Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Putra Eks Diktator Filipina Ikut Pilpres, Tren Politik Dinasti Kian Menguat
25 April 2022 14:00 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 9 Mei 2022 14:12 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Eks senator tersebut adalah putra dari mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Ia bukanlah satu-satunya anggota keluarga Marcos yang sekarang tengah menjabat, dan kemungkinan tidak akan menjadi yang terakhir.
Keluarga elite Filipina itu telah lama menguasai pemerintahan Negara Mutiara Laut Orien tersebut. Mereka berhasil mempertahankan posisi kekuasaan turun-temurun dengan memberikan bantuan, membeli suara, ataupun menggunakan kekerasan.
Walaupun rakyat Filipina pernah memberontak dan menggulingkan singgasana Ferdinand Marcos, bahkan memaksa keluarga itu pergi ke pengasingan; analis politik setempat mengatakan mereka telah menyaksikan kembalinya pengaruh Marcos sejak beberapa dekade belakangan ini, demikian dilansir AFP.
Setelah Ferdinand Marcos meninggal pada 1989, keluarganya yang tersisa memutuskan untuk kembali ke Ilocos Norte. Di sinilah benteng mereka, tempat penyokong mereka berkumpul dan mengenang masa lalu. Marcos-Marcos yang tersisa rupanya menolak untuk melepaskan kekuasaan mereka.
ADVERTISEMENT
33 tahun kemudian, Ferdinand Marcos Jr, yang biasa dipanggil 'Bongbong', tengah berada di ambang kemenangan yaitu kursi kepresidenan.
Putra sulung mantan diktator tersebut kini mengincar sebuah kursi kongres yang menguasai provinsi pertanian jagung dan tembakau, sementara sejumlah sepupunya berupaya untuk mengamankan sektor-sektor lainnya.
Keponakan Bongbong, misalnya, sedang berusaha untuk mempertahankan jabatannya sebagai gubernur. Wakil gubernurnya adalah mantan istri salah satu sepupunya yang lain.
Bongbong membantah pernyataan media AFP keluarganya merupakan dinasti politik. Namun, sepupunya Michael Marcos Keon, dengan jujur mengaku bahwa pernyataan AFP tersebut akurat.
"Ini semua dinasti," ucap Keon, yang sekarang sedang berusaha untuk memenangkan periode kedua sebagai wali kota Laoag.
"Saya tidak akan berada di tempat saya hari ini, andaikan saya bukan seorang Marcos. Begitulah politik di sini. Keluarga adalah yang utama," papar Keon.
ADVERTISEMENT
Politik Dinasti, Kebudayaan Filipina
Tak hanya keluarga Marcos saja, dinasti-dinasti politik baru mulai merambatkan akar mereka di ranah politik Filipina. Sejak negara itu merdeka, sedikitnya 319 keluarga dinasti telah memantapkan diri mereka— menghambat pembangunan ekonomi dan memperburuk kesenjangan sosial.
"Kekuasaan menghasilkan kekuatan. Semakin mereka tetap berkuasa, semakin mereka mengumpulkan kekuatan," ujar Profesor Universitas De La Salle Julio Teenhankee.
Dari ratusan keluarga dinasti di Filipina, setidaknya 234 keluarga telah mendapatkan kursi di pemerintahan. Mereka kian berjaya, bersarang pada sistem demokrasi yang korup dan terfragmentasi.
80 persen dari semua gubernur Filipina adalah anggota dari keluarga-keluarga dinasti. Angka ini telah meroket dengan tajam, dibandingkan dengan figur 2004, yakni 57 persen.
ADVERTISEMENT
Di DPR, 67 persen pejabat datang dari keluarga politik. Pada tingkat wali kota, persentase itu adalah 53 persen.
Presiden Rodrigo Duterte pun mengikuti pola yang sama. Ia mengaku bahwa ia sudah puas dengan kinerjanya selama ini, dan siap untuk lengser karena anak-anaknya sudah berhasil memantapkan diri di posisi-posisi tinggi Filipina. Karena itu Duterte menganggap pekerjaannya sudah selesai.
"Anak perempuan saya sekarang mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Satu anak laki-laki saya sedang mencalonkan diri sebagai anggota kongres, dan yang satunya lagi sebagai wali kota. Saya puas," ucap Duterte.
Di antara negara-negara dengan masalah dinasti politik, Analis Politik dan Dekan Sekolah Pemerintahan Ateneo Ronald Mendoza mengatakanFilipina termasuk yang paling bermasalah di dunia. Ia mengatakan bahwa pandemi juga menjadi faktor yang membuat petahana lebih unggul.
ADVERTISEMENT
"[Karena pandemi], lebih banyak rakyat yang rela suaranya dibeli untuk uang. Mereka lebih prihatin dengan akses berkelanjutan mereka untuk perlindungan sosial," ungkap Mendoza.