Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memuji tujuan akal sehat Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang di Ukraina. Saat bersamaan ia menuduh kekuatan Eropa yang bersatu di sekitar Kiev berusaha memperpanjang konflik.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, Lavrov mengatakan AS tetap ingin menjadi negara paling kuat di dunia dan Washington dan Moskow tidak akan pernah sepakat dalam segala hal, tapi sepakat untuk menjadi pragmatis jika kepentingan mereka sesuai.
Lavrov menyebut, model hubungan AS-China adalah salah satu yang perlu dibangun antara Rusia dan AS untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan bersama tanpa membiarkan perselisihan berubah jadi perang.
"Donald Trump adalah seorang yang pragmatis," kata Lavrov kepada surat kabar militer Rusia, Krasnaya Zvezda, berdasarkan transkrip yang dirilis Kemlu Rusia, Minggu (2/3).
"Slogannya adalah akal sehat. Itu berarti, seperti yang semua bisa lihat, perubahan ke cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu. Namun, tujuannya tetap MAGA (Make America Great Again)," kata Lavrov merujuk pada slogan politik Trump yang terkenal.
ADVERTISEMENT
"Ini memberi karakter yang hidup dan manusiawi kepada politik. Inilah mengapa sangat menarik untuk bekerja dengannya," katanya lagi.
Rusia menginvasi Ukraina pada 2022 yang memicu konfrontasi terbesar antara Rusia dan Barat sejak Perang Dingin.
Konflik di timur Ukraina dimulai pada 2014 setelah presiden pro-Rusia digulingkan dalam Revolusi Maidan dan Rusia menganeksasi Krimea, dengan pasukan separatis yang didukung Rusia berperang melawan militer Ukraina.
Barat dan Ukraina mendeskripsikan invasi yang terjadi pada 2022 sebagai perampasan tanah ala kekaisaran oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Kiev telah bersumpah untuk mengalahkan Rusia di medan perang, meski pasukan Rusia menguasai hampir seperlima wilayah Ukraina.
Sementara, Putin menggambarkan konflik dengan Ukraina sebagai bagian pertempuran eksistensial dengan Barat yang sedang merosot dan dekaden, yang menurutnya mempermalukan Rusia setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 dengan memperluas aliansi militer NATO dan melanggar apa yang dianggapnya sebagai lingkup pengaruh Moskow, termasuk Ukraina.
ADVERTISEMENT
Saat berbicara dengan Putin pada 12 Februari lalu, Trump mengatakan ingin diingat sebagai pembawa damai dan secara drastis mengubah kebijakan luar negeri AS terhadap perang Ukraina.
Minggu lalu, Trump mengatakan perang antara Rusia-Ukraina dapat berkembang menjadi Perang Dunia III. Ia juga telah berbicara dengan Putin dalam berbagai kesempatan dan bahwa ia berpikir akan ada kesepakatan untuk perdamaian di Ukraina.
Rusia Sebut Eropa Sumber Tragedi
Pada Jumat (28/2), Trump dan Wakil Presiden AS JD Vance menerima Presiden Rusia Volodymyr Zelensky di Ruang Oval, Gedung Putih. Sayangnya, pertemuan itu berakhir dengan perdebatan panas setelah Trump menuduh Zelensky tidak menghormati AS.
Pemimpin Eropa kemudian menunjukkan dukungan terhadap Zelensky. Namun, Lavrov mengkritik Eropa dan mengatakan selama 500 tahun terakhir Eropa telah menjadi tempat terjadinya semua tragedi di dunia, termasuk penjajahan, perang, tentara salib, Perang Krimea, Napoleon Bonaparte, Perang Dunia I, dan Adolf Hitler.
ADVERTISEMENT
"Dan sekarang, setelah pemerintahan Joe Biden, orang-orang datang karena ingin dipimpin oleh akal sehat. Mereka secara langsung mengatakan ingin mengakhiri perang, mereka ingin perdamaian. Dan siapa yang menuntut kelanjutan perjamuan dalam bentuk perang? Eropa!" kata Lavrov.
Lavrov juga menepis ide Eropa untuk mengirim pasukan perdamaian Eropa dan mengatakan Rusia tidak mempercayai Ukraina setelah runtuhnya perjanjian Minsk, yang didesain untuk mengakhiri perang separatis oleh penutur Rusia di timur Ukraina.
Menurut Lavrov, Eropa tidak dapat menjelaskan hak apa yang dimiliki penutur Rusia di bawah rencana pasukan perdamaian Eropa. Ia juga menambahkan bahwa Rusia tidak menyukai ide Eropa mendukung Zelensky.
"Mereka juga ingin mendukungnya dengan bayonet mereka dalam bentuk pasukan perdamaian. Ini berarti akar penyebabnya tidak akan hilang," pungkasnya.
ADVERTISEMENT