PSHK Tolak Wacana Jokowi Cawapres: Tiga Periode Harus Dikritisi!

14 September 2022 15:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Wacana presiden 3 periode kembali muncul setelah juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menyatakan presiden yang sudah menjabat selama periode bisa menjadi cawapres untuk periode berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Jubir MK itu kemudian direspons oleh Ketua Bappilu DPP PDIP Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) yang menyatakan kemungkinan Jokowi kembali maju sebagai cawapres memang ada, asalkan didukung oleh parpol.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengecam pernyataan Jubir MK yang dinilai dapat membuka keran otoritarianisme dan menciderai nilai-nilai demokrasi.
"Publik perlu mengecam pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono yang menyatakan bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya. Selain melampaui mandat jabatannya sebagai Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, pernyataan itu berpeluang membuka keran otoritarianisme dan menciderai nilai-nilai demokrasi," kata PSHK dalam keterangannya, Rabu (14/9).
Pembatasan masa jabatan presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi, 'Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan'. PSHK menilai, muatan Pasal 7 UUD 1945 memang bisa mengundang perdebatan.
ADVERTISEMENT
"Namun, sejarah dan semangat perumusan pasal ini adalah untuk membatasi masa jabatan agar sirkulasi kepemimpinan nasional berjalan dengan baik. Sejarah Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah menunjukkan bahwa bermain-main dengan masa jabatan presiden telah melahirkan pemerintahan otoritarianisme yang menyangkal pemenuhan hak-hak dasar, baik kesejahteraan maupun hak-hak sipil," jelasnya.
PSHK menyayangkan Jubir MK yang mengeluarkan pernyataan keluar dari fungsi dan kewenangan MK. Sebab, MK harus dapat menjaga marwah dan konstitusi dengan bertindak sesuai koridor regulasi, menjunjung etika, melandaskan segala tindakannya pada prinsip dan nilai demokrasi serta menjunjung HAM.
"Mahkamah Konstitusi (MK) dan pihak mana pun seharusnya berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan terkait gagasan tiga periode pada jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Sepatutnya, semua elemen di MK bersifat pasif terhadap situasi politik yang terjadi dan bukan hanya berlaku bagi hakim konstitusi untuk tidak berkomentar di luar persidangan, namun juga untuk MK secara kelembagaan," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, PSHK meminta Jokowi sebagai presiden menyatakan dengan tegas bahwa masa jabatan dua periode sudah final dan tidak ada tafsir lain. PSHK menilai ketidaktegasan Jokowi menolak wacana tiga periode berkontribusi pada timbul tenggelamnya wacana ini di publik.
"Pernyataan bahwa wacana tiga periode merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat amat patut dikritisi oleh berbagai pihak. Begitu banyak hal lain yang merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat, namun mendapat tindakan keras dari aparat," ungkapnya.
PSHK menegaskan baik presiden dan pejabat negara harus tegas menolak wacana tiga periode. Supaya isu tersebut tidak berlarut-larut dan ruangnya tertutup karena tahapan pemilu oleh KPU sudah dijalankan.
Atas dasar itu, PSHK menyampaikan tiga desakan kepada Jokowi, elite politik, dan pemerintah:
ADVERTISEMENT