Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Dunia sastra Indonesia kehilangan salah satu pujangga terbaiknya, Sapardi Djoko Damono. Setelah berpuluh-puluh tahun berkarya, Sapardi harus menutup kisahnya di usia 80 tahun di RS Eka, BSD, Tangerang, Minggu (19/7) pagi.
ADVERTISEMENT
Sapardi lahir sebelum Indonesia merdeka. Saat itu, 20 Maret 1940, dua bulan menjelang Perang Dunia II meletus, Sapardi lahir di rumah kakeknya yang merupakan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta dan pembuat wayang kulit.
Lahir di era perang, membuat masa kecil Sapardi cukup sulit. Ayahnya, Sadyoko, harus pergi dari satu desa ke desa lain untuk menghindar dari tentara Belanda. Saat itu, Belanda memang gencar menangkap para pemuda, meski bukan pejuang.
Untuk bisa menghidupi keluarganya, ibu Sapardi, Sapariah, harus berjualan buku. Dengan kondisi keuangan yang sulit, Sapardi harus puas makan bubur sehari dua kali setiap hari.
Pada tahun 1943, kekuasaan Belanda runtuh. Indonesia saat itu jatuh ke tangan Jepang. Sadyoko lalu memutuskan memboyong keluarga kecilnya ke Kampung Dhawung.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ibu Sapardi hampir direkrut menjadi anggota Fujinkai, atau barisan tentara perempuan. Beruntung, ia bisa lolos karena tengah mengandung adik Sapardi, Soetjipto.
Setelah Jepang kalah dan meninggalkan Indonesia, tahun 1945, keluarga Sapardi pindah ke rumah orang tua Sapariah di Ngadijayan. Sayang, rumah tersebut rupanya digadaikan oleh kakek Sapardi tanpa sepengetahuan keluarganya.
Tahun 1957, setelah rumah kakeknya dijual dengan harga murah --karena tidak bisa menebus uang gadai-- Sapardi pindah ke Kampung Kompang yang sangat sepi dan belum terjamah listrik. Suasana baru yang sepi dan 'aneh' itulah yang awalnya membuat Sapardi nmenikmati kesendirian dan mulai belajar menulis.
Kegemarannya menulis itu semakin jelas ketika ia memutuskan menempuh pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Setamat dari UGM, ia melanjutkan studi di Universitas Hawaii, Honolulu tahun 1970, dan melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Indonesia di tahun 1980-an.
Awal Karier Sapardi Djoko Damono
Sapardi sebenarnya merupakan seniman sejati yang serba bisa. Dari kakeknya, Sapardi mewarisi keahlian memainkan wayang kulit.
ADVERTISEMENT
Saat SMA, ia juga berteman dengan pelukis Jeihan Sukmantoro. Dari pertemanan itulah, Sapardi kerap membuat karya lukis yang sempat dilelang untuk acara amal.
Selain itu, Sapardi juga aktif di dunia teater. Berbagai lakon pernah ia jalani saat masih bergabung dengan Teater Rendra pimpinan W.S Rendra. Sapardi juga pernah menjadi sutradara yang menggarap 'Petang di Taman' karya Iwan Simatupang.
Tak cukup di situ, Sapardi juga merupakan gitaris andal. Saat masih kuliah, Sapardi kerap membawa gitarnya.
Namun di antara semua keahliannya, Sapardi lebih banyak dikenal sebagai seorang sastrawan. Karya-karyanya dikenal sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Sajak-sajak Sapadi, dekat dengan Tuhan dan Kematian.
Sejak tahun 1969, karya-karya Sapardi sudah diterbitkan dan dicetak dalam berbagai bahasa. Tak hanya itu, Sapardi juga rajin menerjemahkan karya penulis asing, sebut saja 'Sepilihan Sajak' karya George Seferis atau 'Lelaki Tua dan Laut' karya Ernest Hemingway.
ADVERTISEMENT
Sapardi dan kecintaannya kepada sastra adalah hal mutlak. Hingga akhir hayatnya, Sapardi masih aktif menghasilkan karya sastra dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta.
Seperti penggalan 'Yang Fana adalah Waktu' dari trilogi 'Hujan di Bulan Juni', Sapardi mungkin sudah pergi meninggalkan dunia fana. Namun, karya-karyanya dan kontribusinya bagi dunia sastra Indonesia akan tetap abadi.
Selamat jalan sang maestro, Sapardi Djoko Damono.
**
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
**
Saksikan video menarik di bawah ini.