
Prostitusi di IKN: Menelusuri Praktik Open BO yang Diduga Terorganisir
14 Juli 2025 19:25 WIB
·
waktu baca 11 menit
Prostitusi di IKN: Menelusuri Praktik Open BO yang Diduga Terorganisir
IKN dijamah gelombang prostitusi meski pembangunannya belum jadi. Warga resah dengan masalah sosial baru ini. Seberapa parah prostitusi di IKN? Berapa banyak PSK yang bermigrasi ke IKN? #kumparanNEWSkumparanNEWS
Belum juga jadi ibu kota, IKN sudah lebih dulu dijamah para PSK. Masalah sosial yang menyeruak ini pun bikin warga setempat resah. Seberapa parah prostitusi di IKN?
***
Saya mengetuk kamar nomor 06. Penghuninya membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Suasana remang menyambut. Aroma Stella bercampur wangi body lotion Marina menusuk hidung.
Setelah membuka sepatu, saya duduk di kursi sender besi, berjarak beberapa siku dengan Bunga yang duduk di pinggiran spring bed berukuran 180x200 cm.
Bunga membuka dengan obrolan basa-basi. Ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, lalu bertanya, “Sudah lama di sini (kawasan IKN)?” tanyanya.
Saya menyambut salam itu, menjawab pertanyaannya, dan menyebutkan nama. Namun, sebelum perkenalan basa-basi berlanjut jauh, saya memotong dan menjelaskan maksud saya memesan jasanya.
“Sebenarnya mau ngobrol-ngobrol saja,” kata saya kepada Bunga, Kamis (10/7).
Bunga (bukan nama sesungguhnya) adalah perempuan yang menawarkan jasa prostitusi—yang kini dikenal dengan istilah open BO (booking order)—di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ia menjajakan jasa di sebuah kos petakan bernama Natasha Guest House yang berlokasi di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Sepaku ialah kecamatan tempat berdirinya inti IKN. Jaraknya hanya 5 kilometer lebih dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Nusantara (KIPP IKN).
Saya dan Bunga berjumpa lewat aplikasi jejaring sosial MiChat—yang oleh warga Sepaku disebut aplikasi hijau karena warna logonya yang hijau. MiChat menjadi salah satu wadah yang digunakan pekerja seks komersial (PSK) dan penggunanya untuk melakukan tawar-menawar harga.
Platform tersebut sama seperti layanan aplikasi obrolan pada umumnya. Di sana PSK sebagai penyedia jasa dapat mematok harga, mendetailkan jasa, mencantumkan syarat dan ketentuan, serta menetapkan durasi layanan. Sementara pelanggan bisa memilih sesuai selera. Jadi, baik penyedia jasa maupun pelanggan sama-sama bebas menentukan pilihan.
Proses tawar-menawar dan pilah-pilih itu juga yang terjadi sebelum pertemuan saya dan Bunga. Ada belasan akun yang menawarkan jasa serupa melalui pesan di akun MiChat saya. Tawarannya beragam, dari yang mengaku berusia 20-an tahun hingga 30-an lebih. Harga yang diajukan juga macam-macam, dari Rp 300 ribu sampai Rp 700 ribu sekali layanan.
Bunga mulanya mengajukan harga Rp 400 ribu untuk durasi short time. Lewat pesan daring, ia menuliskan, “Redyy kk St 400 1x main Ful Servis Main Santay.”
Angka itu bisa ditawar menjadi Rp 300 ribu. Saya lalu mendatangi kamar 06 tempat Bunga tinggal.
Bunga mengatakan, ia pendatang baru di kawasan IKN. Benar-benar baru. Saat kami bertemu, Kamis 10 Juli 2025, Bunga baru tiga hari datang. Dari tiga hari itu, dua hari ia menginap di kamar 06 Natasha Guest House, sedangkan sehari lainnya di kosan berbeda.
“Di situ (kosan sebelumnya) katanya enggak dibolehin one stay begini. Menerima tamu dari luar enggak boleh,” ujarnya.
Bunga datang ke IKN karena ajakan teman untuk “berlibur”. Ia lantas memanfaatkan kepergiannya ke IKN untuk open BO, ibarat sambil menyelam minum air. Bunga berhitung, hasilnya bisa untuk menutupi ongkos menginap di kos seharga Rp300 ribu per malam.
“Aku enggak bawa apa-apa. Baju beli di sini. Koper aja enggak ada. Cuma bawa tas untuk [makeup] ini aja,” kata Bunga.
Ia menambahkan, “Aku biasanya pakai koper kalau bawa baju banyak. Koper aku yang ukuran 24 inch. Ini [nggak dibawa] karena niatnya pengen liburan dua pekan aja.”
Kamar kos Bunga berisi perabot dasar. Selain spring bed, meja, dan kursi sender besi, ada nakas di ujung kasur, juga jemuran kecil untuk menggantung daster dan handuk di sudut depan toilet. Tak ada lemari.
Di atas meja berserakan produk perawatan tubuh dan peralatan rias sederhana. Ada body lotion, vitamin rambut, pengering rambut, dan catokan.
Tak ada alat-alat masak di kamar seluas 3x4 meter itu. Bunga hanya menaruh empat buah Pop Mie di atas kardus kecil yang ada di meja.
Setidaknya, AC dan spring bed berdipan membuat kamar Bunga terasa cukup lengkap.
Bunga sudah dua tahun melakoni praktik prostitusi. Ia sebelumnya open BO di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Di sana, ia menetap dan menjajakan jasa kepada pekerja perkebunan sawit dan pekerja tambang.
Kini, kendati baru tiga hari di Sepaku, Bunga sudah menerima 10 lebih tamu. Hari sebelumnya saja, ia melayani empat pelanggan dari malam sampai dini hari. Para pelanggan itu bergantian berdatangan sejak pukul 20.00 sampai 02.00 pagi. Mereka kebanyakan pekerja proyek yang bertugas di siang hari.
Itu sebabnya, saat orderan sepi di siang hari, Bunga tidur dan beristirahat. Sesekali ia keluar kamar untuk membuang sampah atau mengambil pesanan makanan online. Tapi ia tak berinteraksi dengan penghuni lain maupun masyarakat setempat.
Alhasil, Bunga menghabiskan waktu hampir 24 jam di dalam kamar. Ia punya teman seprofesi yang juga sempat nangkring di kawasan IKN, tapi sekarang bergeser ke Tarakan, Kalimantan Utara.
Bunga sendiri datang ke kawasan IKN karena penasaran dengan cerita temannya soal peluang baru di Sepaku.
Bunga menawarkan berbagai layanan kepada calon pelanggannya, dari sekali main sampai berjam-jam. Layanan yang paling banyak dipesan adalah short time 15–20 menit dengan tarif Rp 300–400 ribu. Tarif dan sistem penawaran ini sama seperti yang ia terapkan di Wahau.
Walau sama-sama menggunakan aplikasi hijau, Bunga belum bisa membandingkan jumlah orderan antara di kawasan IKN dan Wahau. Sampai hari ketiga di Sepaku, jumlah orderan yang ia dapat per malam tak jauh beda, antara 4 sampai 5 pelanggan.
“Sama aja sih kayak di Wahau,” kata Bunga.
Hitungan ramai bagi Bunga adalah 10 pelanggan lebih dalam satu malam. Sementara paling sepi ialah ketika hanya 1–2 pengunjung semalam.
Bunga bukannya tak tahu risiko melakoni praktik open BO di kawasan IKN. Ia juga mengerti aktivitasnya akan menjadi sorotan. Ia, misalnya, bisa dirazia kapan saja. Bunga juga membaca berita soal isu prostitusi yang menggeliat bersama pembangunan kawasan ibu kota baru.
“Razia itu sudah risiko. Kalau emang enggak berani, ngapain open BO,” ujarnya.
Bunga belum pernah terjaring razia, dan bila nasib apes itu datang, Bunga tak akan melawan. Ia tak khawatir karena tak terlibat obat-obatan terlarang.
“Kenapa aku enggak takut? Satu sebab aja: karena aku enggak narkoba,” kata Bunga.
Risiko lain yang sudah diperhitungkan Bunga adalah penyakit menular. Ia berusaha meminimalisasi potensi tersebut dengan mewajibkan pelanggannya menggunakan pengaman.
“Wajib [pakai] kondom,” kata Bunga, tak menoleransi pelanggannya yang tak mau menggunakan pengaman.
“Kalau enggak pakai kondom, cancel,” tegas Bunga sambil menunjukkan laci meja tempat ia menyimpan kondom.
Selain soal razia dan penyakit menular seksual, pelanggan resek juga jadi ancaman. Sejauh ini, Bunga belum pernah mendapat tamu yang kasar dan membahayakan keselamatannya. Paling banter, pelanggannya dalam pengaruh minuman keras.
“Tamuku, alhamdulillah, enggak pernah cerewet-cerewet,” ujarnya.
Bunga kelahiran 1996 dan belum menikah. Kawasan ibu kota baru yang terus didatangi pekerja memberinya peluang untuk mendapat tamu lebih banyak. Tapi Bunga tak berniat menetap lama. Ia merasa lebih aman dan tenang di Wahau.
“Di Wahau, walaupun di hotel, tapi sudah kayak di rumah sendiri,” ujarnya.
Ia merasa pekerjaannya tergolong berat dan berisiko sehingga kadang menemui titik jenuh.
“Capek, gitu. Makanya [pengen] cepat-cepat keluar aja sih dari zona ini. Pengen pulang kampung, enggak terus-terusan [jadi PSK],” kata dia.
Bunga hanya satu dari sekian banyak PSK di kawasan IKN. Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Penajam Paser Utara mencatat, setidaknya ada 93 penjaja seks di Sepaku per 10 Juli 2025. Mereka tersebar di beberapa penginapan atau guest house, hotel, dan kosan di Sepaku.
Jumlah PSK di Sepaku berbanding lurus dengan tingginya permintaan, baik dari pekerja proyek maupun dugaan dari kalangan ASN yang bertugas di IKN.
Untuk mengecek dugaan itu, wartawan kumparan menyaru dengan membuat akun MiChat sebagai penyedia jasa. Dalam sekejap, akun tersebut diserbu pengunjung. Bahkan, saat aplikasi diaktifkan di kawasan inti IKN, tepatnya di kantor Otorita IKN, calon pelanggan langsung menyambar akun itu. Salah satunya mengaku sebagai ASN.
Orang yang mengaku ASN itu mengatakan, ia membutuhkan jasa prostitusi karena kesepian dan jauh dari keluarga. Selain itu, menurutnya, cutinya minim dan hiburan di IKN terbatas.
“Wajar kan, Kak [kalau saya cari hiburan],” begitu kata orang yang mengaku ASN itu lewat obrolan daring, Jumat (11/7).
Temuan penelusuran di atas membuktikan bahwa praktik prostitusi di sekitar IKN masih berjalan. Ini berkebalikan dengan ucapan Kepala Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono yang menyebut isu prostitusi online di IKN merupakan informasi lama—hasil penggeledahan pada bulan Ramadan—yang didaur ulang.
“Kalau di IKN-nya enggak. Itu di daerah Sepaku,” kata Basuki, Selasa (8/7), membantah praktik prostitusi terjadi di dalam kawasan IKN.
Namun sesungguhnya Sepaku juga bagian dari IKN, sebab IKN berdiri di atas tanah yang awalnya masuk wilayah Sepaku. Jarak Sepaku dengan inti IKN hanya 5 kilometer atau sekitar 10 menit berkendara.
Praktik Prostitusi Diduga Terorganisasi
Bisnis prostitusi diduga tumbuh bersamaan dengan ramainya Sepaku oleh pekerja proyek di IKN. Sebetulnya, prostitusi sudah ada di wilayah itu sejak sebelum pembangunan IKN, namun dulu tidak masif, hanya ada di kafe-kafe pangku (warung kopi yang menyediakan layanan seks); tidak seperti sekarang ketika PSK ada di tengah warga dengan tinggal di kosan atau penginapan.
Diduga ada pergerakan terorganisir di balik gelombang kedatangan PSK ke IKN. Dugaan ini disebut sejalan dengan temuan Satpol PP PPU bahwa para pekerja seks tersebut mayoritas berasal dari luar Penajam Paser Utara.
Seorang sumber yang berkecimpung di industri penyewaan penginapan di PPU menyaksikan beberapa kali kendaraan berpelat selain KT (Kalimantan Timur) mengedrop 3–4 perempuan di penginapan yang kamarnya mereka sewa untuk beberapa hari. Selang dua atau tiga hari, mereka pindah (check out).
Sumber tersebut bercerita, cara mereka menyewa tempat cenderung templat. Mereka selalu mencari penginapan yang kamarnya bisa digunakan untuk menerima tamu. Bila penginapan tersebut menerapkan aturan bahwa tamu hanya bisa diterima di luar kamar, maka mereka akan mencari tempat lain.
“Mobil mereka itu sampai bisa ditandain meskipun mereka ganti jadi KT (pelat Kalimantan Timur),” kata sumber itu.
Temuan lain yang mengindikasikan praktik prostitusi terorganisir adalah saat proses booking melalui satu akun tertentu di MiChat. Menurut seorang petugas pengamanan PPU yang bertugas di Sepaku, akun tersebut akan mengarahkan pelanggan ke kamar yang sedang kosong tamu. Jadi, akun itu bertindak bak muncikari yang mengatur masuk-keluarnya tamu.
Salah satu tanda yang menguatkan kecurigaan tersebut adalah ketika foto yang diperlihatkan saat booking ternyata tak sesuai dengan aslinya. Ini pula yang saya alami ketika mendatangi kamar Bunga. Perawakan Bunga ternyata berbeda dengan foto yang dikirim melalui pesan MiChat.
Dugaan praktik prostitusi yang terorganisir itu diperkuat dengan hasil penggerebekan Satpol PP Penajam Paser Utara bersama aparat berwenang lain. Razia yang dilakukan sejak awal 2025 itu berhasil menangkap salah satu germo.
“Kami menemukan salah seorang maminya itu dari Kalimantan Selatan,” kata Kepala Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum Satpol PP PPU Rakhmadi kepada kumparan di kantornya, Kamis (10/7).
“Kami menemukan informasi bahwa yang kami amankan ini ada juga yang semacam terorganisir, [tapi] ada yang mandiri,” imbuhnya.
Warga Terganggu dengan Prostitusi di Depan Mata
Nurbaya, warga Bumi Harapan, muak menyaksikan praktik prostitusi dilakukan terang-terangan di lingkungannya. Tak ada lagi yang ditutupi. Pelanggan mendatangi kamar penjaja seks di kosan atau penginapan tak kenal situasi.
“Mereka bukan lagi diam-diam … Kalau diperhatikan kayak lebih terbuka, bebas,” jelas Nurbaya kepada kumparan, Jumat (11/7).
Ia sudah hafal tipe orang yang mendatangi kamar perempuan open BO. Mereka akan lebih dulu memastikan alamat dan memotret penginapan, lalu bergegas turun dari kendaraan menuju pintu kamar.
Pelanggan yang datang dengan mobil akan di-drop di depan penginapan, lalu setelah beberapa menit dijemput kembali. Maka, sepanjang malam hingga dini hari, Nurbaya selalu diganggu bising kendaraan para pelanggan yang ramai lalu-lalang di depan rumahnya. Mereka bergantian masuk dan keluar kamar.
“Ada yang masih pakai sepatu [bot] kuning,” kata warga lain menimpali Nurbaya, merujuk ke jenis sepatu yang umum dipakai para pekerja proyek.
Nurbaya khawatir praktik prostitusi bakal makin mencemari kampungnya dan membawa pengaruh buruk ke anak-anaknya, termasuk ancaman penyakit menular seksual.
“Moral anak-anak kita nanti ke depannya [bagaimana] melihat itu, karena kan pasti [terpengaruh],” ujar Nurbaya.
Nurbaya yang mempunyai penginapan di Bumi Harapan juga marah karena penginapannya beberapa kali dicatut sebagai titik lokasi open BO. Padahal guest house miliknya berstatus syariah.
Guest house Nurbaya berdiri sejak awal IKN dibangun dan terdaftar lebih dulu di Google Maps, sedangkan beberapa penginapan lain yang kemudian menjadi lokasi prostitusi dibangun belakangan dan tak langsung dicantumkan di Maps. Alhasil, titik lokasi guest house Nurbaya dijadikan patokan open BO.
Nurbaya pun murka.
“[Guest house saya] jadinya di mata orang agak jelek,” ujarnya.
Menurut Nurbaya, praktik prostitusi kemungkinan sudah ada sebelum pembangunan IKN. Namun rencana pemindahan ibu kota memantik pendatang, termasuk PSK dari luar Kalimantan Timur.
Sosiolog UGM Derajad Sulistyo Widhyharto menilai, fenomena prostitusi di kawasan IKN merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari pemindahan ibu kota. Perpindahan tersebut akan mengundang migrasi warga untuk mencari penghidupan lebih layak. Fenomena itu juga terjadi pada awal penetapan Jakarta sebagai ibu kota.
Derajad menganalogikan ‘ada gula, ada semut’. Warga maupun pekerja ramai pindah ke ibu kota baru sehingga terciptakan kebutuhan yang tinggi di sana.
“Salah satu demand itu adalah soal hasrat seks,” ujar Derajad.
Namun Derajad optimistis masalah prostitusi akan mengalami penyesuaian, salah satunya praktik open BO—yang ia sebut sebagai cara underground alias informal—bakal tergantikan dengan tenaga yang lebih profesional.
“Tentu saja nanti ada seleksi alam,” kata Derajad.
Sementara Nurbaya berharap pembangunan IKN tetap menjaga ketenteraman Sepaku. Sejauh ini, dampak positif terhadap perekonomian warga sudah terasa. Namun, imbuhnya, dampak negatif juga banyak.
“Meskipun sekarang sudah menjadi IKN, Sepaku sama-sama kita jaga supaya tetap seperti dulu: aman, damai, dan tenteram,” tutup Nurbaya.