Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Profesor FH UGM: Gelar Guru Besar Kehormatan untuk Pejabat Publik Diskriminatif
15 Februari 2023 17:27 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Surat penolakan para dosen Universitas Gadjah Mada (UGM ) terkait pemberian gelar honorary professor atau Guru Besar Kehormatan kepada pejabat publik dan kelompok nonakademik mencuat ke publik.
ADVERTISEMENT
Ada sederet nama dosen yang mendukung penolakan itu. Mereka berasal dari berbagai fakultas di UGM. Salah satu di antaranya adalah Profesor Dr Sigit Riyanto, Guru Besar Fakultas Hukum UGM sekaligus Penasihat Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung RI.
Dalam tulisan yang dia bagikan kepada kumparan soal profesor kehormatan, Sigit menjelaskan bahwa jabatan profesor atau guru besar bagi dosen atau akademisi merupakan cita-cita. Motivasi penyemangat bertugas dan menjalani profesi.
Syarat menjabat profesor adalah menempuh pendidikan doktor atau S3. Butuh waktu puluhan tahun untuk bisa menduduki jabatan profesor. Mereka juga harus menghasilkan karya akademik Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
"Sesuai regulasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jabatan profesor dapat dicapai melalui dua cara. Melalui jalur akademik bagi dosen dan jalur lain bagi kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa," kata doktor dari Institute of International Studies, Jenewa, ini.
Sigit menjelaskan, jalur akademik merujuk Permendikbud No 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen.
ADVERTISEMENT
Jalur nonakademik tertuang di Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
Sebelumnya, pengangkatan profesor tidak tetap itu merujuk Permendikbud No. 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri.
Di dalam Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 dijelaskan kriteria untuk menjadi profesor, yaitu:
"Dalam beberapa tahun terakhir regulasi tentang dosen tidak tetap dan profesor kehormatan menjadi rujukan dan justifikasi pengangkatan profesor kehormatan yang nampaknya mulai dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia," kata ahli hukum internasional ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa interpretasi terhadap kaidah normatif dilakukan secara subjektif, sesuai kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya.
"Jika hal ini yang terjadi maka patut diduga ada upaya “transaksi jabatan akademik profesor” dengan mengabaikan norma, etika, dan standar mutu akademik yang sahih dan otentik. Suatu formalisasi dan rekognisi terhadap capaian akademik semu, tidak orisinal, dan tidak genuine," kata Sigit.
Dinilai Diskriminatif
Pengangkatan profesor kehormatan yang memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok merupakan hal diskriminatif. Mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan dan mengkhianati pengorbanan para dosen untuk menggapai guru besar.
Ini juga berpengaruh pada pandangan dosen terhadap profesinya. Integritasnya bisa tergerus karena tata kelolanya tak bisa diandalkan. Semangat pengabdian dan dedikasi pada profesi akan merosot.
ADVERTISEMENT
"Bagi otoritas perguruan tinggi, pengangkatan profesor kehormatan dapat menjadi ujian untuk bersikap antara intelektualitas dan pragmatisme atau private interest. Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab; pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran dan kemaslahatan," katanya.
Sigit menilai, apabila otoritas perguruan tinggi memihak pada kepentingan pragmatis maka kebenaran dan akal sehat akan tergadaikan. Tentu juga merendahkan martabat perguruan tinggi dan sivitas yang ada.
Pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, menurutnya justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem, dan tata kelola.
"Kebijakan otoritas perguruan tinggi yang didasari kepentingan pragmatis individu atau kelompok, sama saja menggadaikan etika dan standar akademik, bertentangan dengan karakter cendekiawan, bahkan membusukkan institusinya," katanya.
ADVERTISEMENT
"Implikasi lebih jauh adalah rusaknya tata kelola, menurunnya standar proses dan mutu akademik, sehingga perguruan tinggi makin tidak kompetitif, bahkan pendidikan dan pengembangan ilmu mengalami involusi karena rusaknya tradisi dan etos keilmuan. Mutu dan martabat perguruan tinggi di Indonesia dipertaruhkan," pungkas Sigit.
Surat Dosen Viral
Para dosen UGM bersama-sama menolak pemberian gelar Honorary Professor atau Guru Besar Kehormatan kepada individu yang berasal dari sektor nonakademik ataupun pejabat publik.
Penolakan itu tertuang dalam sebuah surat yang ditulis pada 22 Desember 2022. Surat ditujukan kepada Rektor UGM. Surat tersebut ramai dibahas setelah viral di Twitter baru-baru ini.
Berikut surat lengkap yang ditulis oleh para dosen UGM: