LIPSUS Eijkman ke BRIN- Amin Soebandrio

Prof. Amin Soebandrio: Eijkman Sekarang Turun Level (4)

10 Januari 2022 9:00 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Profesor Amin Soebandrio langsung mengosongkan ruangannya ketika mendapat kabar bahwa posisinya sebagai Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dicopot pascaintegrasi Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia lalu meminjam sebuah ruangan di lantai bawah Gedung Eijkman sebagai kantor barunya.
ADVERTISEMENT
Profesor mikrobiologi klinis Universitas Indonesia itu tak bisa langsung meninggalkan Eijkman—yang kini menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman. Ia masih menangani sejumlah penelitian, termasuk pengembangan Vaksin Merah Putih, dan berniat terus membantu Eijkman setidaknya sampai Vaksin Merah Putih rampung.
Bagi Amin dan puluhan peneliti lain, Eijkman ibarat rumah. Kini, meski Eijkman tetap ada setelah integrasi, namun rasanya akan berbeda, terutama dari sisi penanganan penelitian dan status sumber daya manusia.
Pelaksanaan program-program penelitian amat mungkin tak lagi sebebas dulu, dan SDM-nya bakal berganti karena banyak peneliti dengan status non-ASN yang tersisih.
Bagaimana Amin dan para peneliti Eijkman memandang peleburan lembaga mereka ke BRIN? Apa dampak yang mereka rasakan? Dan bagaimana kelanjutan Vaksin Merah Putih yang mereka kembangkan?
ADVERTISEMENT
Simak wawancara kumparan selengkapnya dengan Prof. Amin Soebandrio di Gedung Eijkman, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (6/1).
Mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof. Amin Soebandrio. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Bagaimana awal mula peleburan Eijkman ke BRIN?
Lembaga Eijkman sejak didirikan berada di bawah Kemenristek. Begitu konsep BRIN sudah muncul, sudah ada UU-nya tahun 2019, kemudian ada Perpres [Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional], kami sudah tahu bahwa Eijkman akan masuk BRIN karena semua lembaga litbang yang ada—tidak hanya Eijkman—di kementerian pun di bawah koordinasi BRIN.
Karena Eijkman ada di bawah Ristek, maka akan di bawah BRIN. Semula kami belum tahu modelnya kayak apa. Baru awal tahun 2021 ketika Kemenristek/BRIN diubah menjadi BRIN, Ristek masuk ke Dikbud. Jadi BRIN—yang jadi badan setingkat menteri tapi bukan anggota kabinet—mulai terlihat organisasinya. Salah satunya akan dibentuk organisasi riset. Namanya agak aneh buat kami.
ADVERTISEMENT
[Saat ini ada 7 organisasi riset di BRIN, yaitu Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Penerbangan dan Antariksa, Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Ilmu Pengetahuan Teknik, Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora, Ilmu Pengetahuan Kebumian, serta Ilmu Pengetahuan Hayati. Eijkman ditempatkan di bawah Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati.]
Maksudnya, struktur baru Eijkman di bawah Organisasi Riset Ilmu Hayati tak sesuai untuk Eijkman?
Eijkman dimasukkan ke Organisasi Riset Ilmu Hayati buat kami kurang pas. Karena hayati ini mengadopsi yang ada di LIPI. LIPI itu belum ada unit kesehatan. Memang ada yang mengembangkan obat berbahan alam, tapi bukan kesehatan, melainkan pengembangan obatnya.
Kalau Eijkman masuk di situ kayaknya kurang pas karena Eijkman kental dengan ilmu kesehatan dan kedokteran. Harusnya masuk di Organisasi Riset Kesehatan. Tapi karena belum dibentuk, Eijkman masuk di Organisasi Riset Ilmu Hayati.
ADVERTISEMENT
Sekarang pun sudah mengarah [ke pembentukan Organisasi Riset Kesehatan]. Tapi karena kepala pelaksana tugasnya bukan dokter [Dr. Wien Kusharyoto, Plt. Kepala PRBM Eijkman], kami khawatir juga bagaimana nanti menjalin kerja sama dengan RSCM atau pihak-pihak lain.
Sebetulnya [Organisasi Riset Kesehatan] dijanjikan 1 Januari 2022 sudah final.
[Organisasi Riset Kesehatan itu saat ini belum terbentuk. Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, nantinya jumlah organisasi riset dalam BRIN akan berkembang menjadi belasan dari 7 yang sudah ada sekarang].
Dua orang petugas berjaga di gedung Lembaga Eijkman di Jakarta. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Kapan pertama kali Kepala BRIN memberi tahu soal integrasi ini?
Dia dua kali ke sini (Gedung Eijkman). Pertama waktu beliau [usai dilantik] jadi Kepala BRIN. Saya undang ke sini karena sebelumnya belum pernah ke sini. Konsepnya belum fix saat itu meski dia sudah menyampaikan bahwa Eijkman tidak mungkin jadi Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Kan sebelumnya Eijkman menyampaikan ingin setara seperti LIPI, BPPT. Menurut beliau Eijkman terlalu kecil dan enggak eligible untuk dijadikan LPNK.
ADVERTISEMENT
Jadi bagaimana persisnya level Eijkman usai integrasi?
Turun level. Sebelumnya Eijkman bertanggung jawab ke Menteri (Menristek), jadi paling enggak selevel dengan eselon satu—bisa langsung ke menteri, bisa kerja sama, selevel dengan rektor. Sebab selama ini kami kerja sama ya dengan eselon satu. Kalau kerja sama dengan militer ya levelnya bintang satu.
Setelah sekarang jadi Pusat Biomolekuler ya turun. Tidak bisa lagi kerja sama dengan instansi lain.
Peneliti perempuan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang meneliti DNA COVID-19. Foto: L'Oreal Indonesia dan Eijkman
Bagaimana soal SDM?
Ada sosialisasi [dari BRIN], waktu itu saya enggak hadir, sekitar September atau Oktober 2021. Di Eijkman sini, semua diundang. Disampaikan kebijakannya. Opsi yang ada tidak bisa ditawar.
Mereka yang ASN akan dipindahkan statusnya menjadi ASN BRIN, kemudian dia akan menjabat fungsional peneliti, sama seperti yang diberlakukan di kementerian lain. Itu opsi pertama.
ADVERTISEMENT
Kedua, bisa masuk kalau dia S-3. Yang sedang sekolah S-3 bisa diproses. Lalu, kalau bukan S-3 dan tidak sekolah S-3 masih bisa diterima tapi dijadikan operator laboratorium. Tentu buat teman-teman di sini jadi operator lab bukan opsi menarik.
Ada opsi lagi, kalau alat sudah dipindah gedung, walau sebagian tidak bisa dipindah, orangnya akan diambil kembali oleh RSCM. RSCM akan menjadikan gedung ini sebagai lab penelitian dan pelayanan, dan sebagian periset Eijkman akan diakomodir RSCM.
Lalu seperti apa respons para peneliti Eijkman?
Karena ini kebijakan yang non-negotiable, mereka berupaya melihat peluang mana yang bisa sesuai. Tidak semuanya bisa. Walau ada lima opsi, tidak semua bisa diakomodir atau diterima.
Jadi mereka (sebagian peneliti) harus cari “rumah” baru. Kalau saya sudah tidak eligible kelimanya. Saya ASN, tapi usia saya sudah mendekati pensiun. Jadi tidak eligible, tapi saya sudah dikembalikan ke UI.
Mantan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof. Amin Soebandrio. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Gaji peneliti di BRIN nanti naik?
ADVERTISEMENT
Menurut informasi, yang ASN akan jauh lebih besar dari yang sekarang. Tapi enggak tahu apakah masih bisa mendapat honor penelitian seperti sekarang.
Para peneliti [honorer] bukan dipecat, tapi mereka tenaga kontrak yang dianggap sistem tidak sesuai aturan. Padahal kami jelaskan itu sudah puluhan tahun dan tiap tahun sudah diperiksa BPK, BPKP, KPK, tidak ada masalah. Dan sekarang dianggap tidak sesuai sehingga honor peneliti tidak bisa dibayarkan kembali. Para peneliti honorer mulai minggu depan sudah disetop gajinya dan merasa diberhentikan.
Mereka dikontrak per tahun?
Ada yang dua tahun sesuai proyek, ada yang berdasarkan SK dari Kuasa Pengguna Anggaran—itu mewakili Menristek sebelumnya untuk menggunakan anggaran negara. Sudah ada aturan semuanya. Standar honornya juga sesuai Kemenkeu dan itu sudah diperiksa dan disetujui Dirjen Anggaran.
ADVERTISEMENT
Semua sudah sesuai dan kami laporkan berkala. Lembaga Eijkman termasuk lembaga yang laporannya rapi, tepat waktu, serapannya 100 persen.
Gaji peneliti di Eijkman sebelumnya berapa?
Ikut aturan Kemenkeu, dihitung per jam saja. Misal satu minggu 40 jam, itu satu jamnya sekian puluh ribu. Jadi total satu bulan mungkin Rp 4-5 juta. Waktu saya datang ke sini 2014, saya pelajari tugasnya apa, berapa take home pay, waktu itu sekitar Rp 3-4 juta.
Mereka ini S-1 atau S-2?
Semua, research assistant. Berdasarkan hitungan Kemenkeu, jadi seminggu itu 40 jam. Sebulan paling 140 jam, dikali Rp 30 ribu atau 20 ribu.
Di BRIN dijanjikan naik jadi berapa?
Menurut keterangan Kepala BRIN bisa sampai Rp 20-25 juta.
ADVERTISEMENT
Mengapa bertahun-tahun peneliti Eijkman tidak dibuat permanen?
Karena yang mengangkat bukan kami. Proses jadi ASN tidak sederhana, sedangkan penelitian tidak mungkin dikerjakan satu orang saja. Satu peneliti ASN harus dibantu peneliti lain. Ada teknisi, tenaga administrasi, itu semua ada standar biayanya berdasarkan masukan dari Kemenkeu.
Setiap tahun kami mengusulkan, sebab kan tidak mungkin minta ASN bantuan; tidak mungkin juga kami merekrut ASN baru.
Peneliti yang sudah beberapa kali dikontrak dan reputasinya bagus, kami dorong ke ASN. Tapi formasi ASN baru tidak banyak. Yang dijatahkan ke Ristek terbatas, apalagi yang dijatahkan untuk Eijkman.
Misal kami usul 10, belum tentu 1 juga diterima. Padahal penelitian harus jalan terus. Jadi kami menggunakan tenaga kontrak dan sejauh ini dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Jadi, upaya mengangkat peneliti jadi ASN sudah dilakukan tapi terhambat sistem?
Iya. Tapi, tidak juga semua orang tertarik jadi ASN. Buat mereka (peneliti), pengalaman penelitian, jenjang pendidikan S-2, S-3 di luar negeri itu lebih menarik. Mereka mengharapkan bisa dapat kesempatan penelitian lebih baik.
Toh misalnya kontrak di Eijkman sudah habis, mereka mudah cari kerjaan di luar karena reputasi bekerja di Eijkman menjadi preferensi sendiri. Mereka lazimnya melamar di suatu lab atau perusahaan, lalu lebih mudah diterima—dan harganya tinggi—karena ada riwayat pernah kerja di Eijkman.
Suasana gedung Lembaga Eijkman di Jakarta. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Peneliti tidak ada di struktur ASN Kemristek?
Seperti kata Kepala BRIN, selama ini hanya bisa masuk sebagai tenaga administrasi karena Ristek kan kementerian, tidak ada peneliti di situ. Jadi pegawai Ristek itu tenaga administrasi, tidak ada yang diangkat peneliti.
ADVERTISEMENT
Jadi PNS dari Eijkman tidak bisa diusulkan untuk menerima tunjangan penelitian karena di Ristek tidak ada formasi peneliti. Itu yang merugikan. Walaupun PNS di Ristek, tapi sebagai tenaga administrasi, dan gajinya kecil.
Nah, sekarang mungkin akan ada tunjangan jabatan fungsional peneliti. Ini yang menyebabkan angka (gaji mencapai) Rp 20-25 juta.
Ketika peneliti Eijkman masuk BRIN, apakah mereka melanjutkan program yang dipegang di Eijkman?
Belum tentu. Karena di BRIN kegiatan penelitian sesuai program Organisasi Riset dan di dalamnya ada Rumah Program. Itu dibatasi, tidak 100% bebas.
Mengapa banyak peneliti menolak bertahan di Eijkman pascaintegrasi?
Mereka masih merasa lebih nyaman di Eijkman [lama] meski honor disetop. Itu kan militansi mereka—tidak mikirin honor, tidak seperti yang dituduhkan bahwa peneliti Eijkman kaya-kaya. Ya, standarnya kalau kaya, mereka harusnya dapat puluhan juta.
ADVERTISEMENT
Mereka senang di sini karena suasana, pengalaman, kualitas penelitian, dan publikasi di jurnal bergengsi. Itu yang mungkin tidak didapatkan di tempat lain.
[Di BRIN mungkin] tidak fleksibel karena penelitian top-down.
Ada anggapan Eijkman selama ini eksklusif, pendapat Anda?
Sebetulnya yang istimewa itu output kami—dikasih jumlah [anggaran] sama tapi hasilnya jelas. Itu disampaikan teman-teman di Dirjen Anggaran Kemenkeu, [kata mereka] “Saya senang kalau me-review anggaran Eijkman”.
Lantas bagaimana nasib Vaksin Merah Putih yang dikembangkan Eijkman bersama Bio Farma?
Januari tahun lalu kami sudah menyelesaikan tugas kami, mengembangkan bibit vaksin, setelah itu masuk ke industri. Tahun lalu kami serahkan ke Biofarma untuk melanjutkan. Tapi Biofarma minta supaya disempurnakan, dari kemurniannya, produktivitas dan yield-nya. Konsentrasi proteinnya minta ditingkatkan, kita harus scaling up. Kalau di lab kan kecil, industri kan besar. Itu semua minta disempurnakan. Dan itu kita lakukan sampai pertengahan tahun lalu, sekitar Oktober. Itu sudah diselesaikan semuanya, memenuhi persyaratan industri.
ADVERTISEMENT
Sudah diuji ke mencit, responsnya bagus. Sekarang sedang, sudah siap masuk ke industri untuk uji praklinik di hewan. Tinggal negosiasi fundingnya saja.
Integrasi menghambat Vaksin Merah Putih?
Oh, pasti. Karena kalau ganti orang dia pasti harus mundur lagi, tidak bisa langsung kayak ganti sopir dan jalan. Mesti lihat perkembangannya gimana.
Termasuk Tim Waspada COVID-19?
Itu praktis pemeriksaan saja. Walaupun sebelumnya kami juga berkepentingan karena kami menerima sampel. Sampel dari manusia kan, kita bisa dapat virus dan sel manusia dan itu adalah sumber informasi yang sangat luar biasa, bisa jadi bahan penelitian. Karena kami melakukan pemeriksaan sama sekali tidak dibayar, tidak ada uang ekstra, reagen dibelikan dan tidak ada income tambahan. Yang kita harapkan, nilai tambahnya dari sisi sampel tadi, banyak sekali penelitian di situ.
Infografik Sengkarut Peleburan Eijkman. Foto: kumparan
Peran Eijkman sudah selesai?
ADVERTISEMENT
Ini sudah 95 persen selesai. Tapi proses berikutnya enggak lepas, kalau ada masalah kembali ke lab.
Sekarang tahap uji klinik?
Praklinik ya, ke hewan dulu. Kita memastikan keamanannya dulu. Presiden menyampaikan harus aman, efektif, dan halal, dan terjangkau. Dan dari sini kita upayakan yieldnya tinggi dan cost rendah. Kita uji ke mencit sudah bagus sekali responsnya. Tinggal diekstrasikan ke industri.
Uji di hewan itu sudah harus menggunakan sediaan vaksin persis seperti yang akan digunakan manusia. Jadi akan dilakukan di fasilitas Cara Pembuatan Obat yang Benar (CPOB) dan itu hanya ada di Biofarma.
Setelah mencit, diuji coba ke hewan yang menyerupai manusia?
Nantinya. Di sini baru mencit, setelah di industri sudah disiapkan bahannya. Nanti dari yang kecil, mencit, marmut, kemudian primata, kera.
ADVERTISEMENT
Itu semua sudah direncanakan, cuma tadi yang kita inginkan per tahun lalu, uji pra klinik di semester terakhir tahun lalu sehingga kita harapkan tahun ini sudah Emergency Use Authorization.
Kenapa batal?
Ya itu, proses di lab terhambat.
Karena integrasi Eijkman ke BRIN?
Proses integrasi sudah berjalan sejak sebelum September karena kan Kemristek jadi BRIN sudah bulan April. Jadi, kami ajukan anggaran penelitian Januari sampai sekarang bulan cair. Karena itu prosesnya.
Jadi terhambat karena integrasi terkait funding?
Untuk persyaratan tadi kita harus beli peralatan. Seperti Bioreaktor atau Fermentor, kita ngujinya pakai kecil-kecil. Padahal di industri pakai ratusan liter. Kita harus menguji di Bioreaktor yang besar, yang kita enggak punya. Nah, kita ngusulin, itu kan cukup mahal.
ADVERTISEMENT
Berapa dana yang diajukan?
Beberapa miliarlah. Karena relatif kecil, karena Research and Development vaksin kami masih kecil dibandingkan total anggaran pengembangan vaksin, yang kami pakai belum sampai Rp 20 miliar.
Kalau tak ada integrasi soal anggaran tak terkendala?
Kalau masih Ristek ya. Komitmen Pak Bambang Brodjonegoro kan mendukung. Contohnya kami minta alat non sequence Rp 35 miliar langsung dikasih dan itu satu-satunya di Indonesia. Yang kecil-kecil sih banyak, yang paling besar di sini karena perusahaannya tidak mau mau jual ke lab lain. Karena kalau alat itu mangkrak mereka namanya jelek.
Dampak integrasi di aspek apa saja?
Funding, alat, dan SDM. Itu sampai dengan akhir tahun, apalagi sekarang dengan ada beberapa SDM ada yang berangkat sekolah. Jadi terjadi pengurangan jumlah orang yang mengerjakan. Untungnya kita sampai di bagian akhir.
Peneliti perempuan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang meneliti DNA COVID-19. Foto: L'Oreal Indonesia dan Eijkman
Peneliti Eijkman yang menangani Vaksin Merah Putih berapa orang?
ADVERTISEMENT
Ada 15 orang. Tapi tidak semua langsung menangani barang yang sama. Jadi ada yang menangani purifikasi protein, genetik, dan pemeliharaan hewan.
Dari 15 orang, berapa yang migrasi ke BRIN?
ASNnya sedikit, sudah senior, tidak sampai 5 kali ya.
Berkurang berapa?
Separuh.
Lumpuh?
Istilahnya barangkali, entah lumpuh, pincang. Minimal tidak bisa berlari.
Setelah integrasi belum ada kepastian penelitinya menangani Vaksin Merah Putih?
Betul, di sana kita tidak tahu siapa yang tangani, di ruangan mana. Kalau di sini kita bahkan membuat ruangan khusus yang tadinya tidak ada. Karena kan kita gunakan 2 sistem, mamalia dan ragi.
Yang ragi itu kita menghindari sel jamur. Takutnya karena dia mudah sekali nyebar dan mencemari biakan yang lain. Jadi kita tidak pernah kerja dengan ragi. Tapi karena kebutuhan vaksin, kita cari beberapa ruangan lain. Awalnya dua kamar kecil, bekas kamar kecil, di atas kamar kecil kita rombak jadi laboratorium. Karena butuh ruangan gede, perpustakaan kita bagi dua.
ADVERTISEMENT
Gimana Anda menyikapi, dulu memimpin pengembangan Vaksin Merah Putih dari awal kini diambilalih?
Dulu semangat sekali, apalagi dukungan dari Pak Menteri (Bambang Brodjonegoro) sudah semakin besar karena semua anggaran dipusatkan. Tapi semuanya tercatat dan tetep prudent. Tapi harus ya belakangan seperti ini, ya mulai seret anggarannya.
Pengembangan Vaksin Merah Putih bisa lebih cepat jadinya kalau anggaran tak terhambat karena integrasi?
Salah satunya. Itu jadi alasan kenapa Biofarma ambil Vaksin BUMN karena terjadi perlambatan. Sementara negara butuh tambahan vaksin.
Kira-kira kapan rampung?
Praklinik butuh 3 bulan, uji klinik 1-3 bulan, itu 8 bulan. Sekitar 12 bulanlah. Kalau bisa mulai bulan ini ya Januari tahun depan baru dapat.
Target realistis awal 2023?
ADVERTISEMENT
Insyaallah, mudah-mudahan tidak mundur lagi.
Integrasi setback dunia riset Indonesia?
Saya tidak bilang gitu tapi banyak yang menilai kemunduran. Karena semua dikendalikan oleh organ yang sama. Dia yang riset, dia menentukan kebijakan, funding dari dia. Yang dikhawatirkan conflict of interest.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten