“Puasa Daud” Satwa Kebun Binatang saat Wabah Corona

7 Mei 2020 17:20 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas membersihkan kandang Harimau Sumatera di Medan Zoo. Foto: ANTARA/Septianda Perdana
zoom-in-whitePerbesar
Petugas membersihkan kandang Harimau Sumatera di Medan Zoo. Foto: ANTARA/Septianda Perdana
Bukan cuma manusia yang berantakan hidupnya karena pandemi corona. Satwa-satwa di kebun binatang juga jadi menderita. Bukan karena virus corona, hewan-hewan endemik yang berada di lembaga konservasi itu harus diet, berpuasa, dan terancam kelaparan.
Sebabnya satu: tak ada uang untuk membeli pakan mereka.
Sejak pertengahan Maret lalu, sebanyak 60 kebun binatang di Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) menutup layanannya. Tujuannya adalah untuk menekan penyebaran virus corona, mengingat kebun binatang selalu menjadi pilihan rekreasi yang dekat dan relatif terjangkau untuk masyarakat.
Namun ternyata kebijakan tersebut punya efek samping serius buat kebun binatang itu sendiri. Sebab, menurut data PKBSI, operasional kebun binatang di Indonesia hampir seluruhnya bersandar pada pemasukan sehari-hari.
Penjualan tiket masuk, parkir, tiket permainan, restoran, dan suvenir rata-rata menyumbang 84,21 persen keuangan kebun binatang di Indonesia. Sisanya, 15,79 persen, berasal dari APBD.
Dengan asumsi pemasukan tersebut nihil dan kebun binatang hanya bertumpu pada dana cadangan yang ada, proyeksi PKBSI terhadap keberlangsungan operasional anggotanya menjadi muram.
Menurut survei internal PKBSI terhadap 60 anggotanya pada April kemarin, hanya 2,63 persen kebun binatang yang mampu menyediakan pakan lebih dari 3 bulan ke depan. Sebanyak 5,26 persen anggotanya hanya mampu menyediakan pakan 1-3 bulan. Sementara sisanya, 92,11 persen, hanya mampu menyediakan pakan kurang dari satu bulan—alias, hanya sampai akhir Mei ini.
Anak orang utan di kebun binatang di Bali. Foto: Dok. BKSA Bali
Hampir seluruh kebun binatang di Indonesia terancam oleh pandemi corona yang berkepanjangan.
Kebun Binatang (KB) Bandung yang terletak di sisi barat Kampus ITB, misalnya, telah membikin beberapa penyesuaian baik dari segi pangan hewan maupun pengurangan jumlah karyawan. KB Bandung bahkan sudah berancang-ancang menyiapkan opsi darurat ketika kondisi tanpa pemasukan ini bertahan melebihi bulan Juli.
“Ada penyesuaian pakan, agar bujetnya tidak sama seperti saat normal,” ujar Sulhan Syafi’i, Manajer Komunikasi KB Bandung, kepada kumparan, Senin (4/5), melalui sambungan telepon. “Misalnya kucing besar (harimau), kita kurangi 2 kilogram per ekornya. Ada juga yang 1,5 kilogram,” kata Sulhan.
Penyesuaian pangan satwa tak hanya dilakukan pada porsi, namun juga pada frekuensinya. Menurut Sulhan, langkah ini perlu diambil agar ketersediaan pangan bagi 850 ekor satwa di KB Bandung bisa bertahan hingga dua bulan ke depan. Sulhan mengatakan, perlu dana Rp 300 juta di masa normal untuk sebatas membeli pakan satwa.
“Kamu tahu puasa daud? Sehari makan sehari puasa. Untuk penyesuaian, sejak saat kondisi masih normal juga begitu. Sehari makan sehari enggak, untuk menyesuaikan kondisi di alamnya,” ujar Sulhan.
Menurut Sulhan, dana yang ada sekarang cukup untuk membeli pakan dan operasional karyawan sampai Juli. “Skenario terburuknya kalau sampai Juli masih terus COVID, bukan tak mungkin kami lakukan itu (membuat rusa menjadi pakan kucing besar).”
Harimau benggala di Bandung Zoo. Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Langkah yang hampir sama juga dilakukan Taman Margasatwa (TM) Semarang. Menurut Samsul Bahri Siregar, Direktur TM Semarang, penyesuaian dilakukan salah satunya pada 12 harimau benggala.
“Biayanya memang sangat tinggi. Selama ini kita (beri makan) daging sapi. Dengan ini kita mengurangi porsi daging sapi, kita arahkan ke ayam. Kita coba daging sapinya tiga kilogram, ayamnya dua kilogram. Kita coba pelan-pelan,” ujar Samsul saat dihubungi kumparan, Selasa (5/5).
Menurutnya, sampai saat ini, hewan-hewan di sana masih baik-baik saja meski dengan penyesuaian pakan. “Masih ginuk-ginuk itu. Masih lemu (gemuk). Mudah-mudahan sehat,” ujarnya.
Malah, Samsul berkata, penutupan kebun binatang ini memberi dampak ke perilaku hewan.
“Kayak harimau itu, misalnya ada orang datang, sekarang itu dia duduk aja, nggak begitu tertarik sama orang. Gajah, burung, sekarang banyak diam. Ke satwa itu sangat pengaruh. Sekarang banyak diam. Dulu kan (kalau) banyak orang, mereka mendekat-dekati,” katanya.
Penyesuaian porsi makan juga dilakukan di KB Gembira Loka. Menurut Kepala Bagian Humas Kebun Binatang Gembira Loka Eros Yan Renanda kepada kumparan, Selasa (5/5), pengurangan porsi dilakukan sebesar 10 persen dari porsi biasa.
“Ada juga yang kami substitusi, misalnya buah-buahan kami ganti dengan sayur dan umbi-umbian. Kami sama sekali tidak mengurangi kebutuhan nutrisi dan gizi satwa,” ujar Eros.
Penyesuaian ini, menurut Eros, tidak mengganggu keseharian satwa-satwa. Bahkan, masa pandemi dan ketiadaan pengunjung saat ini dapat dikatakan menjadi blessing in disguise bagi satwa-satwa.
“Sejujurnya ya, dengan kondisi tidak ada pengunjung, satwa yang biasanya aktivitasnya mondar-mandir, sekarang justru lebih aktif dan lincah. Dengan sedikitnya pengunjung, mereka justru lebih rileks,” ujar Eros.
“Mungkin kalau diibaratkan manusia, ini off-day-nya mereka,” kata Eros.
Kucing bakau barada di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Foto: ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
KB Gembira Loka menjadi salah satu kebun binatang yang dinilai baik dalam menghadapi pandemi corona ini. Saat kebun binatang lain kekurangan, Gembira Loka justru mengirim sumbangan pakan satwa seperti daging ayam ke KB Semarang, KB Medan, dan sebuah lembaga konservasi kecil di Jawa Barat.
“Kami bersyukur, di Jogja itu kami cukup ramah dengan bencana alam. 2006 pernah ada gempa besar di Jogja. Dari situ kami belajar bahwa sebuah perusahaan bisa bertahan tidak cuma dengan melihat pemasukan dan pengeluaran, tapi juga harus ada manajemen risiko,” kata Eros.
Manajemen risiko yang ia maksud, adalah, “...misalkan ada force majeure seperti bencana alam dan pandemi ini, kami punya cadangan dana untuk operasional ketika ada situasi yang tidak diinginkan.”
Ketika kebun binatang lain hanya memiliki contingency plan selama dua-tiga bulan ke depan, Gembira Loka memproyeksikan diri bisa bertahan sampai enam bulan ke depan. Selain dana cadangan, Eros menjelaskan, Gembira Loka terus mencoba untuk menghasilkan sendiri kebutuhan pakan satwanya.
“Untuk pakan, kami tidak 100 persen membeli dari petani atau peternak. Ada juga yang kami produksi sendiri. Misalnya, kami punya Bidang Edukasi di bawah Pemasaran, nah dia punya peternakan tikus putih yang bisa menjadi pakan buat jenis satwa kadal-kadalan, ular-ularan, reptil. Sayur dan buah-buahan juga, tapi kebanyakan masih beli dari petani sekitar Jogja,” ujar Eros.
Petugas memberikan makan beruang madu di Medan Zoo, salah satu kebun binatang yang terbelit kesulitan di masa pandemi. Foto: ANTARA/Septianda Perdana
Selain penyesuaian ke satwa, kebun binatang juga menghemat dana cadangan melalui pengurangan karyawan. KB Bandung telah merumahkan karyawan harian. Sementara untuk karyawan tetap dibagi dua tim, dengan shift kerja dua hari libur dua hari masuk.
Begitu juga dengan TM Semarang. Sebanyak 12 karyawan di bagian kebersihan langsung diputus. Mei nanti, karyawan di bagian administrasi juga akan dipotong gajinya terlebih dahulu.
“Tapi khusus keeper satwa itu tidak bisa dikurangi karena mereka yang beri makan. Mungkin mereka seminggu datang sekali dua kali. Nggak mampu kita membayar mereka,” ujar Samsul.
Penyesuaian terhadap karyawan kebun binatang ini juga terjadi di kebun binatang besar lain, seperti Taman Safari Group dan Gembira Loka. Taman Safari, menurut Tony Sumampau saat dihubungi kumparan, Selasa (5/5), telah merumahkan 50 persen karyawannya.
“Kita nggak terlalu banyak lagi pengamanan. Kebersihan lingkungan, sudah nggak ada pengunjung. Terus pertamanan, sudahlah nggak usah ngurus taman, jadi nggak ada lagi yang menjaga kebersihan toilet. Restoran juga semua tutup. Tenaga-tenaga itu, hotel semua ditutup,” kata Tony.
Sementara di Kebun Binatang Gembira Loka, penyesuaian dilakukan melalui beberapa langkah. Sebanyak 30 persen karyawan dirumahkan dan tetap digaji meski tidak 100 persen.
“Yang usianya di atas 45 tahun itu dirumahkan. Sementara yang masih muda masih tetap masuk, karena kita bagi-bagi tugas. Misalnya, desain grafis yang biasanya gambar dan bikin materi promosi, juga harus bersih-bersih dan sebagainya,” ujar Eros.
Dokter hewan memeriksa kesehatan gajah sumatera di Medan Zoo. Foto: ANTARA/Septianda Perdana
Kondisi kebun binatang di masa corona dan penyesuaian yang dilakukan cukup membuat Prof. Hadi S. Alikodra dari Institut Pertanian Bogor (IPB) khawatir. Ia mencermati, meski terlihat baik-baik saja, perubahan kebiasaan yang terjadi dari makanan, aktivitas, sampai perawatan saat-saat ini berpotensi membuat satwa di kebun binatang mengalami stres.
“Otomatis ada ‘kesejahteraan satwa’ ini berkurang. Dari segi pakan, dari segi kesehatan. Dia juga punya perasaan. Dengan semakin berkurangnya penjaganya dia, berubahnya jenis-jenis pakan—biasanya misalnya pakai pisang ijo lalu sekarang pakai pisang raja—itu juga menentukan,” ujar Hadi, Selasa (5/5).
“Artinya, prinsipnya mereka berada dalam kondisi yang kurang nyaman. Kurang nyaman sehingga akan menyebabkan stres. Stres akan menyebabkan kematian. Kan itu prosesnya,” tambahnya.
Menurut Hadi, stres karena berubahnya kebiasaan ini bukanlah hal yang main-main.
“Ada perilaku yang biasanya. Ada soal kenikmatan, ada soal secure. Dia merasa aman. Itu udah biasa kan berhari-hari dulu, dengan sistem yang sudah menjadi suatu model. Kalau biasanya makan daging yang seger, misalnya, dikasih daging yang tidak seperti biasanya. Itu juga yang terjadi, yang disebut dengan animal stress. Stres karena kebiasaannya tidak tercukupi,” ujarnya.
Menurutnya, perilaku satwa yang berubah, misalnya, menjadi pendiam, bukanlah karena satwa tersebut merindukan interaksi dari pengunjung. “(Tapi) karena kualitas gizi kurang. Justru mestinya karena tidak ada pengunjung dia happy. Justru semakin sepi namanya binatang liar semakin sejahtera harusnya dia,” tambahnya.
“Kalau binatang biasanya ke sana ke mari, naik turun kalau monyet, terus diam saja, itu stres. Kenapa stres? Karena tidak ada kecukupan. Saya menduganya faktor kualitas dan kuantitas makanan,” tambah Hadi.
Contoh singa kekurangan gizi di Sudan. Foto: AFP/Ashraf Shazly
Hadi juga tidak setuju terhadap model makan “puasa daud” yang disebut menyerupai kebiasaan satwa liar di alam lepas.
“Ini bukan binatang yang liar. Sudah dipelihara di kebun binatang. Dia dimanjakan sejak datang di kebun binatang. Kebiasaan di alam liar itu dirombak, dengan era baru. Kayak manusialah. Sehari tiga kali makan, diubah aja coba, puasa daud. Saya coba puasa daud, nggak kuat saya,” kata Hadi.
“Jangan begitulah kalau menurut saya. Apa sih masalahnya? Kekurangan dana. Ya dana itu mesti diadakan. Supaya binatangnya itu sejahtera,” ujar Hadi.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.