Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pukat UGM Kritik Polri Tak Pecat Raden Brotoseno: Cari Kerja Saja Pakai SKCK
31 Mei 2022 18:48 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, mengatakan masyarakat yang mencari kerja saja butuh SKCK alias (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang menerangkan bahwa mereka tidak pernah dipidana. Syarat tersebut, kata Zaenur, juga seharusnya dimiliki polisi, terlebih sebagai penegak hukum.
“Seharusnya, seorang yang telah terbukti menjadi terpidana korupsi tidak lagi dipertahankan sebagai aparat penyelenggara negara, apalagi sebagai anggota kepolisian,” jelas Zaenur, kepada wartawan, Selasa (31/5).
“Bahkan, masyarakat bisa memperbandingkan apabila masyarakat ingin melamar kerja pun masyarakat harus melampirkan SKCK,” tambahnya.
Zaenur juga menilai, kembalinya Brotoseno ke tubuh Polri menunjukkan bahwa kepolisian tidak ada iktikad baik untuk menunjukkan zero tolerance kepada koruptor. Malah sebaliknya, memberi panggung kepada mereka.
“Tidak mau menunjukkan, apa namanya, ‘nol toleransi’ untuk sikap korupsi, gitu, ya. Kan, terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi masih ditoleransi,” kata Zaenur.
ADVERTISEMENT
Dampak lain, lanjut Zaenur, adalah ini bisa menjadi contoh buruk untuk penyelenggara negara yang lain. Masyarakat bisa beranggapan bahwa di kepolisian saja koruptor ditoleransi, apalagi di lembaga lain.
“Ini menjadi contoh buruk untuk penyelenggara negara lainnya, gitu, ya, bahwa kok di kepolisian saja bisa dipertahankan gitu, kan,” ungkap Zaenur.
Keputusan menerima kembali Brotoseno juga berpotensi memberi pesan keliru kepada sesama anggota kepolisian: bahwa seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi ternyata masih bisa dipertahankan.
“Jadi, kolega dan rekan kerja yang lain menganggap bahwa ternyata tindak pidana korupsi bisa tetap dilakukan anggota kepolisian tanpa dikeluarkan,” kata Zaenur mewanti-wanti.
Zaenur pun turut menyoroti soal landasan hukum Polri yang tidak memecat Brotoseno. Ia menduga keputusan menarik Brotoseno itu menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No.1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI.
ADVERTISEMENT
Pada pasal 12 ayat 1 (a) PP tersebut menyebut ada dua alasan pemberhentian anggota kepolisian secara tidak hormat. Berikut bunyi pasal tersebut:
Pasal 12 ayat 1 huruf a: dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Diksi “menurut pertimbangan pejabat berwenang” itu yang dinilai oleh Zaenur lentur. Sangat subjektif.
“Memang kelemahan utama dari PP ini adalah di dalam Pasal 12 itu ada norma pasal 12 ayat 1 huruf a, itu anggota kepolisian diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas kepolisian apabila dipidana penjara berdasarkan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada di dalam dinas kepolisian,” terang Zaenur.
ADVERTISEMENT
“Artinya, ada dua ketentuan untuk diberhentikan tidak hormat ketika melakukan tindak pidana, yang pertama sudah ada keputusan yang inkrah, yang kedua menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan dalam kepolisian,” tambahnya.
Zaenur menduga ketentuan tersebut yang menjadi dasar untuk tidak memberhentikan Brotoseno.
“Yaitu dianggap ‘menurut pertimbangan pejabat’ dapat dipertahankan, gitu ya. Meskipun dipenjara berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan tetap,” kata dia.
Terkait aturan dalam PP tersebut, Zaenur menilai perlu untuk direvisi. Sehingga tak lagi terkesan subjektif.
"Untuk pemerintah, PP ini seharusnya direvisi ya, jadi saran revisinya adalah: anggota kepolisian dapat diberhentikan tidak hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan telah mempunyai ketetapan hukum tetap. Cukup di situ, jangan ditambah lagi menurut pertimbangan pejabat gitu. Menurut pertimbangan pejabat itu kemudian unsur subjektifnya akan kental daripada unsur objektifnya gitu, ya," kata dia.
ADVERTISEMENT
Sebab, kendati dasar hukumnya memungkinkan, Zaenur menilai menarik koruptor kembali ke sebuah lembaga hukum adalah hal yang tidak menunjukkan keteladanan. Sehingga ruang kemungkinan tersebut baiknya untuk dihilangkan.
“Tidak menunjukkan keteladanan yang baik, dapat menimbulkan tanda tanya di masyarakat dan juga dapat mengurangi citra baik polisi di mata rakyat,” imbuhnya.
Brotoseno dihukum 5 tahun penjara karena terbukti menerima suap hampir Rp 2 miliar terkait penanganan perkara. Ia bebas bersyarat pada 2020.
Berdasarkan sidang etik, Polri memutuskan tidak memecat Brotoseno. Ia kini kembali menjadi penyidik di Bareskrim Polri.
Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo mengatakan, ada 4 poin yang menjadi alasan Polri tak memecat Brotoseno. Salah satunya, Brotoseno memiliki prestasi, dan ada surat pernyataan dari atasan yang menjadi pertimbangan agar Brotoseno tak dipecat. Namun tidak disebut siapa atasan yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
"Adanya pernyataan atasan AKBP R. Brotoseno dapat dipertahankan menjadi anggota Polri dengan berbagai pertimbangan prestasi dan perilaku selama berdinas di kepolisian," kata Ferdy lewat keterangannya, Senin (30/5).
Kasus Suap Brotoseno
Brotoseno terjerat kasus korupsi pada November 2016. Saat itu, dia berpangkat AKBP di Bareskrim Polri. Dia terjerat kasus korupsi dalam penanganan perkara cetak sawah di Kalimantan pada 2012-2014.
Brotoseno saat itu dijerat bersama dengan anak buahnya yang bernama Dedy Setiawan Yunus. Keduanya diduga menerima suap Rp 1,9 miliar dari pengacara dan seorang swasta.
Kasus Brotoseno ini ditangani oleh pihak kepolisian. Setelah proses penyidikan berjalan beberapa bulan, kasus Brotoseno disidangkan pada 1 Februari 2017.
Dalam sidang perdana dengan agenda dakwaan, Brotoseno bersama Dedy didakwa menerima suap Rp 1,9 miliar dari total commitment fee sebesar Rp 3 miliar dari Harris Arthur Hedar (pengacara) dan Lexi Mailowa Budiman (swasta).
ADVERTISEMENT
Dalam dakwaan, Brotoseno yang menjadi penyidik di Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menerima suap agar menunda pemeriksaan Dahlan Iskan sebagai saksi di kasus tersebut.
Persidangan pun bergulir, hingga memasuki tahap tuntutan. Jaksa meyakini Brotoseno terbukti bersalah. Dalam sidang tuntutan, JPU menuntut Brotoseno 7 tahun penjara.
Dalam sidang vonis, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Brotoseno. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
Brotoseno dinilai terbukti bersalah menerima suap untuk menghindarkan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dari pemeriksaan kasus dugaan korupsi cetak sawah di Ketapang Kalimantan Barat. Vonis ini kemudian inkrah. Brotoseno dijebloskan ke penjara.
Kemudian pada perkara yang sama, majelis hakim juga menjatuhkan vonis kepada tiga orang terdakwa lainnya yakni Dedy Setiawan Yunus, Lexi Mailowa Budiman, dan Harris Arthur Hedar.
ADVERTISEMENT
Dedy yang merupakan anak buah Brotoseno juga divonis 5 tahun penjara. Sedangkan Lexi dan Harris sebagai pemberi suap divonis 3 tahun penjara serta denda Rp 200 juta dan subsider 3 bulan kurungan penjara. Belakangan, di tingkat Mahkamah Agung, khusus untuk Harris dia divonis bebas. Sementara untuk Lexi dipotong hukumannya jadi 1,5 tahun di tingkat banding.
Kembali ke Brotoseno, setelah menjalani kurungan kurang dari 4 tahun, ia bebas bersyarat pada 29 September 2020. Dia bebas karena mendapatkan potongan hukuman.
Padahal dia seharusnya bebas pada 18 November 2021 bila berdasarkan hukuman yang diterimanya. Dia bebas karena dapat remisi 13 bulan 25 hari. Setelah bebas, nama dia sempat mencuat ke publik usai menikahi seorang artis yakni Tata Janeeta.
ADVERTISEMENT