Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
PSHK UII Kritik Revisi Tatib DPR: Akrobat Politik, Harus Segera Dicabut
6 Februari 2025 9:48 WIB
ยท
waktu baca 3 menit![Ruangan DPR RI. Foto: Helmi Afandi/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1581419123/av3ebcwzxw0hzgca2cmm.jpg)
ADVERTISEMENT
DPR mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib atau tatib.
ADVERTISEMENT
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menjelaskan terdapat kewenangan tambahan yang kontroversial yakni Pasal 228 A Revisi Peraturan DPR tentang Tatib pada ayat (1) dan ayat (2).
Peneliti PSHK FH UII Yuniar Riza Hakiki menilai ini secara tidak langsung memberikan kewenangan tambahan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala seperti mencopot pejabat.
ADVERTISEMENT
"Yang tidak mustahil berujung pada pencopotan atau pemberhentian kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga hakim Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan, disetujui atau diberikan pertimbangan oleh DPR," kata Yuniar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/2).
Dia menjelaskan kewenangan tambahan tersebut jelas merupakan kegagalan DPR dalam memahami sistem ketatanegaraan di Indonesia. Fungsi pengawasan DPR cukup dengan mekanisme check and balances yang selama ini dilakukan melalui rapat dengar pendapat dan sejenisnya.
Lanjutnya DPR diatur dalam konstitusi dan undang-undang menjadi salah satu lembaga yang hanya mengajukan, menyetujui dan memberikan pertimbangan kepada calon pejabat independen tertentu. Kewenangannya telah dibatasi dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
"Bukan untuk mengevaluasi atau bahkan mencopotnya (excessive authority of legislative basic function)," katanya.
Maka dari itu apa yang terjadi saat ini adalah abuse of power yang inkonstitusional.
"Penambahan kewenangan DPR dalam mencopot pejabat lembaga negara yang muncul dalam Revisi Peraturan DPR tentang Tatib merupakan pelampauan kewenangan atau bahkan abuse of power yang inkonstitusional," katanya.
Lanjutnya lembaga negara seperti KPK, KPU, hingga hakim MA maupun MK telah memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi.
Maka penambahan kewenangan DPR mencopot pejabat lembaga negara salah kaprah, karena mengabaikan prinsip pembatasan kekuasaan, konstitusi dan beberapa undang-undang terkait DPR maupun lembaga negara tersebut.
"Logika DPR dalam mengatur evaluasi berkala calon pejabat negara yang telah ditetapkan adalah sesat. karena seolah menyepadankan dengan konsep pergantian antar waktu (recall) anggota legislatif yang identik dengan jabatan politik. Sedangkan pejabat negara yang proses seleksinya melalui DPR seperti Pimpinan KPK, Komisioner KPU, Bawaslu, Hakim Agung, Hakim Konstitusi sejatinya bukanlah pejabat politik," katanya.
ADVERTISEMENT
Menurut Yuniar, Tatib seharusnya juga peraturan internal yang tak mengikat keluar. Penambahan kewenangan ini juga kental nuansa kepentingan politik.
"Ingin mengatur, mengendalikan bahkan dapat membungkam dan menelanjangi lembaga negara melalui upaya sentralisasi penyelenggaraan negara hanya melalui jalur politik praktis (politization of state bodies), sehingga telah mengukuhkan DPR sebagi legislative heavy, lembaga super power, yang sangat rentan akan perilaku-perilaku koruptif," ujar Yuniar.
Terkait hal ini PSHK FH UII merekomendasikan:
ADVERTISEMENT