Profil Buya Syafii, Cendekiawan Muhammadiyah yang Kritis dan Sederhana

27 Mei 2022 11:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buya Syafii saat menghadiri diskusi "Menjaga KPK, Mengawal Seleksi Pimpinan KPK" di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/8). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Buya Syafii saat menghadiri diskusi "Menjaga KPK, Mengawal Seleksi Pimpinan KPK" di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/8). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafii, wafat pada usia 86 tahun. Buya meninggal dunia pada Jumat (27/5) pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, DIY.
ADVERTISEMENT
Selama ini, Buya dikenal sebagai ulama dan cendekiawan Indonesia. Ia juga dikenal sebagai sosok yang kritis pada pemerintah meski Buya berhubungan baik dengan Presiden Jokowi. Bahkan, Jokowi sempat menjenguk buya pada 26 Maret 2022 lalu.

Lahir di Sumatera Barat

Buya lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Ia merupakan akan dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fatiyah.
Buya masuk Sekolah Rakyat [setingkat SD] di Sumpur Kudus pada 1942. Selepas sekolah, Buya belajar agama di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah dan belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempatnya tinggal.
Pendidikan SR yang harusnya ditempuh selama 6 tahun dapat Buya selesaikan selama 5 tahun. Meski tamat, Buya tidak memperoleh ijazah karena perang revolusi kemerdekaan. Ia juga tidak dapat langsung meneruskan sekolah selama beberapa tahun karena beban ekonomi. Buya baru melanjutkan sekolah pada 1950 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Buya Syafii saat dijumpai wartawan. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Merantau ke Yogyakarta

Buya berusia 18 tahun ketika memutuskan merantau ke Jawa bersama 2 adik sepupunya, Azra'i dan Suward. Di Yogyakarta, Buya tidak bisa meneruskan sekolah karena pihak sekolah menolak menerimanya dengan alasan kelas sudah penuh.
ADVERTISEMENT
Buya sempat mengajar sebagai guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tetapi tidak lama. Buya akhirnya bisa mendaftar sekolah dan diterima, dengan syarat harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga.
Selama bersekolah di Yogyakarta, Buya aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (dibawahi Lembaga Pers Mu'allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Presiden Joko Widodo menjenguk mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii di rumahnya di Nogotirto, Gamping, Kabupaten Sleman, Sabtu (26/3/2022). Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Setelah tamat pada 1956, Buya memutuskan tidak melanjutkan sekolah karena masalah biaya. Di usia 21 tahun, Buya berangkat ke Lombok untuk memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah untuk menjadi guru. Buya mengajar selama setahun di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading.
Usai mengajar, Buya kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikan di Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada 1964. Buya kemudian melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP [sekarang Universitas Negeri Yogyakarta].
ADVERTISEMENT
Selain itu, Buya sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Buya Syafii Maarif, Mantan Ketum PP Muhammadiyah. Foto: Antara/Puspa Perwitasari

Master dan Doktor dari AS

Buya yang pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam kemudian menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti program rogram Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS.
Gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Usai menamatkan pendidikannya di luar negeri, Buya sering mengajar sebagai dosen maupun diundang sebagai profesor tamu di berbagai universitas. Pada 1995, ia ditunjuk menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pada 1998-2005, Buya ditunjuk menjadi Ketua PP Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT

Menolak Jabatan Wantimpres

Pada 2015, Presiden Jokowi pernah menawarkan posisi Dewan Pertimbangan Presiden. Namun, Buya menolaknya karena memilih independen. Meski demikian, Buya menyatakan kesediaannya menjadi Ketua Tim Independen untuk mengatasi konflik Polri-KPK pada 2015 lalu.
Cendekiawan Indonesia yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii di Nogotirto, Gamping, Sleman, Jumat (25/2/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Selain dikenal karena kebijaksanaannya, Buya juga dikenal sebagai sosok sederhana. Kisah-kisah kesederhanannya mudah dicari saat dia naik sepeda untuk mengajar atau ke pasar. Begitu juga saat viral fotonya menunggu kereta di Stasiun Tebet hendak menghadiri acara di Bogor.
Selamat jalan, Buya!