihakannya pada pilkada langsung," kata Titi.
ADVERTISEMENT
"Memang benar banyak masalah yang kita hadapi, yang perlu dievaluasi. Tapi evaluasinya harus menyeluruh, jangan melompat langsung ke sistem langsung atau tidak langsungnya," jelas Titi.