Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Prof Amin Sebut Lab Eijkman Tak Bisa Open Platform: Banyak Hal Potensi Infeksius
17 Januari 2022 22:27 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Eks Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman , Profesor Amin Soebandrio, menyampaikan pendapatnya soal rencana BRIN akan menerapkan sistem platform yang terbuka terhadap alat dan ruangan laboratorium Eijkman. Maksud dari sistem ini adalah alat penelitian dan laboratorium nantinya bisa terbuka untuk semua peneliti dan tidak terbatas hanya untuk peneliti Eijkman saja.
ADVERTISEMENT
Amin menjelaskan, sebagian besar penelitian Eijkman menggunakan sample dari manusia. Sample yang diambil itu tidak hanya berisi informasi genetik dari manusia itu sendiri dan berpotensi berisi patogen-patogen yang belum diketahui.
"Misalnya stok [sample] yang kita ambil dari pasien COVID hanya mengandung COVID, tidak demikian. Oleh karena itu, kami menerapkan pendekatan bio security [dan] bio safety yang sangat ketat dan salah satunya adalah mensyaratkan satu ruangan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Walau tidak dipakai, tidak bisa begitu saja dipergunakan orang-orang lain. Itu salah satu keunikan," kata Amin dalam rapat bersama Komisi VII DPR, Senayan, Senin (17/1).
Amin bahkan mengungkapkan ada sejumlah ruangan di Eijkman yang tidak bisa dia masuki karena tidak memiliki akses. Jika ingin memasuki ruangan tersebut, maka Amin harus didampingi oleh staf atau peneliti yang dalam kesehariannya bekerja dan ditempatkan di sana.
"Tentu ada beberapa peralatan yang bisa dipakai secara bergantian, yaitu kalau sifatnya tidak terlalu strategis dan bisa ditempatkan di satu ruangan yang umum. Tapi banyak ruangan dan peralatan yang bisa kita batasi betul siapa yang punya akses," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan yang sama, Profesor Herawati Sudoyo mengatakan skema open platform belum bisa dipakai di Eijkman. Ia mencontohkan laboratorium forensik yang tidak bisa memakai skema tersebut karena semua peralatan dan akses menuju laboratorium terbatas.
"Jadi hanya orang-orang tertentu. Itu memerlukan suatu pelatihan dan pengakuan dari internasional. Mengapa internasional? Bukan karena sok-sokan. Kami pernah menerima permintaan termasuk dari Kemlu, misalnya kasus-kasus mereka harus identifikasi apakah memang betul yang meninggal betul-betul keluarga atau identitasnya jelas," ujar Herawati.
"Jadi ada laboratorium yang enggak bisa pakai open platform termasuk BSL (Biosafety Level Laboratorium) 2 dan BSL 3," lanjutnya.
Sementara terkait pemindahan laboratorium, Amin mengatakan hal itu tidak mudah dilakukan. Biaya pemindahannya sangat mahal karena alat, sample, dan spesimen yang dipindahkan harus dipastikan dalam keadaan aman.
ADVERTISEMENT
"Sekali lagi, ini bukan hal yang sederhana. Apalagi kalau kita bekerja dengan sample dari manusia dan bahan-bahan yang potentially infectious," kata Amin.
Selain itu, pemindahan alat-alat laboratorium juga membutuhkan biaya yang cukup mahal. Amin mengungkapkan ada satu alat yang baru ada satu di Indonesia dan baru dimiliki Eijkman, dengan harga beli sekitar Rp 35 miliar.
"Satu-satunya ada di Indonesia dan hanya kepada Eijkman vendor itu mau menjual karena mereka ingin memastikan alat itu dipakai dan dirawat dengan baik," ungkapnya.
Untuk memindahkan alat seharga Rp 35 miliar, Eijkman setidaknya harus menyiapkan dana sebesar Rp 7 miliar. Sehingga, Amin menegaskan untuk memindahkan laboratorium beserta alat-alat yang ada di dalamnya tidak mudah.
"Kami konsul ke vendor berapa pemindahan alat itu ke tempat lain dan biayanya sangat mengejutkan. Alatnya Rp 35 miliar, tapi pemindahannya Rp 7 miliar. Belum alat-alat yang lainnya. Itu terkait teknis masalahnya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Live Update