Putusan MK soal Pilkada Final and Binding, DPR Tak Boleh Ubah Aturan Seenaknya

21 Agustus 2024 9:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Santer kabar Badan Legislatif (Baleg) DPR RI berencana melakukan Revisi UU Pilkada pada hari ini, Rabu (21/8). Muncul pertanyaan di khalayak publik: untuk apa?
ADVERTISEMENT
Jika merujuk Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang diatur soal materi muatan yang diatur oleh undang-undang.
Dalam pasal 10, dijelaskan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang, salah satunya adalah putusan MK.
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf d, merupakan tindaklanjut dari putusan MK. Tindak lanjut ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan undang-undang tersebut. Berikut bunyinya:
ADVERTISEMENT
Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Lantas, apakah proses di DPR ini bisa mengubah putusan MK?
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, yang dimaksud tindak lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d dan pasal (2), yakni bukan mengubah putusan MK, melainkan mengikutinya.
ADVERTISEMENT
"Yang maksud tindak lanjut putusan MK itu bukan mengubah putusan MK tapi mematuhi putusan MK dan putusan MK itu sudah jelas bacaannya. Sehingga tidak perlu terburu-buru, apalagi in sudah mau pilkada, ngapain diubah UU atau putusan MK itu berlaku layaknya sebuah Undang-Undang," kata Feri saat dikonfirmasi, Rabu (21/8).
"Putusan MK itu kekuatan hukumnya final and binding, mengikat itu sudah jadi hukum itu, jadi tidak lanjut itu bukan dalam rangka ada kekosongan hukum tindak lanjut itu hanya membangun kebersesuaian antara putusan MK dan ketentuan undang-undang," sambungnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, saat ditemui usai diskusi bertajuk 'Dalil Kecurangan Pemohon PHPU Pilpres 2024 di MK: Mungkinkah Dibuktikan?', di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Jumat (29/3). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Menurut Feri seharusnya DPR maupun pemerintah patuh pada putusan MK. Sebab putusan MK adalah putusan tertinggi.
"Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan tertinggi dalam memaknai apa yang dimaksud oleh konstitusi jadi setiap lembaga negara, setiap penyelenggara negara, setiap individu warga negara wajib patuh pada putusan itu. Suka atau tidak suka," kata Feri.
ADVERTISEMENT
Feri menilai jika Baleg tetap membahas RUU Pilkada demi menganulir putusan MK maka itu sama saja merusak tatanan konstitusi.
"Jika baleg berupaya mengutak-atik putusan MK, baleg sedang merusak tatanan berkonstitusi kita. Jadi baleg harus dianggap sebagai lembaga yang telah melanggar konstitusi," ujarnya.
Sebelumnya, MK mengeluarkan dua putusan terkait UU Pilkada pada Selasa (20/8). Pertama Putusan 60 terkait ambang batas parpol untuk mengusung cakada yang awalnya berdasarkan perolehan kursi di DPRD menjadi menjadi berdasarkan daftar pemilih tetap di wilayah tersebut.
Kemudian Putusan 70 terkait batas minimal usia cakada. Setelah putusan ini cakada minimal berusia 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon. Putusan ini bisa berpengaruh terhadap pencalonan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep.
ADVERTISEMENT