Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Prof Romli: UU Kedokteran Tidak Represif, IDI Jangan Main Pecat Terawan
4 April 2022 18:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita, angkat bicara terkait rekomendasi pemecatan eks Menteri Kesehatan Dr dr Terawan Agus Putranto oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI).
ADVERTISEMENT
Rekomendasi terkait kasus metode cuci otak untuk pasien stroke ala Terawan yang belum terbukti ilmiah dan juga tidak ada iktikad baik untuk mematuhi panggilan organsisasi untuk memberi penjelasan.
Rekomendasi pemecatan Terawan dibacakan pada Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh, Jumat (25/3).
Salah satu alasan munculnya rekomendasi itu, ungkap Prof Romli, karena upaya mengiklankan diri yang terlalu berlebihan.
"Dalam salah satu laporan IDI yang saya terima ini bentuknya laporan yayasan khusus IDI saya pelajari oleh mendengar rapat dengan DPR 9 April 2018 oleh Ketua MKEK Pusat dr Broto Wasisto salah satu adalah mengiklankan diri salah satu alasan mengapa dr Terawan itu bermasalah salah satunya adalah itu, mengiklankan diri terlalu berlebih-lebihan," kata Romli saat menghadiri rapat dengan Komisi IX DPR RI, Senin (4/4). Rapat ini dihadiri PB IDI yang dipimpin ketua umumnya, Adib Khumaidi.
Hanya saja, Romli menilai, hal itu sah-sah saja dilakukan dr Terawan. Terlebih, hal yang dilakukan Terawan menurutnya masih pada jalan yang sesuai dengan profilnya sebagai pekerja di bidang kesehatan.
ADVERTISEMENT
Romli menyebut, Undang-undang Kesehatan bukan merupakan aturan yang memiliki sifat mengekang atau represif seperti halnya aturan UU yang wajib dipatuhi.
"Tetapi setelah itu saya lihat, kok, ada fungsi pelayanan promosi itu, kemudian saya juga lihat bagaimana azas dan tujuan [UU] Kesehatan ini. Semua sudah baik cara pengaturannya karena sifatnya regulatif, UU Kesehatan ini bukan UU yang bersifat represif," ucap Romli.
KODEKI 2021
Hal itu telah diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia [KODEKI] tahun 2012 dalam Pasal 3 tentang kemandirian profesi pada cakupan pasal butir (2) poin c yang menyatakan bahwa setiap dokter dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Lima tindakan tersebut yakni dengan melibatkan diri, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan atau mengiklankan dirinya, barang, dan/atau jasa guna kepentingan dan keuntungan pribadinya, sejawat, maupun pihak lain kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Larangan pengiklanan ini kembali ditegaskan kembali KODEKI tahun 2012 di Pasal 4 tentang memuji diri yang berbunyi "bahwa setiap dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri".
Setiap dokter wajib mempertahankan profesionalisme dalam menginformasikan kualitas kompetensi dan kewenangan diri kepada sejawat profesi kesehatan dan/atau kepada publik.
Selain itu, dokter juga wajib menjamin bahwa setiap informasi yang disampaikan bersifat faktual dan terhindar dari segala niat dan upaya untuk menunjukkan kehebatan diri atau memuji diri melalui wahana/media publik, seperti pertemuan dengan khalayak, media massa, media elektronik, dan media komunikasi berteknologi canggih lainnya.
Tindakan yang tergolong ke dalam kegiatan memuji diri adalah mengiklankan kemampuan/kelebihan yang dimiliki seorang dokter baik secara lisan maupun tulisan, dalam berbagai wahana/media publik dalam dan luar negeri.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat berupa tulisan yang mengandung pernyataan superlatif, yang antara lain menyiratkan pengertian “satu-satunya ahli” atau makna yang serupa dengan pernyataan keunggulan, keunikan, atau kecanggihan pelayanan pribadi yang cenderung menyesatkan dan bersifat pamer. Sehingga dapat menimbulkan kesan yang keliru terhadap profesi.
Karenanya, Romli menekankan penting untuk tidak mengartikan sama aturan yang ada dalam UU Kedokteran dengan UU pidana.
"Ini bahasa orang hukum pidana bukan UU sifat yang menghukum regulatif ya, sehingga sebetulnya tidak boleh terjadi, ya, kalau pemikiran-pemikiran IDI bahwa ada pelanggaran hukum pidana gitu ya, karena yang hukum pelanggaran kedokteran itu hanya kepada mereka yang bukan dokter baru bisa dipidana, ya," ungkap Romli.
"Nah, itu, jadi yang baiknya ini jangan jadi bermasalah hanya gara-gara 1-2 orang ya. Jadi kita benar-benar harus melihat kembali apa yang tertulis dalam UU karena dudukan UU itu adalah sumber hukum kedua setelah UU dasar," lanjut Romli.
ADVERTISEMENT
Romli menegaskan pentingnya melihat aturan yang berlaku terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan menggunakannya untuk menilai tindakan seseorang melanggar peraturan tersebut atau tidak.
"Jadi kekuatan mengikatnya lebih dari peraturan-peraturan di bawah UU, sekalipun itu peraturan presiden peraturan pemerintah. Apalagi peraturan kode etik. Jadi orang hukum lihatnya lain, berbeda karena memang karakternya berbeda," kata Romli.
Sebelumnya MKEK - badan otonom yang bertugas menegakkan keluhuran profesi dokter - merekomendasikan pemberhentian permenan terhadap Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI dalam Muktamar IDI ke-31 yang digelar di Banda Aceh.
Ini bukan kali pertama MKEK menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Terawan. Pada 2018, Terawan juga direkomendasikan dipecat selama setahun, tapi rekomendasi ini belum dilaksanakan.