Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Puan Soroti Suap Ketua PN Jaksel: Integritas Penegak Hukum Harus Dibenahi
14 April 2025 12:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti kasus suap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta terkait vonis lepas perkara korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak mentah kelapa sawit periode Januari 2021–Maret 2022.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menyeret 3 hakim yang menangani perkara ini yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom selaku hakim anggota.
“Ya sebaiknya dievaluasi bagaimana kemudian integritas dari para penegak hukum untuk bisa ya dibenahi,” kata Puan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (14/4).
Sekilas Kasus
Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) terhadap tiga grup korporasi besar dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).
Kasus ini bermula dari perkara korupsi persetujuan ekspor CPO periode Januari 2021 hingga Maret 2022, yang melibatkan beberapa pejabat dan pengusaha.
Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, majelis hakim memutuskan ketiga grup korporasi tersebut bersalah namun bukan merupakan tindakan pidana, sehingga mereka dibebaskan dari segala tuntutan hukum jaksa penuntut umum (JPU).
ADVERTISEMENT
Kejagung menduga putusan lepas tersebut merupakan hasil dari pemberian suap kepada para hakim. Selain ketiga hakim, Kejagung juga menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka dalam kasus ini.
Total kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 17,7 triliun.
Penjelasan Kejagung
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan ketiga hakim itu diduga menerima sejumlah uang sebagai suap agar memutus perkara korupsi persetujuan ekspor CPO dengan putusan lepas.
Perkara tersebut bermula saat pengacara tersangka korporasi Ariyanto—yang juga dijerat sebagai tersangka dalam kasus vonis lepas itu—melakukan kesepakatan dengan panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. Saat penanganan kasus ini, Wahyu merupakan panitera di PN Jakarta Pusat.
Kesepakatan tersebut untuk mengurus perkara korupsi korporasi persetujuan ekspor CPO tersebut dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag van alle rechtavervolging (lepas dari segala tuntutan hukum). Ariyanto disebut menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan itu kemudian disampaikan kepada Muhammad Arif Nuryanta. Saat penanganan kasus ini, Arif masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Arif menyetujui permintaan tersebut. Namun, ia meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dilipatgandakan menjadi 3 kali lipat, sehingga total uang yang mesti disiapkan adalah Rp 60 miliar.
Permintaan tersebut kemudian diteruskan kembali kepada Ariyanto dan langsung disetujui.
"Kemudian, setelah disampaikan, beberapa waktu kemudian Ariyanto Bakri menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat kepada Wahyu Gunawan," ucap Qohar.
Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Arif. Saat itu, kata Qohar, Wahyu juga mendapat fee sebesar USD 50 ribu sebagai jasa penghubung.
Setelah penerimaan uang itu, Arif menunjuk tiga orang hakim yang akan mengadili perkara korupsi persetujuan ekspor CPO tersebut. Susunannya terdiri dari Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom selaku hakim anggota.
ADVERTISEMENT
Setelah surat penetapan sidang diterbitkan, Arif kemudian memanggil Djuyamto dan Agam Syarif. Saat itu, Arif memberikan uang dengan pecahan mata uang dolar Amerika Serikat, yang bila dirupiahkan setara Rp 4,5 miliar.
Qohar mengungkapkan, uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara. Saat itu, lanjutnya, Arif menyampaikan kepada keduanya agar perkara tersebut diatensi. Uang itu kemudian dibagi-bagi oleh Agam Syarif bersama Djuyamto dan Ali Muhtarom.
Sekitar bulan September atau Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang bila dirupiahkan senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto.
Oleh Djuyamto, uang tersebut kemudian dibagi tiga dengan porsi pembagian sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
"Bahwa ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang agar perkara tersebut diputus ontslag dan hal ini menjadi nyata ketika tanggal 19 Maret 2025 perkara korporasi minyak goreng telah diputus ontslag oleh Majelis Hakim," tutur Qohar.
Akibat perbuatannya, ketiga hakim tersebut disangkakan melanggar Pasal 12 c juncto Pasal 12B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.