Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Pukat UGM: Dewas Harusnya Malu Nyatakan Dokumen Bocor KPK Tak Cukup Bukti
20 Juni 2023 13:32 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan laporan dugaan kebocoran dokumen penyelidikan lembaga antirasuah dalam perkara ESDM tak cukup bukti untuk naik sidang etik. Padahal, kasus yang sama yang ditangani Polda Metro Jaya (PMJ) sudah naik dari penyelidikan ke penyidikan.
ADVERTISEMENT
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, seharusnya Dewas KPK malu dengan keputusan tersebut. Sebab lembaga lain seperti Polda Metro Jaya, justru malah bisa mengantongi bukti adanya tindakan pidana dalam dugaan pembocoran dokumen tersebut.
"Menurut saya sih seharusnya Dewas malu kalau aparat penegak hukum di luar KPK dalam hal ini Polda Metro Jaya memproses dari sisi pidana bahkan naik ke penyidikan," kata Zaenur kepada wartawan, Selasa (20/6).
"Artinya Polda Metro Jaya sudah menemukan bahwa ada peristiwa pidana dalam kebocoran dokumen terkait penanganan perkara di Kementerian ESDM," sambung dia.
Dewas KPK dinilai patut malu karena Polda Metro Jaya saja bisa menemukan telah terjadi tindak pidana. Padahal, lanjut Zaenur, seharusnya kinerja Dewas KPK lebih mudah karena hanya menggali dari sisi pelanggaran kode etik.
ADVERTISEMENT
"Pidananya saja ditemukan apalagi etiknya. Semua pelanggaran pidana itu adalah pelanggaran kode etik di KPK, gitu," tegasnya.
Kebocoran dokumen seperti ini dinilai merupakan hal serius yang harus menjadi perhatian besar Dewas. Pengusutan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan tak perlu membatasi diri hanya pada aspek-aspek yang dianggap sebagai pelanggaran kode etik.
"Dugaan kebocoran itu sangat serius penyebabnya kepada KPK. Kenapa karena bisa menggagalkan proses upaya hukum yang sedang dilakukan KPK bahkan membuka peluang pertukaran informasi yang melawan hukum yang bisa jadi juga ada tindak pidana di dalamnya," katanya.
Selain itu, pembocoran dokumen tersebut juga diduga karena telah terjadi jual beli informasi maupun kepentingan tersembunyi di balik itu. Para penyelidik KPK juga dinilai akan lebih berisiko apabila pihak berperkara sudah terlebih dahulu mendapatkan bocoran.
ADVERTISEMENT
Menurut Zaenur, membocorkan dokumen penyelidikan juga merupakan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan. Dengan membocorkan ke pihak yang sedang berperkara, maka pihak yang berperkara bisa mengambil posisi untuk mengamankan diri.
Dia mencontohkan, misal, menghilangkan barang bukti, mempengaruhi saksi-saksi, melakukan upaya-upaya untuk bisa terhindar upaya jeratan hukum.
"Seharusnya saya kira Dewas memberikan perhatian penuh itu obstruction of justice itu jelas merupakan pelanggaran kode etik sebagaimana diatur dalam kode etik KPK. Itu juga merupakan pidana," tegasnya.
"Bisa dicek misalnya di Pasal 21 UU Tipikor 31 99 di situ itu setiap orang yang merintangi penyidikan dijerat dengan pidana. Menyebarkan memberikan bocoran informasi berupa dokumen ke pihak yang berperkara itu salah satu bentuk merintangi penyidikan dan bahkan bisa menyebabkan kegagalan dalam penyidikan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Zaenur mengatakan, menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyelidikan, juga termasuk pengertian obstruction of justice. Jika itu dilakukan pimpinan KPK jiga ada ancaman pidananya. Bahkan hingga 5 tahun penjara.
"Itu bisa dicek di UU 30 tahun 2002 itu kan masih berlaku ya diubah dalam UU 19 tahun 2019 tetapi ada pasal 36 ini tidak ikuti diubah. Di dalamnya itu pimpinan KPK itu dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan tindak pidana yang ditangani KPK," katanya.
"Pimpinan KPK dilarang menjalin hubungan dalam bentuk apa pun dengan pihak yang berperkara. Itu di pasal 36 UU KPK itu ada ancaman pidananya di Pasal 65 itu 5 tahun penjara," bebernya.
ADVERTISEMENT
Polisi Diminta Segera Tetapkan Tersangka
Kepada Polda Metro Jaya, Zaenur berharap mereka profesional. Publik menghendaki agar Polda Metro Jaya menjerat siapa pun yang terlibat ya melakukan tindak pidana membocorkan informasi.
"Yang publik inginkan Polda Metro Jaya jangan gunakan kasus ini untuk kepentingan apa pun selain penegakan hukum. Yang kedua jangan ambil timing selain karena penegakan hukum," katanya.
"Pertimbangan hukum itu apa, selama Polda Metro Jaya sudah memegang 2 alat bukti yang cukup maka segera tetapkan tersangka selesaikan berkas perkaranya. Kemudian limpahkan ke kejaksaan untuk segera dituntut di depan persidangan," jelasnya.
Jangan sampai kasus ini digunakan Polda Metro Jaya untuk mengunci KPK. Penetapan tersangka pun jangan ditunda-tunda.
"Kalau ini ditunda-tunda lama kan bisa menggantung. kalau menggantung itu kemudian buying time bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan saling mengunci, saling pegang kartu dan itu sangat buruk bagi semua apalagi bagi KPK. Kalau Polda Metro Jaya sudah pegang alat bukti sudah segara tetapkan tersangka segera selesaikan, kemudian ajukan p21 limpahkan ke kejaksaan untuk proses penuntutan," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Polda Metro Jaya Tetapkan Tersangka, Sanksi Etik Harus Jatuh
Apabila Polda Metro Jaya sudah menetapkan tersangka maka sanksi etik harus dijatuhkan oleh Dewas KPK. Ini akan menjadi momen yang memalukan bagi Dewas karena sebelumnya menyatakan laporan dugaan kebocoran dokumen penyelidikan perkara ESDM tak cukup bukti.
"Kalau Polda berhasil membuktikan tindak pidana dari kasus kebocoran dokumen penyidikan itu maka itu menjadi momentum yang memalukan bagi Dewas. Dan dewan pengawas tidak punya kesempatan selain menggunakan proses dari hasil pidana itu untuk proses penegakan etik," katanya.
"Karena kalau sudah terbukti pidananya etiknya sudah pasti terbukti otomatis. Otomatis terbukti karena proses di dewan pengawas bukan pro Justicia kalau proses pro justicia-nya saja berhasil," katanya.
ADVERTISEMENT
Bahkan ketika Polda Metro Jaya mengumumkan tersangka, Dewas sudah harus menjalankan proses etik. "Tidak perlu sampai menunggu proses peradilannya proses etik sudah bisa berjalan kapanpun. Proses etik itu bisa dilakukan kapanpun termasuk misalnya menggunakan informasi-informasi yang digunakan untuk penyidikan sejauh yang bisa digunakan oleh Dewas," pungkasnya.