Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Profil Dokter Rubini, Pejuang Kemanusiaan yang Jadi Pahlawan Nasional
3 November 2022 18:59 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Dokter Rubini menjadi salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang bakal dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintahan RI. Sebelumnya, dokter Rubini dikenal sebagai figur pembela perempuan dan anak di Kalimantan Barat saat zaman penjajahan Jepang.
ADVERTISEMENT
Raden Rubini Natawisastra merupakan seorang pria kelahiran Bandung pada 31 Agustus 1906. Beliau menyelesaikan masa pendidikannya di sekolah kedokteran Stovia dan resmi menyandang gelar sebagai seorang dokter pada tahun 1930.
Setelah lulus, Rubini pun mengabdikan dirinya sebagai tenaga kesehatan di Jakarta hingga tahun 1934. Namun, Rubini dipindah tugaskan ke Kalimantan Barat dan ditugaskan sebagai Kepala Kesehatan Pontianak.
Dokter Rubini mempunyai seorang istri yang bernama Amalia dan dikaruniai 5 orang putri, yaitu: Rubinneta, Aminetty, Marlina, Martini, Maryetty.
Selama bertugas di Pontianak, Rubini dikenal sebagai dokter yang rendah hati dan tanpa pamrih. Ia jadi seorang dokter yang berusaha menyejahterakan dan memberikan perlindungan terhadap ibu dan anak. Itu terlihat dalam aksi kemanusiaannya yang kerap berkeliling mengunjungi desa-desa terpencil untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat.
Rubini ingin menurunkan angka kematian ibu dan anak yang kerap terjadi pada proses melahirkan yang kerap terjadi pada praktik-praktik dukun beranak.
ADVERTISEMENT
Disela-sela kesibukannya, Rubini masih meluangkan waktu untuk membentuk kelompok para cendikiawan di Kota Pontianak sebagai wadah memupuk jiwa patriotisme dan nasionalisme.
Selain itu, Rubini juga turut aktif berpartipasi dalam gerakan kebangsangaan melalui Partai Indonesia raya (Parindra). Partai itu bergerak pada bidang kemajuan masyarakat, seperti mendirikan sekolah, grup olahraga, grup kesenian, dan kursus politik.
Namun pada tahun 1941, menjelang berkobarnya tentara Jepang, pemerintahan Belanda mengevakuasi pejabat Belanda, tokoh penting dan masyarakat yang dianggap berdampak, termasuk Rubini.
Tapi, karena kecintaan Rubini terhadap Kalimantan Barat dan pengabdiannya, Rubini memlih untuk tetap tinggal dan tidak dievakuasi. Sebab, di tahun itu juga sudah mulai terjadi pengeboman di Kalimantan Barat. Jadi, Rubini memilih untuk tetap tinggal dan merawat korban pengeboman.
Hingga pada tahun 1942, terjadi peralihan Belanda ke Jepang. Maka, Jepang kemudian melakukan siasat licik dengan hanya menyisakan 3 dokter di luar pontianak, yaitu Sintang, Sanggau dan Ketapang. Hal itu dulu dilakukan Jepang, agar masyarakat awam terpisahkan dari cendikiawan-cendikiawan dan pemuka masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Jepang kala itu membuat keadaan sangat rumit, bahkan organisasi dan partai-partai yang sudah terbentuk kian dibubarkan. Namun, Rubini dengan cerdik justru malah berpura-pura bekerja-sama dengan Jepang agar organisasi politik binaannya tidak terbongkar.
Di sisi lain, Rubini menerima laporan perbuatan kejam tentara-tentara Jepang yang justru malah memperkosa dan menyiksa perempuan dan anak-anak di Kalbar. Rubini pun turut melakukan perawatan terhadap masyarakat korban kekerasan tersebut, baik di rumah sakit maupun rumah praktik miliknya.
Hal itulah yang menbuatnya bertekad untuk melawan penindasan yang dilakukan Jepang. Namun, nahasnya, upaya aksi perlawanan yang disiapkan Rubini diketahui oleh mata-mata Jepang. Hingga akhirnya, Rubini pun tertangkap pada tahun 1944 dan dieksekusi.
Reporter: Tri Vosa Ginting