Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK ) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dalam perkara nomor 55/PUU-XVIII/2020.
ADVERTISEMENT
Gugatan tersebut diajukan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang diwakili Ahmad Ridha Sabana (Ketum DPP Partai Garuda) dan Abdullah Mansuri (Sekjen DPP Partai Garuda).
Pasal yang digugat mengatur tentang verifikasi parpol peserta pemilu. Menurut Ahmad Ridha dkk, penerapan verifikasi ulang terhadap parpol yang telah mengikuti Pemilu bertentangan dengan asas legalitas dan menciderai kepastian hukum yang adil.
Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu berbunyi:
Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
Setelah melalui serangkaian persidangan, MK menyatakan parpol yang telah lolos ke DPR atau parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tak perlu lagi diverifikasi faktual, cukup diverifikasi secara administrasi.
Sedangkan bagi parpol yang tak lolos DPR maupun parpol baru tetap harus diverifikasi secara faktual dan administrasi.
“Menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan pada Selasa (4/5).
ADVERTISEMENT
Sementara itu dalam pertimbangan hukumnya, Hakim MK Aswanto menyatakan verifikasi parpol untuk menjadi peserta Pemilu merupakan bagian yang penting dan strategis.
Namun tidak semua parpol dapat menjadi peserta Pemilu karena hanya yang memenuhi syarat saja yang dapat menjadi peserta Pemilu. Hakim Aswanto menyebut berdasarkan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu, syarat parpol bisa menjadi peserta pemilu cukup berat. Sebab, parpol harus merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional, kecuali parpol lokal di Aceh.
Aswanto menambahkan, terdapat beberapa varian capaian suara dan tingkat keterwakilan suatu parpol yang menjadi peserta pada Pemilu 2019.
Pertama parpol lolos parliamentary threshold (PT) yang artinya memiliki wakil di DPR. Kedua, ada parpol yang tidak lolos parliamentary threshold namun memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Ketiga, ada parpol yang tidak memiliki wakil, baik di DPR maupun DPRD.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hal tersebut, MK menilai verifikasi ulang terhadap seluruh parpol yang ingin mengikuti Pemilu merupakan langkah yang tidak adil.
“Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual,” jelasnya.
Meski demikian, putusan itu tidak bulat. Terdapat 3 hakim MK yang tidak sependapat dengan keputusan tersebut. Ketiganya yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Mereka berpendapat menghilangkan verifikasi faktual bagi parpol yang telah lolos DPR merupakan langkah yang tidak sesuai arah penyederhanaan partai.
ADVERTISEMENT