Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Psikiater: 18,5 Persen Pejudi Online di Indonesia Tak Merasa Kecanduan
7 November 2024 19:18 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Permasalahan judi online belakangan menghantui masyarakat. Bahkan, judi online telah memunculkan kecanduan bagi masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Psikiater Konsultan Adiksi dan Kepala Divisi Psikiatri RSCM Jakarta, Dr. dr. Kristiana Siste Kurniasanti, SpKJ(K), memaparkan bahwa dari data penelitian yang dilakukannya pada 2021, menyebut tingkat prevalensi adiksi judi di Indonesia mencapai dua persen dari total populasi. Kristiana mengatakan, angka itu menunjukkan judi online menjadi persoalan serius.
"Sehingga memang masalahnya bukan masalah yang kecil untuk kecanduan judi ini. Sehingga, kalau kita lihat 2% dari populasi Indonesia, itu jumlahnya sangat banyak," ujar Kristiana dalam media briefing bertajuk 'Masalah Adiksi Perilaku Judi Online', dikutip Kamis (7/11).
"Jadi, ini merupakan benar, ini adalah masalah serius. Makanya, saya bisa mengatakan sebagai disaster nasional dalam hal ini," jelasnya.
Dalam paparan itu, ia menyampaikan bahwa rentang usia adiksi judi didominasi oleh remaja dan dewasa muda, atau golongan berusia 18-25 tahun dengan total 68,9 persen. Oleh karenanya, lanjutnya, golongan remaja dan dewasa muda itu juga perlu menjadi sasaran edukasi memberantas judi online.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, untuk karakteristik populasi kecanduan judi ini lebih didominasi oleh laki-laki ketimbang perempuan. Perbandingannya yakni 51,3 persen dan 48,7 persen.
"Dan laki-laki lebih banyak daripada perempuan, tapi kalau kita lihat angka perbedaannya tidak signifikan. Sehingga, perempuan juga sangat rentan mengalami kecanduan judi," kata dia.
Dari data tersebut, Kristiana mengungkapkan bahwa sebagian para pecandu judi online tidak menyadari bahwa mereka memiliki perilaku adiksi judi.
"Namun, dari 2% yang mengalami kecanduan judi ini, dari mereka yang mengalami kecanduan judi ini, ternyata hanya 18,5% yang merasa tidak memiliki prilaku adiksi judi," paparnya.
"Sehingga, merupakan PR buat kita ini, ternyata besar juga mereka yang merasa tidak ada problem bagi mereka, walaupun mereka sudah memiliki berbagai gejala tentang adiksi judi ini sendiri," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan alasan kenapa seseorang bisa memiliki kecanduan terhadap judi online. Faktornya di antaranya melibatkan otak dan genetik.
"Jadi, seorang yang memiliki faktor risiko, memiliki genetik yang memang rentan adiksi, kemudian ditambah dengan personality-nya yang mendukung resiko tinggi adiksi," tutur Kristiana.
"Dan kemudian aksesnya terhadap perilaku adiksi itu mudah, kemudian lingkungan yang mendukung perilaku adiksi tersebut, maka kemudian muncullah perilaku adiksi tersebut," pungkasnya.
Adapun baru-baru ini, persoalan judi online di Indonesia kembali menjadi sorotan. Teranyar, pihak kepolisian turut menangkap belasan pejabat Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) yang terlibat dalam judol. Tak hanya di kalangan pejabat, polisi juga menjerat seorang TikToker asal Sukabumi, Gunawan (38), yang populer dengan akun Sadbor86. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan promosi judol saat siaran langsung di akun TikTok miliknya.
Bahkan, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan, melihat perkembangan judol saat ini, muncul kecenderungan naiknya transaksi perputaran judol dibanding periode sebelumnya.
ADVERTISEMENT
"Ini kalau kita bicara tahun 2023, kalau bicara transaksi perputaran judol per semester I saja sudah menyentuh Rp 174 triliun, saat ini semester II, PPATK melihat sudah Rp 283 triliun," ucap Ivan saat raker bersama Komisi III DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11) kemarin.
Begitu pula dengan transaksi judol yang mengalami peningkatan. PPATK menjelaskan, transaksi hingga tengah semester tahun 2024 ini sudah melampaui jumlah transaksi di tengah semester 2023.
"Atau bahkan lebih dari 1 tahun penuh di tahun 2022 artinya ada kecenderungan naik sampai 237% kenapa bisa terjadi? Karena pada saat ini rata-rata bandar judol melakukan transaksi dengan mereka yang kecil sehingga dia pecah dulu 1 rekening bandar bisa angkanya tinggi, sekarang dia pecah dengan angka yang kecil," jelas Ivan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, PPATK mengatakan maraknya masyarakat yang terjerat judol terlihat dari mereka melakukan transaksi. PPATK menyebut, jika dahulu masyarakat deposit Rp 100 hingga Rp 200 ribu buat judol, kini 70 persen penghasilannya dipakai untuk judol.
"Kalau dulu orang terima Rp 1 juta hanya akan gunakan 100-200 ribu untuk judol, sekarang hampir Rp 900 ribu dia pakai judol. Jadi kita lihat semakin addict-nya masyarakat main judol," tandas dia.