Putusan MK: Napi Eks Koruptor Dilarang Nyaleg 5 Tahun Usai Bebas dari Penjara!

30 November 2022 20:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi caleg dengan nama terpanjang. Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi caleg dengan nama terpanjang. Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan terkait syarat bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota alias caleg dalam UU Pemilu. Mantan napi kini harus menunggu 5 tahun setelah menjalani masa pokok pidana untuk bisa maju caleg, termasuk bagi napi eks korupsi.
ADVERTISEMENT
Gugatan ini dilayangkan seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Gugatan itu terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Gugatan Leonardo itu tertera dengan Nomor 82/PUU/PAN.MK/AP3/08/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 8 September 2022 dengan Nomor 87/PUU-XX/2022 dan telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan pada 22 Oktober 2022.
Dalam pokok permohonannya, Leonardo menguji Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu terkait status caleg yang merupakan mantan narapidana.
Berikut bunyi Pasal 240 ayat 1 huruf g
tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;”
ADVERTISEMENT
Leonardo ingin pasal itu diuji karena dikhawatirkan berpotensi mengakibatkan kerugian secara langsung maupun tidak langsung, berupa praktik jual-beli pencalonan (candidacy buying) karena ada frasa dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g berbunyi.
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Petugas KPPS menyiapkan surat suara pada pemungutan suara ulang di TPS 71, Cempaka Putih, Tangerang Selatan. Foto: Helmi Afandi/kumparan

Alasan Gugatan

Dalam permohonannya, Leonardo mengungkapkan sejumlah alasan. Secara khusus, ia mengkaitkannya dengan tindak pidana korupsi.
Leonardo beranggapan, dengan tidak adanya suatu penilaian tolak ukur yang jelas terkait permasalahan Pasal 240 ayat (1) huruf g terkait frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” sehingga Pemohon sangat khawatir bila suatu saat tidak ada calon legislatif yang tidak berintegritas.
Selain itu, berdasarkan dari survei Badan Pusat Statistik sepanjang 2021 melaporkan:
ADVERTISEMENT
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Selain itu, frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dinilai sudah tidak memadai, dan bisa berakibat adanya abuse of power yang dilakukan pejabat untuk kepentingan tertentu baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, pemohon ingin MK mengabulkan gugatannya dan menyatakan frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” do Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Suasana sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Foto: Aprilio Akbar/ANTARA FOTO

Putusan MK

Dalam putusannya, MK memutuskan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," tulis putusan MK dikutip, Rabu (30/11).
Putusan itu dibacakan setelah rapat permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, dan Saldi Isra pada Selasa (8/11).
MK menyatakan, norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana apabila dirumuskan selengkapnya berbunyi:
ADVERTISEMENT
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
...
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
ADVERTISEMENT
(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
"Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," tulis putusan MK.
Suasana sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Foto: Aprilio Akbar/ANTARA FOTO

Pertimbangan MK

MK menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 240 ayat 1 huruf g UU 7/2017 yang menjadi objek gugatan itu ternyata semangatnya tidak sejalan dengan syarat untuk menjadi kepala daerah.
MK berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap serta adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
ADVERTISEMENT
Padahal Pasal 240 ayat 1 huruf g UU 7/2017 dan syarat calon kepala daerah sebagaimana Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials).
Pembedaan di antara keduanya dinilai akan berakibat disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Hal itu dinilai dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara.
Sehingga, MK menilai perlu ada penyelarasan. Salah satunya soal masa tunggu 5 tahun setelah masa pokok pidana.
Masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana dipandang waktu yang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Demikian juga persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.
Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten).
Suasana sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 di Ruang Sidang Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Foto: Aprilio Akbar/ANTARA FOTO
Oleh karena itu, hal ini kembali kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan terkait syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang, MK memandang hal tersebut juga penting. Sebab,, fakta empirik menunjukkan terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji.
Bahkan, mengulang kembali tindak pidana yang sama. MK merujuk dalam kasus ini secara faktual khususnya tindak pidana korupsi. Hal ini membuat semakin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas.
Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, MK menyatakan tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.