Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Problematika Industri Gula RI: Setengah Abad Impor hingga Mimpi Swasembada
11 November 2024 17:51 WIB
·
waktu baca 9 menitPolemik status tersangka eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong terkait impor gula membuka mata bahwa Indonesia masih bergantung pada gula dari luar negeri. Pemerintah mencanangkan angan-angan swasembada, tetapi para pemangku kepentingan pergulaan justru pesimistis dengan segala tantangan di industri gula tanah air.
***
Sudah hampir seabad yang lalu Indonesia pernah berjaya di industri gula pada tahun 1930-an. Seluruh sumber pustaka, ahli, dan stakeholder di bidang pergulaan menyatakan kala itu Indonesia–yang masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda–menjadi eksportir terbesar ke-2 di dunia setelah Kuba.
Sebanyak 179 pabrik gula beroperasi di Indonesia dengan tingkat produktivitas mencapai 130 ton tebu per hektare yang menghasilkan 14,8 ton gula per hektare. Total produksi nasional mencapai 3 juta ton dengan 2,4 juta ton di antaranya diekspor ke luar negeri.
Namun produksi gula dan produktivitas lahan pertanian tebu terus merosot. Tahun 1967 menjadi titik balik Indonesia mulai mengimpor gula. Sumber lain yang ditulis Staf Peneliti pada Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Balitbang Pertanian, Delima HAD, berjudul ‘Perdagangan Gula Internasional’ pada tahun 80-an, bahkan menyebut Indonesia sudah mengimpor gula sejak 1966 sebesar 36 ribu ton.
Badan Pangan Dunia (FAO) mencatat sejak tahun-tahun itu Indonesia menjadi importir gula. Pertumbuhan impor naik secara gradual, dari berkisar 50-350 ribu ton pada 1980-an, hingga melampaui 570 ribu ton pada 1995.
Hampir 3 dekade setelahnya, Indonesia menyandang status importir gula terbesar dunia menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat–mengalahkan India, China, dan Amerika Serikat yang penduduknya lebih banyak. Data BPS yang diolah Pusdatin Kementerian Pertanian menyatakan Indonesia mengimpor 5.069.455 ton gula pada 2023.
Padahal dibanding luas tanam tebu pada 1930-an yang hanya 200 ribu hektare, luas tanam tebu saat ini, menurut Outlook Tebu Pusdatin Kementerian Pertanian 2023, mencapai lebih dari dua kali lipatnya yakni 513 ribu hektare. Namun peningkatan jumlah areal lahan tebu justru diiringi dengan menurunnya produktivitas gula.
“Sekarang itu [produktivitas gula] ada yang 5 ton per hektare, yang agak bagus 7-8 ton,” terang Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori.
Kenapa RI Bergantung Gula Impor?
Dengan jumlah produksi 2,27 juta ton dan total impor 5,06 ton pada 2023, hitung-hitungan Import Dependency Ratio (IDR) Indonesia berada di angka 70,82%. IDR menunjukkan seberapa bergantung sebuah negara pada impor sebuah komoditas untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.
Kebutuhan gula di Indonesia naik seiring zaman. Pada tahun 1930-an, konsumsi gula hanya di angka setengah juta ton, naik menjadi 1,8 juta ton pada 1976, 2,75 juta ton pada 1996; dan pada 2023-2024 konsumsi gula di Indonesia untuk masyarakat dan industri melambung berkali-kali lipat menjadi sekitar 7,8-7,9 juta ton berdasarkan data USDA.
Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Yadi Yusriadi, menyebut pada zaman kolonial Belanda, konsumsi gula rendah sejalan dengan kondisi masyarakat yang sebagian besar tidak mampu membeli gula putih.
Sementara, seiring bertumbuhnya jumlah penduduk dan kesejahteraan, hal itu tidak dibarengi dengan peningkatan produksi gula. Padahal pola konsumsi gula di masyarakat sudah berubah.
“Dulu gula hanya untuk kopi dan teh sedikit. Kalau sekarang jajanan banyak mengandung gula, sehingga konsumsi naik sekitar 23 kg per kapita per tahun,” terang Yadi. Bahkan proyeksi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2024 konsumsi gula di Indonesia lebih tinggi sebesar 32,2 kg/kapita/tahun.
Menurut Yadi, untuk menuju swasembada, Indonesia berkejaran dengan laju pertumbuhan penduduk yang otomatis meningkatkan kebutuhan gula. Sedangkan produksi Indonesia stagnan bahkan cenderung menurun dibanding era keemasannya sebelum merdeka.
Sehingga bagi Yadi dan Khudori, persoalan utama yang menjadi biang kerok ketergantungan Indonesia pada impor gula ialah produktivitas lahan tebu yang masih rendah. Hanya menghasilkan 60-an ton per hektare. Problem ini mencakup rendahnya hasil rendemen (persentase jumlah kg gula yang dihasilkan dari per kuintal tebu).
Pada 1930-an, tingkat rendemen tebu mencapai 11-12,8%. Artinya dari 100 kg tebu yang digiling bisa menghasilkan 11 kg-12,8 kg gula. Kini berdasarkan data Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementan, rata-rata rendemen di pabrik gula (PG) swasta di Pulau Jawa dalam 5 tahun terakhir ialah 7,37%, sedangkan untuk PG BUMN di Jawa lebih rendah yakni 7,27%.
Hasil rendemen yang tinggi pada era kejayaan gula 1930-an di Indonesia, menurut Khudori dan Yadi, karena ditopang oleh riset yang baik. Sejak zaman Belanda, Indonesia memiliki Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) yang berpusat di Pasuruan, Jawa Timur.
“Teknologi termasuk benih yang dihasilkan P3GI di Pasuruan zaman itu bisa menyelesaikan krisis gula di Eropa. Kalau dicek, tetua-tetua gula (plasma nutfah -red) yang dikembangkan di Australia, Thailand, dan Brasil–yang sekarang jadi (eksportir) nomor 1 dunia–itu dari Pasuruan,” kata Khudori.
Yadi menambahkan, nasib P3GI kini merana karena untuk melakukan kegiatan operasional riset mesti mencari pendanaan sendiri. Berbeda dengan dahulu saat skema pembiayaan riset lembaga itu disokong dari sebagian persentase keuntungan hasil menjual gula atau memasukkannya dalam perhitungan penetapan harga gula.
Kebijakan semacam itu terjadi misalnya pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 420/KMK.01/1998 di era Bambang Subianto yang memasukkan Dana Penelitian Gula P3GI dalam komponen harga jual sebesar Rp 100 per kuintal.
“P3GI kini untuk hidupnya harus cari duit (pembiayaan) sendiri. Kalau dulu saat gula dibeli Bulog itu dia dapat sekian rupiah dari keuntungan, jadi saat itu peneliti-peneliti P3GI fokus riset. Kalau sekarang risetnya kurang dapat perhatian,” kata Yadi.
Faktor pendorong rendahnya produktivitas gula lainnya menurut Khudori ialah sistem beli putus tebu petani oleh PG yang terjadi sejak 2019. Alas hukum sistem ini termaktub dalam Surat Edaran Dirjen Perkebunan Kementan Nomor 593/TI.050/E/7/2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT).
Sebelum sistem beli putus, pabrik gula dan petani menggunakan sistem bagi hasil. Cara kerja sistem bagi hasil yakni dari setiap berat tebu yang disetorkan ke PG, maka petani akan mendapat 65-67% gula hasil giling.
Dalam sistem bagi hasil, petani tidak langsung mendapat uang hasil menjual tebu ke PG, melainkan harus menunggu produksi gula dan hasil lelang yang dilakukan dua pekan sekali. Namun kini mayoritas petani cenderung memilih sistem beli putus karena sebagian pabrik gula BUMN mesinnya berasal dari abad 19-20-an yang dianggap kurang efisien.
“Tidak efisiennya pabrik gula BUMN bakal jadi tanggungan petani kalau pilih sistem bagi hasil. Karena tidak efisien, produk akhirnya lebih kecil dibandingkan kalau pabriknya efisien,” kata Khudori.
Akibat dari sistem beli putus itu, muncul 2 implikasi. Pertama, petani menjadi pragmatis karena hanya mengejar besarnya berat tebu dari lahannya tanpa memperhatikan kualitas rendemen. Kedua, dengan begitu PG berlomba menawarkan harga yang tinggi sehingga terkadang hasil panen di wilayah tertentu justru dijual ke pabrik gula yang jauh lokasinya dari kebun.
Khudori menyebut fenomena pada implikasi kedua tadi sebagai ‘tebu wisata’ alias tebu yang wira-wiri ke PG yang menawarkan harga tinggi. Hal ini menurutnya tak efisien dari sisi biaya angkut dan dapat berdampak ke penurunan rendemen. Padahal setelah tebu ditebang, paling lama 72 jam setelahnya sudah mesti digiling agar rendemen optimal.
“Yang dikejar petani siapa yang menawarkan harga terbaik. Implikasinya pabrik gula BUMN yang kapasitas keuangannya tak memadai tidak akan bisa bersaing, tidak kebagian bahan baku (tebu), pelan-pelan pasti akan tutup,” jelas Khudori.
Tantangan lainnya, khusus bagi PG BUMN ialah, mengkoordinasikan antara lahan pertanian milik petani dengan kebutuhan pabrik. Kondisinya berbeda dengan PG swasta yang di antaranya memiliki lahan sendiri sehingga bisa diatur.
Tanpa koordinasi yang baik, kata Khudori, jadwal tanam petani bisa berlangsung sembarangan, tak mengikuti musim giling PG yang jamak dimulai di bulan Mei-Juni. Sebagai informasi, setelah PG menyalakan boiler, mesin tersebut idealnya terus menggiling tebu sampai bahan baku habis sekitar November. Sebab sekali mesin dinyalakan, modalnya, menurut Yadi, bisa mencapai Rp 300 juta.
Akankah Indonesia Swasembada Gula?
Indonesia mencanangkan swasembada gula sedari lama. Semula, pemerintah mencanangkan swasembada gula pada 2020, namun kemudian direvisi menjadi 2024. Kini karena realitanya tak mungkin tercapai, pemerintah lagi-lagi merevisi target swasembada pada 2028 untuk gula konsumsi dan 2030 untuk gula industri.
Target itu tercantum di Perpres Nomor 40 Tahun 2023 yang diteken Presiden Jokowi. Di Perpres itu, Indonesia menyiapkan peta jalan swasembada gula dengan menargetkan produktivitas tebu meningkat menjadi 93 ton per hektare, serta penambahan areal perkebunan 700 ribu hektare, yang salah satunya bersumber dari lahan kawasan hutan.
Pegiat gula pun agak pesimistis dengan target tersebut. Khudori mempertanyakan 700 ribu hektare lahan baru–yang luasnya lebih dari dua kali lipat lahan eksisting–akan membutuhkan banyak pabrik gula yang kini menurut data Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian hanya berjumlah 62 pabrik (43 BUMN dan 19 swasta).
Berdasarkan publikasi Sekretariat Negara pada Juni 2024, rencananya akan ada 5 pabrik tebu baru di Merauke, Papua Selatan, yang memproduksi 2,6 juta ton gula dengan menanam tebu di lahan seluas 490 ribu hektare.
“Hitung-hitungan [swasembada] di atas kertas memang mudah, tapi bagaimana memastikan skenario di atas kertas bisa dieksekusi dengan baik dari tahun ke tahun?” ucap Khudori.
Yadi pun menilai skenario tersebut kurang realistis. Sebab untuk membangun pabrik bisa membutuhkan waktu 2-3 tahun. Sehingga untuk mengejar target swasembada, pemerintah mesti menaikkan produktivitas dari lahan dan PG yang sudah ada.
Menurut Yadi, penambahan areal lahan yang tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi gula. Sehingga lebih penting untuk menaikkan produktivitas dari 4,5-5 ton gula per hektare menjadi di atas 6,5 ton per hektare.
Apabila produktivitas berhasil digenjot menjadi 6,5 ton gula per hektare, dengan luas lahan 513 ribu hektare yang kini ada, diproyeksi bakal menghasilkan 3,3 juta ton gula setahun. Angka ini cukup untuk memenuhi gula konsumsi yang berkisar 3 juta ton per tahun.
Sehingga bagi Yadi, ketimbang menaikkan luas lahan (ekstensifikasi), lebih baik strateginya difokuskan ke arah intensifikasi pertanian seperti perbaikan atau riset benih, serta memberi insentif untuk mendorong budidaya pertanian tebu yang baik. Dan untuk melakukan hal ini, mesti ada program khusus untuk mendorong produktivitas gula.
“Tidak sekadar memberitahu budidaya begini-begitu, tapi misalnya dicukupi alat mekanisasinya, pupuknya, varietasnya, budidaya benih yang sehat-bagus. Kasih insentif bagi orang yang mau melakukan itu, katakanlah beri bantuan benih atau apa, sehingga memancing yang lain melakukan yang baik,” ujar Yadi.
Selain itu, bagi Khudori, tak kalah penting ialah revitalisasi PG. Revitalisasi sedianya sudah didorong sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri, tetapi hasilnya maju mundur karena terkendala sisi manajemen–terutama bagi PG-PG BUMN yang berisiko bergonta-ganti pimpinan lantaran sifat penunjukannya politis.
“Ada revitalisasi di pabrik gula swasta yang bagus. Contoh PT Kebon Agung di Malang, itu swasta punya Yayasan Bank Indonesia. Pabrik ini dari tahun 1800, tapi sekarang direvitalisasi modern. Kenapa bisa berhasil revitalisasi? Karena sepanjang revitalisasi dilakukan, direksi tidak diganti. Ada komitmen, harus tercapai, di-support keuangan juga,” kata Khudori.
Dari segudang tantangan yang ada, kata Khudori, sulit untuk mengulangi romantisme kejayaan Indonesia masa lalu yang pernah mengekspor gula berbasis tebu. Apalagi kondisi sosial-masyarakat, termasuk topangan riset, sudah berbeda sejak saat itu. Sehingga ia mengusulkan wacana baru.